Awalnya, Habib adalah seorang laki-laki yang kaya
raya dan juga seorang lintah darat. Ia tinggal di Bashrah. Setiap hari ia
berkeliling kota menagih orang-orang yang berutang padanya. Bila tak ada uang,
ia akan meminta pembayaran dengan kulit domba untuk bahan sepatunya. Begitulah
mata pencariannya. Suatu hari, ia pergi untuk menemui seseorang yang berutang
padanya. Namun orang itu tidak ada di rumah. Karena gagal menemui orang itu, ia
pun meminta pembayaran dengan kulit domba.“Suamiku tak ada di rumah,” tutur
istri si pengutang itu padanya. “Aku sendiri tak punya apa-apa. Kami telah
menyembelih seekor domba, tapi, kini tinggal lehernya yang tersisa. Bila kau
mau, aku akan memberikan padamu.”
“Boleh juga,” ujar Habib, ia berpikir bahwa
setidaknya bisa ia membawa pulang leher domba itu. “Panaskan panci!”
“Aku tidak punya roti ataupun bahan bakar,” kata
wanita itu.“Baiklah,” kata Habib. “Aku akan pergi mengambil roti dan bahan
bakar, dan semuanya akan kuperhitungkan dengan kulit domba.”Habib pun pergi dan
mengambil roti serta bahan bakar. Wanita-itu menyiapkan panci. Masakan itu pun
matang, dan si wanita hendak menuangkannya ke dalam sebuah mangkuk. Saat itu,
seorang pengemis mengetuk pintu.“Jika kami memberimu apa yang kami miliki,”
teriak Habib, “kau tak akan menjadi kaya, sementara kami sendiri akan menjadi
miskin!”Pengemis itu dengan putus asa, meminta wanita itu untuk menuangkan
sesuatu ke mangkuknya. Wanita itu mengangkat tutup panci dan melihat bahwa
seluruh isinya telah berubah menjadi darah. Wanita itu menjadi pucat, ia
bergegas menemui Habib dan menarik tangannya, membawanya mendekati panci itu.
“Lihatlah apa yang telah terjadi akibat praktik riba terkutukkmu itu, dan
akibat caci-makimu kepada. pengemis itu!” pekik wanita itu. “Apa yang akan
menimpa kita sekarang di dunia ini, belum lagi di akhirat kelak?”Melihat hal
ini, Habib merasa seakan-akan kobaran api di dalam tubuhnya yang tak akan
pernah surut. “Wahai wanita,” ujarnya; “aku menyesali segala, yang pernah
kulakukan.”
Esok harinya Habib kembali pergi menemui orang-orang
yang berutang padanya untuk menagih. Hari itu hari Jumat, anak-anak terlihat
bermain di jalan. Ketika mereka melihat Habib, mereka berteriak, “Jangan
dekat-dekat, agar debunya tidak menempel pada tubuh kita dan membuat kita
terkutuk seperti dirinya.”Kata-kata itu sangat menyakiti Habib, Ia kemudian
menuju gedung pertemuan, di sana Hasan Bashri sedang berceramah. Kebetulan, ada
kata-kata Hasan Bashri yang benar-benar- menghenyakkan hati Habib, hingga
membuatnya jatuh pingsan. Ia pun bertobat. menyadari apa yang telah terjadi,
Hasan Bashri memegang tangan Habib dan menenangkanya. Sepulangnya dari gedung
pertemuan., Habib terlihat oleh seseorang yang berutang padanya, orang itu pun
hendak melarikan diri. “Jangan lari!,” kata Habib padanya, “Mulai sekarang,
akulah yang harus melarikan diri darimu.” Habib pun berlari. Anak-anak masih
saja bermain di jalan. Ketika mereka melihat Habib, mereka kembali berteriak,
“Lihat, itu Habib sang petobat. Jangan dekat-dekat, agar debu kita tidak
menempel di tubuhnya, karena kita adalah para pendosa.”“Ya Allah, ya Tuhan,”
tangis Habib. “Karena satu hari ini, di mana aku bertobat, Engkau telah menabuh
genderang di hati manusia untukku, dan membuat namaku masyhur karena
kebajikan.” Lalu ia pun mengeluarkan pernyataan, “Siapa saja yang menginginkan
apa pun dari Habib, datanglah kepadaku dan ambil apa pun yang kalian mau!”,
Orang-orang pun berkumpul di rumahnya, dan ia memberikan segala yang
dimilikinya hingga ia tak punya uang sepeser pun. Kemudian, seorang pria datang
meminta sesuatu, Karena tak memiliki apa-apa lagi, Habib pun memberi pria itu
kain istrinya. Kepada seseorang yang datang kemudian, Habib memberikan bajunya,
sendiri, ia pun jadi telanjang dada.Habib lalu menyepi di tepi Sungai Eufrat
dan di sana ia menyerahkan diri sepenuhnya untuk ibadah.
Setiap hari, siang dan malam, ia. belajar di bawah
bimbingan Hasan, tapi ia tidak bisa mempelajari Al-Qur’an, karenanya, ia juluki
Barbar. Waktu pun berlalu, dan Habib benar-benar menjadi orang yang sangat,
miskin. Istrinya memintanya untuk memberi nafkah sehari-hari, Habib pun keluar
rumah menuju tepi Sungai Eufrat untuk beribadah. Ketika malam tiba, ia kembali
ke rumah. “Suamiku, di mana engkau bekerja, kok tidak membawa pulang apa-apa?,”
tanya istrinya. “Aku bekerja pada. seseorang yang sangat dermawan,” jawab
Habib, “Saking dermawannya ia, aku sampai malu untuk meminta kepadanya. Bila
telah tiba waktu yang tepat, ia akan memberi. Setiap sepuluh hari aku membayar
upah,” kata Bosku.Begitulah, setiap hari Habib pergi ke tepi sungai dan
beribadah di sana, hingga sepuluh hari. Pada hari kesepuluh, di waktu dzuhur,
di benaknya berkata; “Apa yang aku bawa pulang malam ini, dan apa yang aku
katakan pada isteriku?”Habib merenungkan hal ini dalam-dalam. Seketika, Allah
Yang Mahakuasa mengutus beberapa orang kuli ke rumah Habib dengan membawa
tepung, daging domba, minyak, madu, rempah rempah, dan bumbu dapur. Kuli-kuli
itu menaruh barang berat tersebut di dapur rumah Habib. Seorang anak muda yang
tampan menyertai mereka dengan membawa uang sebanyak tiga ratus dirham. Anak
muda itu mengetuk pintu rumah Habib.“Apa keperluan Anda?” tanya istri Habib
sambil membuka pintu. “Tuanku telah mengirim semua ini” jawab anak muda itu.
“Bilang pada Habib, ‘Bila kau tingkatkan hasilmu, niscaya kami akan tingkatkan
upahmu.” Setelah mengatakan hal itu, ia pun pergi.Di kegelapan malam, Habib
melangkah pulang, malu dan sedih. Ketika ia semakin mendekati rumahnya, ia
mencium aroma roti dan masakan. Istrinya berlari menyambutnya, membersihkan
wajahnya, dan berlaku sangat lembut padanya: “Suamiku,” kata istrinya, “tuanmu
itu sangat haik, dermawan, serta; penuh cinta dan kebaikan. lihatlah apa yang
telah ia kirimkan melalui seorang anak muda yang tampan! Dan anak muda itu
berkata, ‘Jika Habib pulang, katakan padanya, ‘Bila kau tingkatkan hasilmu,
niscaya kami akan tingkatkan upahmu.”Habib merasa takjub. “Menakjubkan!”
katanya. “Aku baru bekerja, selama sepuluh hari, dan ia telah memberikan
aku-segala kebaikan ini. Jika aku bekerja lebih keras, siapa yang tahu apa yang
akan diperbuatnya?” Habib pun memalingkan wajahnya sepenuhnya dari duniawi dan
mengabdikan diri untuk beribadah kepada-Nya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan