(Bagian 1)
Oleh:
Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali
Mengawali pembahasan pada tahap pertama jalan yang harus
ditempuh orang-orang yang beribadah, yaitu Tahapan Ilmu, dengan memohon taufiq
kepada Allah s.w.t. Selanjutnya, wahai orang yang menginginkan keselamatan dan
hendak menempuh jalan ibadah, semoga Allah memberikan petunjuk dan ilmu kepada
Anda, karena ilmu merupakan pangkal dan sumber segala kebaikan.
Ketahuilah, sesungguhnya ilmu dan ibadah adalah permata.
Karena keduanya, Anda bisa melihat dan mendengar kitab-kitab karya tulis pada
pengarang, pengajaran para pengajar, nasihat para penasihat dan pemikiran para
pemikir. Bahkan karena ilmu dan ibadah diturunkan kitab-kitab suci dan
diutuslah para utusan. Juga karena keduanya langit dan bumi serta segala
makhluk yang ada padanya diciptakan. Renungkanlah dua ayat di dalam kitab suci
al-Qur’ān berikut ini.
Pertama, firman Allah s.w.t.:
Artinya:
“Allah-lah yang menciptakan
tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar
kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan
sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (ath-Thalāq: 12).
Cukuplah ayat ini sebagai dalil atas kemuliaan ilmu,
utamanya ilmu tauhid. Sedangkan ayat yang kedua adalah firman Allah s.w.t.:
Artinya:
“Dan Aku tidak menciptakan
jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (adz-Dzāriyāt:
56).
Dan ayat ini, cukuplah kiranya sebagai dalil atas kemuliaan
ibadah dan keharusan untuk menunaikannya. Atas kemuliaan dan perkara itulah
tujuan diciptakan dunia dan akhirat. Karenanya sudah semestinya bagi seorang
hamba untuk tidak menyibukkan diri melainkan terfokus pada keduanya, tidak pula
berpayah-payahan kecuali demi keduanya dan tidak pula berpikir kecuali berpikir
dalam kerangka ilmu dan ibadah.
Ketahuilah, sesungguhnya segala perkara selain keduanya
adalah batil, tidak ada kebaikan padanya, dan merupakan kesia-siaan yang tiada
urgensinya. Ketika Anda telah mengetahui hal itu, maka ketahuilah bahwa ilmu
adalah merupakan permata yang paling berharga dan mulia.
Oleh karena itulah, Nabi s.a.w. bersabda:
Artinya:
“Sesungguhnya
keutamaan orang yang berilmu atas orang yang ahli ibadah, sebagaimana
keutamaanku atas orang yang paling rendah di antara umatku.”
Dan Nabi s.a.w. bersabda:
Artinya:
“Sekali
pandang terhadap wajah orang alim, lebih aku sukai daripada ibadah satu tahun,
berupa puasa di siang hari dan menunaikan shalat malam di malam harinya.”
Nabi s.a.w. juga bersabda:
Artinya:
“Perhatikanlah,
akan aku tunjukkan kepada Anda ahli surga yang paling mulia.” Para sahabat bertanya: “Ya, baiklah ya Rasūlullāh.” Beliau bersabda: “Mereka itu adalah para ulama dari umatku.”
Dengan demikian jelaslah bagi Anda sesungguhnya ilmu adalah
permata yang lebih mulia daripada ibadah, tetapi merupakan keharusan bagi
seorang hamba untuk menunaikan ibadah dengan didasari ilmu. Karena ilmu
bagaikan posisi pohon, sementara ibadah menduduki kedudukan buah dan pohon itu.
Maka keutamaan ada pada pohon karena ia merupakan asal atau pokok, tetapi
pemanfaatan yang dihasilkan, didapatkan dari buahnya. Karenanya, seorang hamba
harus memiliki keduanya. Ilmu dan ibadah dengan baik dan benar.
Oleh sebab itu Ḥasan Bashrī berkata: “Tuntutlah ilmu tanpa mengesampingkan aspek ibadah dan beribadahlah
tanpa mengesampingkan aspek ilmu.”
Ketika ilmu dan ibadah menjadi keharusan bagi seorang hamba,
maka terlebih dahulu yang harus diprioritaskan penguasaannya adalah ilmu,
karena ia merupakan dasar dan petunjuk dalam menjalankan ibadah. Karenanya,
Nabi s.a.w. bersabda:
Artinya:
“Ilmu
adalah imam (pemimpin) bagi amal, sedangkan amal mengikutinya.”
Ilmu menjadi pokok yang harus dijadikan panduan, maka menjadi
keharusan bagi Anda untuk mendahulukannya daripada ibadah, karena dua alasan,
yaitu:
Pertama: Agar ibadah Anda membuahkan hasil dan selamat, maka
terlebih dahulu Anda wajib mengetahui siapa yang disembah. Barulah kemudian
Anda menyembah-Nya. Bagaimana mungkin Anda menyembah seseorang (tuhan) yang
tidak Anda ketahui asma dan sifat-sifat zatnya, apa sifat wajib dan apa pula
yang mustahil baginya. Bisa jadi Anda meyakini tuhan yang Anda sembah itu
dengan suatu sifat yang bertentangan dengan yang semestinya, sehingga
mengakibatkan ibadah Anda sia-sia belaka.
Kami telah menerangkan hal yang
mengandung kekhawatiran yang amat besar semacam itu, di dalam penjelasan kami
tentang makna “sū’-ul-khātimah” pada bab “Al-Khauf” di dalam kitab Iḥyā’ Ulūmiddīn.
Selanjutnya, Anda harus mengetahui kewajiban-kewajiban
syari‘at yang wajib Anda lakukan, dengan cara yang semestinya sebagaimana yang
diperintahkan kepada Anda untuk melakukannya. Dan Anda juga harus mengetahui
larangan-larangan syari‘at yang wajib Anda tinggalkan. Jika tidak, bagaimana
bisa Anda melakukan ketaatan, sementara Anda tidak mengetahui ketaatan-ketaatan
itu, dan apa yang harus ditaati dan bagaimana cara Anda melakukan ketaatan? Dan
bagaimana pula Anda bisa menjauhi kemaksiatan, sementara Anda tidak mengetahui
bahwa ia adalah kemaksiatan, sehingga Anda tidak terjerumus ke dalam
kemaksiatan.
Ibadah-ibadah yang diperintahkan menurut syari‘at Islam itu,
seperti bersuci, shalat, puasa dan kewajiban-kewajiban lain yang harus Anda
ketahui hukum-hukum dan syarat-syaratnya, sehingga Anda dapat menunaikannya
secara benar.
Adalah mungkin, Anda telah melakukan
sesuatu bertahun-tahun dan sepanjang waktu, ternyata apa yang Anda lakukan itu
membatalkan thahārah (kesucian) dan shalat Anda, serta menjadikan keduanya
keluar dari koridor sunah yang telah ditetapkan secara syar‘i, sementara Anda
tidak mengetahuinya. Mungkin Anda menemukan suatu masalah, sedangkan Anda tidak
menemukan orang yang dapat Anda tanyai mengenai persoalan itu, padahal Anda
tidak mengetahui hukumnya.
Hal yang sama dalam persoalan ini,
dalam aspek ibadah secara batin yang terjadi di dalam hati yang harus Anda
ketahui, seperti tawakal, berserah diri, ridha, sabar, tobat, ikhlas dan lain
sebagainya yang akan kami jelaskan kemudian, in syā’ Allāh.
Dan Anda juga wajib mengetahui masalah-masalah larangan
batin yang menjadi kebalikan dari hal tersebut, seperti marah, lamunan, riya’,
sombong dan lain sebagainya yang harus Anda jauhi. Terhadap hal-hal yang fardhu
Allah telah menetapkan perintah agar dijalankan. Dan melarang yang sebaliknya.
Sebagaimana yang disebutkan di dalam al-Qur’ān dan hadits Nabi s.a.w.
Allah s.w.t. berfirman:
Artinya:
“Dan hanya kepada Allah
hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (al-Mā’idah:
23)
Dan firman Allah s.w.t.:
Artinya:
“Dan bersyukurlah kepada
Allah, jika benar-benar kepada-Nya saja kamu menyembah.” (al-Baqarah: 172)
Dan firman Allah s.w.t.:
Artinya:
“Bersabarlah (hai Muḥammad) dan tiadalah kesabaranmu
itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (an-Naḥl:
127)
Dan firman Allah s.w.t.:
Artinya:
“Dan beribadahlah kepada-Nya
dengan penuh ketekunan.” (al-Muzzammil: 8)
Yakni, beribadahlah kepada-Nya dengan penuh keikhlasan.
Dan ayat-ayat yang lain,
seperti nash yang menjelaskan tentang perintah shalat,
puasa. Bagaimana halnya dengan sikap Anda yang menerima perintah shalat dan
puasa, sementara Anda meninggalkan kefardhuan-kefardhuan yang lain (seperti
perintah tawakal, sabar, ikhlas dan lain sebagainya). Padahal perintah itu
semuanya dari Tuhan yang sama, yaitu Tuhan Yang Maha Esa (Allah), melalui kitab
yang sama (al-Qur’ān).
Bahkan Anda cenderung melalaikan
perintah yang berkaitan dengan perlakuan hati, sehingga Anda tidak mengetahui
sesuatu pun daripadanya, karena Anda terkecoh dengan omongan orang-orang yang
menggebu-gebu kecintaannya terhadap dunia, yang membuat pandangannya menjadi
terbalik, di mana yang baik dinyatakan mungkar dan yang mungkar dipandang baik.
Barang siapa yang meremehkan ilmu
yang oleh Allah di dalam al-Qur’ān dinamakan sebagai cahaya (nūr), hikmah dan petunjuk, lalu menghadapkan diri pada aktivitas
dan usaha yang haram, berarti ia memburu pembakaran api yang menyala-nyala
(neraka).
Wahai orang yang menginginkan petunjuk, tidakkah Anda takut
menyia-nyiakan sebagian kewajiban atau bahkan sebagian besar dari
kewajiban-kewajiban? Sementara Anda sibuk melakukan shalat dan puasa sunah,
maka Anda pun tidak memperoleh suatu apapun.
Mungkin juga Anda bersikap ceroboh melakukan kemaksiatan
yang menyebabkan Anda masuk ke dalam neraka, sementara di sisi lain Anda
meninggalkan hal-hal yang mubah, seperti makan, minum atau tidur dengan alasan
untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka jadilah Anda tidak mendapatkan
sesuatu apapun.
Dan yang lebih parah dari itu semua adalah Anda memanjangkan
lamunan sesuatu yang tidak patut, padahal lamunan semacam itu adalah murni kemaksiatan,
sementara Anda menduganya sebagai niat yang baik, karena kebodohan Anda untuk
dapat membedakan antara lamunan dan niat baik, yang pada sebagian perkara batas
antara keduanya memang tipis.
Demikian pula halnya dengan sikap
Anda, yang mengeluh dan membenci (protes) terhadap qadha Allah, sementara Anda
menduganya hal itu sebagai sikap mendekatkan diri dan merendahkan diri kepada
Allah ‘azza wa jalla.
Dan terkadang Anda bersikap riya’ anshiḥ (riya’ dalam memberi nasihat), sementara Anda mengira
sebagai bentuk pujian Anda kepada Allah s.w.t. atau ajakan terhadap manusia
pada kebaikan. Anda pun menghitung-hitung kemaksiatan itu, sebagai ketaatan
kepada Allah, dan mengira memperoleh pahala yang besar di tempat-tempat
sumbernya siksaan. Jika demikian, sungguh Anda berada dalam ketertipuan yang
besar dan kelalaian yang keji. Sungguh hal ini, merupakan musibah dan petaka
yang sangat tragis bagi orang-orang yang beramal tanpa ilmu.
Di samping itu, sesungguhnya
aktivitas ibadah lahiriyyah itu, memiliki hubungan secara batin yang bisa
memperbaiki atau merusaknya, seperti ikhlas, riya’, sombong, menghitung-hitung
kebaikan pada orang lain (undat-undat) dan
lain sebagainya. Barang siapa yang tidak mengetahui persoalan aktivitas batin
dan pengaruhnya terhadap amal lahir, dan bagaimana memelihara amal-amal lahir
dari keburukan perbuatan batin, maka kecil kemungkinan amal lahirnya selamat,
sehingga ia harus kehilangan pahala ketaatan secara lahir dan batin, maka yang
tersisa di tangannya hanyalah kecelakaan dan kecemaran. Inilah suatu kerugian
yang amat nyata.
Rasūlullāh s.a.w. bersabda menjelaskan
tentang keutamaan orang yang berilmu, sebagai berikut:
Artinya:
“Tidur
dengan didasari atas ilmu lebih baik daripada ibadah secara bodoh (tanpa
didasari ilmu).”
Karena sesungguhnya orang yang beramal tanpa didasari ilmu,
lebih banyak merusak amalnya daripada membaguskannya. Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
Artinya:
“Sesungguhnya
orang-orang yang beruntung diilhami dengan ilmu, dan orang-orang yang celaka
dihalangi dari ilmu.”
Hadis tersebut mengandung makna, bahwa ilmu itu adalah milik
Allah. Dialah yang akan memberikan ilham berupa ilmu kepada seseorang atau
sebaliknya. Tetapi kecelakaan seseorang disebabkan karena ia tidak mau belajar,
dia berlelah-lelah melakukan ibadah tanpa didasari ilmu hingga menyimpang dari
yang semestinya, maka tidaklah berarti ibadah yang dilakukan itu, melainkan
hanyalah mendapatkan kepenatan dan kelelahan saja. Semoga Allah melindungi kita
dari ilmu dan amal yang tidak bermanfaat.
Oleh sebab itu, para ulama yang zuhud dan mengamalkan
ilmunya menaruh perhatian yang sangat besar terhadap ilmu dan mengajarkannya
kepada manusia. Karena ilmu merupakan poros atau sumbu ibadah dan kekuatannya
dalam berkhidmat kepada Allah Tuhan semesta alam. Demikianlah pandangan
orang-orang yang berilmu dan berpikir serta mendapatkan petunjuk.
Ketika hal yang demikian itu, telah jelas bagi Anda, bahwa
kebaktian seorang hamba tidak akan membuahkan hasil dan selamat kecuali dengan
ilmu, maka menjadi keharusan bagi Anda untuk mendahulukan ilmu sebelum
beribadah.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan