Pada suatu seorang wanita tua datang kepada Habib,
merebahkan dirinya di depan Habib dengan sangat memelas hati.
“Aku mempunyai seorang putera yang telah lama pergi
meninggalkanku. Aku tidak sanggup lebih lama lagi terpisah darinya, berdoalah
kepada Allah,” mohonnya kepada Habib, “Semoga berkat doamu, Allah mengembalikan
puteraku itu kepadaku.”
Apakah engkau memiliki uang ?” Tanya Habib kepada
wanita tua itu.
“Aku mempunyai dua dirham.” Jawabnya.
“Berikanlah uang itu kepada orang-orang miskin.”
Kemudian Habib membaca sebuah doa lalu ia berkata
kepada wanita itu, “Pulanglah, puteramu telah kembali.”
Belum lagi wanita itu sampai ke rumah, dilihatnya
sang putera telah ada dan sedang menantikannya.
“Wahai! Anakku telah kembali!” wanita itu berseru.
Kemudian dibawanya puteranya itu menghadap Habib.
“Apakah yang telah engkau alami?” Tanya Habib kepada
putera wanita itu.
“Aku sedang berada di Kirmani, guruku menyuruhku
membeli daging. Ketika daging itu telah kubeli dan aku hendak pulang ke guruku,
tiba-tiba bertiuplah angin kencang, tubuhku terbawa terbang dan terdengar
olehku sebuah suara yang berkata, “Wahai angin, demi doa Habib dan dua dirham
yang telah disedekahkan kepada orang-orang miskin, pulangkanlah ia kerumahnya
sendiri.”
Pada tanggal 8 Zulhijjah, Habib kelihatan di kota
Bashrah dan pada keesokkan harinya di Padang Arafah. Pada waktu yang lain,
bencana kelaparan melanda kota Bashrah. Karena itu, dengan berutang Habib
membeli banyak bahan-bahan pangan dan membagi-bagikannya kepada orang-orang
miskin. Setiap hari Habib menggulung kantung uangnya dan menaruhnya di bawah
lantai. Apabila para pedagang datang untuk menagih utang, barulah kantung itu
dikeluarkannya. Sungguh ajaib, ternyata kantung itu sudah penuh dengan
kepingan-kepingan dirham. Dari situ dilunasinya semua utangnya.
Rumah habib terletak di sebuah persimpangan jalan di
kota bashrah. Ia mempunyai sebuah mantel bulu yang selalu dipakainya baik pada
musim panas maupun pada musim dingin. Sekali peristiwa, ketika Habib hendak
bersuci, mantel itu dilepaskannya dan dengan seenaknya dilemparkannya ke atas
tanah.
Tidak berapa lama kemudian Hasan al Bashri lewat di
tempat itu. Melihat mantel Habib yang terletak di atas jalan, ia bergumam,
“Dasar Habib seorang barbar, tak peduli berapa harga mentel bulu ini! Mantel
yang seperti ini tidak boleh dibiarkan saja di tempat ini, bias-bisa hilang
nanti”.
Hasan berdiri di tempat itu untuk menjaga Mantel
itu. Tidak lama kemudian habib pun kembali.
“Wahai, imam kaum Muslimin,” Habib menegur Hasan
setelah member salam kepadanya, “mengapakah engkau berdiri di sini?”
“Tahukah engkau bahwa mantel seperti ini tidak boleh
ditinggalkan di tempat begini? Bisa-bisa hilang. Katakana, kepada siapakah
engkau menitipkan mantel ini?”
“Kutitipkan kepada Dia, yang selanjutnya
menitipkannya kepadamu”. Jawab Habib.
Pada suatu hari Hasan berkunjung ke rumah habib.
Kepadanya Habib menyuguhkan dua potong roti gandum dan sedikit garam. Hasan
sudah bersiap-siap hendak menyantap hidangan itu, tetapi seorang pengemis
datang dan Habib menyerahkan kedua potong roti beserta garam itu kepadanya.
Hasan terheran-heran lalu berkata, “Habib, engkau
memang seorang manusia budiman. Tetapi alangkah baiknya seandainya engkau
memiliki sedikit pengetahuan. Engkau mengambil roti yang telah engkau suguhkan
ke ujung hidung tamu lalu memberikan semuanya kepada seorang pengemis.
Seharusnya engkau memberikan sebagian kepada si pengemis dan sebagian lagi
kepada tamumu”.
Habib tidak memberikan jawaban.
Tidak lama kemudian seorang budak datang sambil
menjunjung sebuah nampan. Di atas nampan itu ada daging domba panggang,
penganan yang manis-manis, dan uang lima ratus dirham perak. Si budak
menyerahkan nampan itu ke hadapan Habib. Kemudian Habib membagi-bagikan uang
itu kepada orang-orang miskin dan menempatkan nampan itu di samping Hasan.
Ketika Hasan mengenyam daging panggang itu Habib
berkata kepadanya, “Guru, engkau adalah seorang manusia budiman, tetapi
alangkah baiknya seandainya engkau memiliki sedikit keyakinan. Pengetahuan
harus disertai dengan keyakinan.
Pada suatu hari ketika perwira-perwira Hajjaj
mencari-cari Hasan, ia sedang bersembunyi di dalam pertapaan Habib.
“Apakah engkau telah melihat Hasan pada hari ini?”
Tanya mereka kepada Habib.
“Ya, aku telah melihatnya”, jawab Habib.
“Di manakah Hasan pada saat ini?”
“Di dalam pertapaan ini”.
Para perwira itu memasuki pertapaan Habib dan
mengadakan penggeledahan, namun mereka tidak berhasil menemukan Hasan.
“Tujuh kali tubuhku tersentuh oleh mereka”, Hasan
mengisahkan, “namun mereka tidak melihat diriku”.
Ketika hendak meninggalkan pertapaan itu Hasan
mencela habib, “Habib, engkau adalah seorang murid yang tidak berbakti kepada
guru. Engkau telah menunjukkan tempat persembunyianku”.
“guru, karena aku berterus terang itulah engkau
dapat selamat. Jika tadi aku berdusta, niscaya kita berdua sama-sama
tertangkap”.
“Ayat-ayat apakah yang telah engkau bacakan sehingga
mereka tidak melihat diriku?” Tanya hasan.
“Aku membaca Ayat Kursi sepuluh kali, Rasul Beriman
sepuluh kali, dan Katakanlah, Allah itu esa sepuluh kali. Setelah itu aku
berkata, “Ya Allah, telah kutitipkan Hasan Kepada-Mu dan oleh karena itu
jagalah dia”.
Suatu ketika Hasan ingin pergi ke suatu tempat. Ia
lalu menyusuri tebing-tebing di pinggir suangai Tigris sambil merenung-renung.
Tiba-tiba Habib muncul di tempat itu.
“Imam, mengapakah engkau berada di sini?” Habib
bertanya.
“Aku ingin pergi ke suatu tempat namun perahu belum
juga tiba”, jawab Hasan.
“guru, apakah yang telah terjadi terhadap dirimu?
Aku telah mempelajari segala hal yang kuketahui dari dirimu. Buanglah rasa iri
kepada orang-orang lain dari dalam dirimu. Tutuplah matamu dari
kesenangan-kesenangan dunia. Sadarilah bahwa penderitaan adalah sebuah karunia
yang sangat berharga dan sadarilah bahwa segala urusan berpulang kepada Allah
semata-mata. Setelah itu turunlah dan berjalanlah di atas air”.
Selesai berkata demikian Habib menginjakkan kaki ke
permukaan air dan meninggalkan tempat itu. Melihat kejadian ini, Hasan merasa
pusing dan jatuh pingsan. Ketika ia siuman orang-orang bertanya kepadanya,
“Wahai imam kaum Muslimin, apakah yang telah terjadi pada dirimu?”
“Baru saja muridku Habib mencela diriku; setelah iti
ia berjalan di atas air dan meninggalkan diriku sedang aku tidak dapat berbuat
apa-apa. Jika di akhirat nanti sebuah suara menyerukan, “Laluilah jalan yang
berada di atas api yang menyala-nyala”, sedang hatiku masih lemah seperti
sekarang ini, apakah dayaku?”
Di kemudian hari Hasan bertanya kepada Habib,
“Habib, bagaimanakah engkau mendapatkan kesaktian-kesaktianmu itu?”
Habib menjawab, “Dengan memutihkan hatiku sementara
engkau menghitamkan kertas”.
Hasan berkata, “Pengetahuanku tidak memberi manfaat
kepada diriku sendiri, tetapi kepada orang lain”.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan