Sang Juru Bicara
Tasawwuf di Barat
Pada suatu saat hiduplah seekor agas. Namanya Namus,
dan ia dikenal, oleh sebab perasaannya yang halus, sebagai Namus Si Cerdik.
Setelah menimbang-nimbang keadaannya, dan untuk sejumlah alasan yang baik serta
masuk akal, Namus memutuskan pindah rumah. Tempat yang dirasa cocok dijadikan
sarang baru adalah telinga seekor gajah.
Namus hanya
perlu terbang dan tak lama kemudian sudah mendiami tempat tinggal yang luas dan
cukup menarik. Waktu pun berlalu. Agas itu membesarkan beberapa keluarga agas,
dan dikirimnya mereka ke dunia luar. Seiring bergantinya tahun, Namus mengalami
saat-saat tegang dan santai, perasaan senang dan sedih, tantangan dan juga
raihan yang lazim dijalani oleh seekor agas di berbagai tempat.
Telinga
gajah itu adalah rumahnya; dan bukanlah hal yang mengejutkan bila ia merasa
(perasaan itu terus menguat) bahwa terdapat hubungan yang sangat dekat antara
kehidupannya, masa lalunya, hakikat dirinya, dan tempat itu. Telinga itu
sungguh hangat, nyaman, benar-benar luas, latar dari sekian banyak
pengalamannya.
Tentu saja,
Namus tidak pindah ke rumah itu tanpa permisi dan sebelumnya ia meneliti dahulu
situasi di sekitarnya. Pada hari pertama, tepat ketika ia hendak memasuki
telinga gadjah itu, ia sudah berseru sekeras mungkin, dengan suaranya yang
kecil, tentang keputusannya. "Wahai Gajah!" teriaknya,
"ketahuilah bahwa aku, Namus Si Agas, yang dikenal sebagai Namus Si
Cerdik, memohon untuk menjadikan tempat ini sebagai kediamanku. Karena ini
telingamu, aku bersopan santun menyampaikan niatku ini kepadamu."
Gajah itu
tidak keberatan.
Tetapi,
Namus tidak tahu bahwa gajah itu sebenarnya tidak mendengar suaranya. Sedikit
pun tuan rumah itu tidak sadar akan kehadiran, atau bahkan keluar masuknya,
Namus beserta segenap keluarganya. Dengan kata lain, tidak terpikirkan sama
sekali oleh gajah itu bahwa ada agas di telinganya.
Dan ketika
tiba pula saatnya ketika Namus Si Cerdik hendak pindah rumah lagi, kali ini juga
dengan alasan yang penting dan mendesak, ia merasa berkepentingan untuk
berpamitan kepada gajah, pemilik rumahnya itu, sebagai bagian dari kesantunan.
Ia menyiapkan dirinya untuk mengumumkan secara resmi tentang kepergiannya dari
telinga gajah itu.
Dan begitulah,
sesudah memutuskan dengan mantap dan melatih seperlunya apa yang harus ia
katakan, Namus berseru sekali lagi di bawah telinga gajah itu. Ia berteriak
sekali, dan tak ada jawaban. Kedua kali, gajah tetap diam. Kali ketiga, dengan
sekuat tenaga dalam hasratnya yang sudah di ubun-ubun untuk menyampaikan
kata-kata fasihnya, ia berteriak: "Wahai gajah, ketahuilah bahwa aku,
Namus Si Cerdik, pamit untuk pergi dari rumahku dan tungku perapianku,
meninggalkan kediamanku di telingamu ini yang telah kutempati sekian lama. Dan
kepergianku ini karena alasan yang penting dan mendesak yang akan kukatakan
juga kepadamu."
Sekarang
akhirnya suara agas itu menyentuh saraf-saraf pendengaran gajah tersebut, dan
seruan agas itu pun terdengar olehnya. Sementara gajah itu mencerna perkataan
itu, Namus berteriak lagi: "Apa jawabmu atas beritaku ini? Bagaimana
perasaanmu tentang keberangkatanku sebentar lagi?"
Gajah itu
menengadahkan kepalanya yang besar itu dan mendengus pelan. Dalam dengusan itu
terkandung kata-kata: "Pergilah dalam damai --sebab sesungguhnya
kepergianmu sama menarik dan pentingnya bagiku seperti kedatanganmu."
Kisah Namus Si Cerdik sekilas barangkali
tampak sebagai ilustrasi tajam tentang kesia-siaan hidup. Bagi seorang Sufi,
penafsiran semacam itu hanya bisa muncul karena ketidakpekaan pembaca.
Yang hendak ditekankan di
sini adalah kurangnya kesadaran manusia bahwa segala sesuatu dalam hidup ini
memiliki arti penting yang relatif.
Manusia memperlakukan
hal-hal yang penting sebagai tidak penting, dan segala yang remeh sebagai hal
yang sangat perlu.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan