(Bagian 4)
Oleh:
Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali
Pasal:
Selanjutnya, ketahuilah bahwa Tahapan Tobat ini, merupakan tahapan atau
tanjakan yang sangat sulit ditempuh, tetapi sangat urgen dan besar bahaya yang
merintanginya.
Telah sampai kepadaku, berita tentang orang yang sangat alim
dan mengamalkan ilmunya. Abī
Isḥāq
al-Isfarayl berkata: “Aku telah berdoa kepada Allah s.w.t. selama 30 tahun agar
aku dianugerahi tobat secara murni dan sungguh-sungguh (taubat nashūḥā). Hingga aku merasa heran dan
berkata dalam hati: “Maha Suci Allah, aku telah memohon kepada Allah satu
kebutuhan selama 30 tahun, namun sampai kini belum juga dikabulkan.” Lalu aku bermimpi, seakan-akan ada yang berkata kepadaku:
“Apakah Anda merasa heran dengan hal tersebut. Tahukah Anda, apa yang Anda
minta kepada Allah itu adalah agar Allah mencintai Anda. Bukankah Anda telah
mendengar firman Allah s.w.t.:
Artinya:
“Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri.” (al-Baqarah: 222).
Apakah Anda memandang bahwa hal itu merupakan hajat yang
kecil dan rendah! Renungkanlah, betapa ketekunan para imam dan besarnya
perhatian mereka dalam memperbaiki dan membersihkan hati serta mempersiapkan
bekal pulang menghadap ke hadirat Allah di akhirat.
Adapun bahaya yang sangat mengkhawatirkan dari menunda-nunda
tobat adalah bahwa dosa itu pada awalnya membuat hati menjadi keras, tetapi
akhirnya – na‘ūdzu
billāh – membuat kecelakaan dan kebinasaan yang sangat menghinakan.
Karenanya waspadalah, jangan sampai Anda lupa persoalan
Iblis dan Bal‘am bin Ba‘ura, yang pada mulanya persoalan mereka berdua adalah
dosa yang mengeraskan hati dan berakhir dengan kekafiran, sehingga mereka
berdua celaka bersama orang-orang yang celaka selama-lamanya.
Maka sadarlah dan bersungguh-sungguhlah – semoga Allah
merahmati Anda – pastikan Anda dapat mencabut akar kecerobohan perbuatan dosa
dari hati dan membersihkan diri dari dosa-dosa. Dan janganlah Anda sekali-kali
merasa aman dari kekerasan hati yang disebabkan dosa-dosa.
Renungkanlah kondisi diri Anda, sebagian orang saleh berkata
bahwa hitamnya hati disebabkan oleh perbuatan-perbuatan dosa. Adapun tanda dosa
hitamnya hati adalah ketika Anda tidak takut mengerjakan perbuatan dosa dan
memandangnya sebagai hal biasa, terhadap ketaatan tidak memiliki gairah,
apalagi dapat menikmatinya, dan kebal nasihat.
Janganlah Anda meremehkan dosa sekecil apapun, lalu
menganggap diri Anda sudah bertobat, pada hal Anda terus menerus bergelimang
dosa-dosa besar.
Kami pernah menerima keterangan dari Kahmas bin Ḥasan, ia berkata: “Aku pernah berbuat suatu dosa, lalu aku menangisinya selama
empat puluh tahun.” Hingga ada yang bertanya: “Apa dosa Anda itu wahai Abā ‘Abdullāh?”
Ia menjawab: “Pada suatu hari, ketika saudaraku sesama muslim berkunjung
padaku, aku membeli ikan sebagai hidangan, lalu ia makan. Setelah itu aku
beranjak menuju ke pagar tetangga mengambil segenggam tanah untuk membasuh
tangan saudaraku itu.”
Oleh karena itu, segeralah introspeksi, lakukan evaluasi dan
koreksi diri, lalu cepat-cepatlah bertobat. Sebab, ajal itu tidak diketahui
kedatangannya, sedangkan dunia ini penuh dengan tipuan, nafsu dan setan
senantiasa menjadi lawan yang tidak kenal menyerah. Merendah dirilah kepada
Allah dengan sungguh-sungguh, ingatlah kisah Nabi Ādam a.s. yang diciptakan oleh Allah
dengan tangan kekuasaan-Nya dan Allah meniupkan roh dalam jasadnya, lalu ia
dibawa ke surga, dipikul oleh malaikat di atas pundak mereka. Ādam tidak berdosa kecuali hanya
sekali, namun menyebabkan ia diturunkan ke dunia.
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Allah berfirman kepada Ādam: “Anda
ini memandang apa berdekatan dengan Aku?”
Ādam
menjawab: “Engkau adalah tetangga yang paling baik bagiku, wahai Tuhan.” Allah
berfirman: “Wahai Ādam,
keluarlah (dari surga) jangan berdekatan dengan-Ku, lepaslah mahkota kemuliaan
yang ada di kepala Anda, karena orang yang durhaka kepada-Ku tidak berhak
menjadi tetangga-Ku.”
Menurut sebuah riwayat, setelah itu Nabi Ādam menangisi dosanya selama dua
ratus tahun. Hingga Allah menerima tobatnya dan mengampuni satu dosa Adam a.s.
Begitulah kondisi Ādam setelah melakukan sekali dosa, padahal ia adalah seorang
nabi pilihan Allah, lalu bagaimana halnya dengan orang biasa, yang bukan nabi
dan mempunyai dosa yang tidak terhitung banyaknya?
Tangisan Nabi Ādam selama itu, adalah suatu sikap merendahkan diri sebagai
orang yang bertobat kepada Allah. Lantas bagaimana keadaan orang yang terus
menerus bergelimang dalam perbuatan dosa?
Betapa indah ucapan seorang penyair:
Artinya:
“Orang yang
bertobat masih khawatir akan keselamatan dirinya lalu bagaimana halnya dengan
orang yang tidak bertobat.”
Apabila Anda telah bertobat, lalu Anda merusaknya dengan
melakukan dosa lagi, maka segeralah kembali kepada tobat, katakan pada diri
Anda sendiri: “Kalau saja aku mati sebelum aku kembali melakukan dosa yang kali
ini.” Begitu seterusnya, hingga ketika Anda mengulangi yang ketiga atau keempat
kalinya. Sebagaimana juga manakala Anda sering berbuat dosa, maka Anda juga
harus sering bertobat. Kemauan bertobat itu jangan sampai lebih lemah dari
keinginan melakukan dosa. Janganlah sekali-kali berputus asa dan memberi
kesempatan setan menghalangi dari bertobat. Karena kemauan dan semangat Anda
untuk terus bertobat, sekalipun masih saja melakukan dosa adalah sebagai pertanda
baik.
Bukankah Anda telah mendengar sabda Rasūlullāh s.a.w.:
Artinya:
“Sebaik-baik
orang di antara Anda sekalian adalah orang yang sering terkena fitnah, dan
banyak bertobat.”
Yakni, orang yang terkena cobaan melakukan dosa, lalu ia
banyak bertobat kepada Allah dan kembali kepada-Nya, dengan menyesal dan
beristigfar memohon ampunan.
Perhatikan firman Allah s.w.t.:
Artinya:
“Dan barang
siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon
ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampu lagi Maha
Penyayang.” (an-Nisā’: 110)
Demikianlah, kepada Allah kita memohon taufiq dan
pertolongan-Nya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan