OLEH IMAM NAWAWI {ulama besar mazhab Syafi'i}
Dari Abu
Hamzah, Anas bin Malik radhiyallahu anhu, pelayan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam, dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Tidak beriman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai milik
saudaranya (sesama muslim) seperti ia mencintai miliknya sendiri”.
[Bukhari no.
13, Muslim no. 45]
Demikianlah di
dalam Shahih Bukhari, digunakan kalimat “milik saudaranya” tanpa kata yang
menunjukkan keraguan. Di dalam Shahih Muslim disebutkan “milik saudaranya atau
tetangganya” dengan kata yang menunjukkan keraguan.
Para ulama
berkata bahwa “tidak beriman” yang dimaksudkan ialah imannya tidak sempurna
karena bila tidak dimaksudkan demikian, maka berarti seseorang tidak memiliki
iman sama sekali bila tidak mempunyai sifat seperti itu. Maksud kalimat
“mencintai milik saudaranya” adalah mencintai hal-hal kebajikan atau hal yang
mubah. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat Nasa’i yang berbunyi :
“Sampai ia
mencintai kebaikan untuk saudaranya seperti mencintainya untuk dirinya
sendiri”.
Abu ‘Amr bin
Shalah berkata : “ Perbuatan semacam ini terkadang dianggap sulit sehingga
tidak mungkin dilakukan seseorang. Padahal tidak demikian, karena yang
dimaksudkan ialah bahwa seseorang imannya tidak sempurna sampai ia mencintai
kebaikan untuk saudaranya sesama muslim seperti mencintai kebaikan untuk
dirinya sendiri. Hal tersebut dapat dilaksanakan dengan melakukan sesuatu hal
yang baik bagi diriya, misalnya tidak berdesak-desakkan di tempat ramai atau
tidak mau mengurangi kenikmatan yang menjadi milik orang lain. Hal-hal semacam
itu sebenarnya gampang dilakukan oleh orang yang berhati baik, tetapi sulit
dilakukan orang yang berhati jahat”. Semoga Allah memaafkan kami dan saudara
kami semua.
Abu Zinad
berkata : “Secara tersurat Hadits ini menyatakan hak persaman, tetapi
sebenarnya manusia itu punya sifat mengutamakan dirinya, karena sifat manusia
suka melebihkan dirinya. Jika seseorang memperlakukan orang lain seperti
memperlakukan dirinya sendiri, maka ia merasa dirinya berada di bawah orang
yang diperlakukannya demikian. Bukankah sesungguhnya manusia itu senang haknya
dipenuhi dan tidak dizhalimi? Sesungguhnya iman yang dikatakan paling sempurna
ketika seseorang berlaku zhalim kepada orang lain atau ada hak orang lain pada
dirinya, ia segera menginsafi perbuatannya sekalipun hal itu berat dilakukan.
Diriwayatkan
bahwa Fudhail bin ‘Iyadz, berkata kepada Sufyan bin ‘Uyainah : “Jika anda
menginginkan orang lain menjadi baik seperti anda, mengapa anda tidak
menasihati orang itu karena Allah. Bagaimana lagi kalau anda menginginkan orang
itu di bawah anda?” (tentunya anda tidak akan menasihatinya).
Sebagian ulama
berpendapat : “Hadits ini mengandung makna bahwa seorang mukmin dengan mukmin
lainnya laksana satu tubuh. Oleh karena itu, ia harus mencintai saudaranya
sendiri sebagai tanda bahwa dua orang itu menyatu”.
Seperti
tersebut pada Hadits lain :
“Orang-orang mukmin laksana satu tubuh, bila satu dari anggotanya sakit,
maka seluruh tubuh turut mengeluh kesakitan dengan merasa demam dan tidak bisa
tidur malam hari”.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan