TEMPAT-TEMPAT PERSINGGAHAN IYYAKA NABUDU
WA IYYAKA NASTAIN
IMAM IBN QAYYIM AL JAUZIYAH
Di antara tempat persinggahan iyyaka
na'budu wa iyyaka nasta'in adalah tafwidh (pasrah).
Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata,
"Tafwidh ini mengandungkan isyarat yang amat lembut dan maknanya lebih
luas dari tawakkal. Sebab tawakkal setelah ada sebab, sedangkan tafwidh
se-belum ada sebab dansesudahnya, yang juga disebut istislam (kepasrahan diri
atau tunduk).
Tawakkal merupakan eabang dari
kepasrahan diri ini."
Artinya, orang yang pasrah membebaskan
diri dari daya dan kekuatan, menyerahkan urusan kepada yang dipasrahi, tidak
menempatkan dirinya pada posisi wakil yang menangani kemaslahatannya. Hal ini
ber-bedadengan tawakkal, karena orang yang mewakili menggantikan posisi orangyang
diwakili.
Tafwidh artinya keluar dari daya dan
kekuatan, menyerahkan semua urusan kepada yang berkuasa atas urusan itu. Maka
bisa dikatakan, "Begitu pula tawakkal. Kesan negatif yang diberikan kepada
tawakkal juga berlaku untuk pemasrahan. Bagaimana mungkin engkau memasrahkan sesuatu
yang sebenarnya engkau tidak memilikinya sama sekali kepada
orang yang berhak memilikinya? Bisakah
seorang rakyat biasa memasrahkan kekuasaan kepada raja atau penguasa pada
masanya?
Jadi kekurangan dalam tafwidh justru
lebih besardaripada kekurang-an dalam tawakkal. Bahkan sekiranya ada yang
berkata, "Tawakkal lebih tinggi kedudukannya daripada tafwidh dan lebih
agung", justru perkataan yang tepat. Karena itu Al-Qur'an banyak berisi
perintah untuk tawakkal dan pengabaran tentang para wali Allah yang keadaannya
selalu tawakkal.
Sementara tafwidh ini hanya disebutkan
sekali di dalam Al-Qur'an, yaitu kisah orang Mukmin dari pengikut Fir'aun.
Maka kami menyimpulkanbahwa tawakkal
lebih tinggi dan lebih luas maknanya daripada tafwidh.
Menurut
pengarang Manazilus-Sa'irin, tafwidh ini ada tiga derajat:
1. Hamba harus mengetahui bahwa dia
tidak memiliki kesanggupan sebelumberbuat, tidak merasa aman dari tipu daya,
tidak boleh putus asadari pertolongan dan tidak mengandalkan niatnya.
Dia harus yakin bahwa kesanggupannya
untuk berbuat ada di TanganAllah dan bukan di tangannya sendiri. Jika Allah
tidak memberinyakesanggupan, maka dia adalah orang yang lemah. Dia tidak
bergerak kecuali karena Allah dan bukan karena dirinya. Maka bagaimana mungkin dia
merasa aman dari tipu daya, sementara dia orang yang digerakkan dan bukan yang
menggerakkan? Jika Allah menghendaki, maka Dia bisa membuatnya lemah dan tak
berkeinginan, seperti firman Allahtentang orang-orang yang tidak mendapatkan
taufiq-Nya,
"Tetapi
Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah mlemahkan keinginan
mereka, dan dikatakan kepada mereka, Tinggallah kalian bersama orang-orang yang
tinggal itu'." (At-Taubah: 46).
Tipu daya Allah terhadap hamba ialah
memotong materi taufiq darinya, membiarkannya, tidak peduli terhadap apa pun
yang dilakukannya,tidak menggerakkannya kepada hal-hal yang diridhai-Nya. Inibukan
merupakan hak yang bisa dituntut dari Allah, sehingga Allahbisa disebut zhalim
karena tidak memberikan taufiq ini. Mahasuci Allahdari hal itu. Tapi taufiq itu
hanya sekedar karunia Allah, yangkarenanya Dia layak dipuji saat memberikannya
kepada seseorang ataupun saat tidak memberikannya kepada seseorang.
Jika Allah merupakan penggerak bagi
hamba, paling berkuasa, hanyaDialah yang menciptakan dan memberi rezki serta
Dia paling penyayangdi antara para penyayang, maka bagaimana mungkin hamba ituberputus
asa dari pertolongan-Nya?
Perkataan, "Tidak mengandalkan
niatnya", artinya tidak terlalu yakinterhadap niatnya sendiri dan tidak
bersandar kepadanya. Sebab niatdan hasratnya ada di Tangan Allah, bukan di
tangannya sendiri. Niatitu kembali kepada Allah dan bukan kepada dirinya
sendiri.
2. Merasakan kegundahan, sehingga
seorang hamba tidak melihat satuamal pun yang menyelamatkan, dosa yang merusak
dan sebab yangdiemban.
Artinya, seorang hamba harus melihat
kefakiran dan kebutuhannyakepada Allah. Dia melihat bahwa dalam setiap atom
zhahir dan batinnyatidak lepas dari kebutuhan terhadap Allah. Keselamatannya
tergantung kepada Allah dan bukan karena amalnya. Tidak melihat dosa yang
merusak artinya kebutuhannya terhadap Allah menghalanginya untuk mengerjakan
dosa yang merusak. Tidak melihat sebab yang diemban artinya memberikan
kesaksian bahwa yang mengemban sebab itu adalah Allah dan bukan dirinya.
3. Mempersaksikan kesendirian Allah yang
menguasai gerak dan diam, yang menahan dan membentangkan, mengetahui perbuatan
Allah terhadap hamba dan perbuatan Allah yang dinisbatkan kepada Diri-Nya
sendiri.
Derajat ini berkaitan dengan kesaksian
terhadap sifat-sifat Allah dan keadaan-Nya. Derajat pertama dan kedua berkaitan
dengan kesaksianterhadap keadaan hamba dan sifat-sifatnya. Artinya
mempersaksikan gerak dan diamnya alam, yang semuanya berasal dari Allah.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan