(Bagian 1)
Oleh:
Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali
Selanjutnya, wahai orang yang menempuh jalan ibadah semoga Allah memberikan petunjuk kepada
Anda untuk bertobat.
Perintah
bertobat ini, disebabkan dua hal, yaitu:
Pertama: Agar Anda mendapatkan petunjuk dalam menjalankan ketaatan
kepada Allah. Karena kekejian dosa itu sebagai penghalang melakukan kebaktian
dan untuk mendapatkan rahmat serta mengakibatkan kehinaan. Jeratan dosa-dosa
itu, mencegah Anda untuk melakukan ketaatan dan sebagai jerat yang mencegah
Anda untuk segera berkhidmat kepada-Nya. Karena beban dosa itu, menghalangi dan
memperberat sikap ringan berbuat kebaikan dan semangat menjalankan ketaatan
kepada Allah s.w.t.
Kecerobohan melakukan dosa-dosa merupakan penyebab hati jadi
hitam, gelap dan keras, tidak memiliki keikhlasan, tidak ada setitik cahaya pun
yang meneranginya, tidak dapat merasakan kelezatan dan kenikmatan manisnya
ibadah. Jika tidak mendapatkan rahmat dari Allah s.w.t. hati yang demikian itu
akan menyeret pemiliknya pada kekufuran dan kecelakaan. Maka betapa mengherankan,
bagaimana bisa orang yang hatinya kotor dan keras semacam itu, ringan melakukan
ketaatan? Bagaimana bisa memenuhi panggilan untuk berkhidmat, orang yang selalu
saja bergelimang kemaksiatan, berlaku ingkar dan sombong? Bagaimana bisa
bermunajat mendekatkan diri kepada Allah, sementara ia berlumuran dengan
kotoran dan najis?
Disebutkan dalam sebuah hadis, bahwa Nabi s.a.w. bersabda:
Artinya:
“Apabila
seorang hamba berdusta, maka dua malaikat (yang mengawalnya) menyingkir
darinya, disebabkan karena kebusukan apa yang keluar dari mulutnya.”
Bagaimana lisan semacam ini, bisa berzikir kepada Allah
‘azza wa jalla? Orang yang terus menerus berlaku maksiat semacam itu, hampir
dapat dipastikan tidak akan bisa menerima taufīq (petunjuk), dan anggota tubuhnya tidak akan merasa ringan
untuk beribadah kepada Allah. Jika kebetulan melakukan ibadah, tentu terasa
berat dan susah payah, tidak akan bisa merasakan manisnya ibadah dan tidak pula
memiliki keikhlasan. Semua itu, disebabkan oleh kekejian dosa dan karena meninggalkan
bertobat.
Sungguh benarlah orang yang berkata: “Jika Anda tidak kuat
mengerjakan shalat malam dan puasa di siang hari, maka ketahuilah bahwa Anda
terbelenggu dan terjerat oleh kesalahan dan dosa-dosa Anda.
Kedua: Keharusan bertobat itu, agar ibadah Anda diterima Allah
s.w.t. Sebab yang berpiutang tidak mau menerima hadiah. Oleh sebab itu bertobat
dari kemaksiatan dan meminta kerelaan terhadap yang Anda zalimi menjadi sebuah
keharusan bagi Anda. Pada umumnya ibadah yang Anda lakukan berkedudukan sunah,
bagaimana mungkin kesunahan yang Anda hadiahkan itu diterima, sementara utang
Anda menumpuk belum terbayar.
Bagaimana bisa dikatakan baik, Anda meninggalkan yang halal
dan yang mubah karena-Nya, sementara Anda masih terus melakukan pelanggaran dan
menerjang yang haram. Bagaimana bisa Anda bermunajat, berdoa dan memuji
kepada-Nya, sedangkan Dia murka kepada Anda. Demikianlah gambaran kondisi
orang-orang yang durhaka yang senantiasa melakukan kemaksiatan. Kita memohon
kepada Allah diberi kekuatan untuk dapat bertobat.
Jika Anda bertanya: “Apakah arti tobat nasuha itu, apa
definisinya, dan apa pula hal-hal yang harus dilakukan oleh seseorang agar ia
dapat keluar dari semua dosa-dosanya?”
Sebagai jawabannya, aku katakan bahwa tobat termasuk salah
satu aktivitas hati. Menurut pendapat ulama, bahwa tobat adalah membersihkan
hati dari dosa.
Guru kami memberikan batasan tentang tobat, yaitu:
“Meninggalkan segala bentuk aktivitas yang membuat terulangnya kembali dosa
yang pernah dilakukan dan yang semisal tingkatannya bukan dalam bentuknya,
karena mengagungkan Allah dan takut kemurkaan-Nya.”
Dengan
demikian, maka tobat itu memiliki empat syarat,
yaitu:
Pertama:
Meninggalkan setiap usaha yang mengakibatkan terjadinya dosa.
Memegang teguh komitmen di dalam hati dan memperbaiki niat
untuk tidak melakukan dosa sama sekali. Adapun apabila ketika dia meninggalkan
dosa namun di dalam hatinya masih terlintas bayangan mungkin ia akan
mengulanginya lagi, atau bayangan itu tidak terlintas di dalam hatinya, namun
hatinya bimbang mungkin dia akan mengulangi dosa itu lagi, sekalipun sementara
dia meninggalkan berbuat dosa, maka dia bukanlah orang yang bertobat.
Kedua:
Bertobat dari dosa yang pernah diperbuat, jika dosa yang semisal tidak pernah
dilakukan, maka dia adalah orang yang
bertakwa (takut) kepada Allah, bukan orang yang bertobat. Tidakkah Anda tahu
bahwa perkataan yang benar mengenai Nabi s.a.w. adalah bahwa beliau merupakan
orang yang takwa (takut) dari kekufuran, tidaklah benar kalau dikatakan bahwa
beliau sebagai orang yang bertobat dari kekufuran. Karena Nabi s.a.w. tidak
pernah kufur, tetapi beliau menghindar dan menjauh dari kekufuran.
Ketiga:
Dosa yang pernah dilakukan itu, sama
dengan dosa yang kini ditinggalkan, dari segi tingkat dan derajatnya, bukan
pada bentuknya.
Perhatikanlah dengan seksama bahwa orang yang sudah tua
renta yang dulunya pernah berzina dan sebagai penyamun, apabila ia ingin
bertobat dari dosa-dosa itu, tentu masih mungkin, selama pintu tobat belum
tertutup baginya. Tetapi tidak mungkin baginya berikhtiar meninggalkan zina dan
menyamun, karena memang kondisinya saat ini, sudah tidak mungkin untuk
melakukan hal itu, dan dia tidak memiliki kemampuan untuk meninggalkan
ikhtiarnya. Maka dia tidak sah dinyatakan sebagai orang yang telah meninggalkan
perbuatan terlarang itu, karena kondisi tubuhnya yang sudah sangat lemah dan
tidak memungkinkan. Tetapi dia masih mampu melakukan perbuatan yang memiliki
bobot yang sama dengan zina dan menyamun dari segi kedudukan dan derajatnya.
Seperti meninggalkan berdusta, menuduh orang berzina, menggunjing, mengadu
domba. Semua kemaksiatan itu, sekalipun masing-masing dosanya memiliki tingkat
yang berbeda sesuai dengan kadarnya, tetapi dengan meninggalkan semua bentuk
cabang kemaksiatan itu, bila terhimpun menjadi satu, berada di bawah kedudukan
dosa bid‘ah, sementara dosa bid‘ah berada di bawah kedudukan dosa kufur. Oleh
sebab itu, orang yang sudah tua renta tersebut, masih bisa bertobat dari dosa
zina dan menyamun, dengan meninggalkan dosa-dosa yang memiliki kedudukan dan
tingkat yang sama dengan semua dosa yang pernah di lakukan itu, sekalipun tidak
sama bentuknya.
Keempat:
Usaha maksimal yang dilakukan untuk meninggalkan dosa-dosa itu, semata-mata untuk mengagungkan Allah ‘azza wa jalla, takut
dari kemurkaan dan kepedihan siksa-Nya. Bukan karena tujuan keduniaan atau
takut terhadap manusia, mengharapkan pujian, agar terkenal atau demi pangkat
dan kedudukan, atau bukan pula karena terdorong oleh kondisinya yang lemah dan
miskin atau yang lainnya.
Demikian itulah syarat-syarat bertobat dan rukun-rukunnya,
apabila syarat dan rukun tobat itu terpenuhi, itulah hakikat tobat yang
sebenar-benarnya.
Sementara
sebagai pendahuluan yang perlu dilakukan sebelum bertobat itu ada tiga, yaitu:
1. Mengenang akan kekejian dosa
2. Ingat akan kedahsyatan siksaan Allah s.w.t. dan kepedihan
kemarahan serta kemurkaan-Nya yang tidak akan mampu Anda tanggung.
3. Ingat akan kelemahan agan minimnya rasa malu Anda dalam
menghadapi hal tersebut. Karena orang yang menanggung sengatan terik matahari,
tamparan polisi dan gigitan semut saja tidak kuat menanggungnya, bagaimana dia
kuat menahan panasnya neraka Jahanam, hantaman pukulan malaikat Zabaniyah,
sengatan ular yang sebesar leher unta, gigitan kalajengking sebesar kuda yang
diciptakan dari api di dalam neraka tempat kemurkaan dan kecelakaan. Kita
berlindung kepada Allah, sekali lagi berlindung kepada-Nya dari kemurkaan dan
azab-Nya. Apabila Anda selalu mengingatnya hal tersebut siang dan malam, maka
hal itu akan mendorong Anda untuk melakukan tobat secara murni dan
sebenar-benarnya, dari segala dosa.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan