TEMPAT-TEMPAT PERSINGGAHAN IYYAKA NABUDU WA IYYAKA NASTAIN
IMAM IBN QAYYIM AL JAUZIYAH
Futuwwah (kejantanan) adalah kedudukan
yang pada hakikatnya merupakan kebajikan kepada manusia, tidak menyakiti mereka
dan sabar dalam menghadapi gangguan mereka, yang digunakan
sebagai penunjang akhlak yang baik dalam bergaul bersama mereka.
Perbedaannya
dengan muru’ah (keperwiraan), muru’ah lebih umum daripada futuwwah, dan
futuwwah merupakan bagian dari muru’ah.
Futuwwah
merupakan kedudukan mulia. Kata futuwwah berasal dari kata “fata” yang artinya
pemuda. Istilah futuwwah awal mulanya digunakan oleh Ja’far bin Muhammad,
Al-Fudhail bin Iyadh, Al-Imam Ahmad, Sahl bin Abdullah, dan Al-Junaid.
Dikisahkan
bahwa Ja’far bin Muhammad pernah ditanya seseorang tentang futuwwah ini. Orang
itu bertanya,”Wahai anak keturunan Rasulullah, kalau begitu apa maknanya
menurut kalian?” Ja’far menjawab,”Jika kami diberi, maka kami lebih suka
memberikannya kepada orang lain lagi, dan jika kami tidak diberi, maka kami
bersyukur.”
Penulis
Manazilus-Sa’irin, berkata,”Inti futuwwah artinya engkau
tidak melihat kelebihan pada dirimu dan
engkau tidak merasa memiliki hak atas manusia.”
Manusia
berbeda-beda tingkatannya dalam masalah ini. Yang paling tinggi adalah yang
seperti ini, dan yang paling rendah adalah kebalikannya. Sedangkan
pertengahannya adalah yang tidak melihat kelebihan dirinya, tapi dia melihat
adanya hak terhadap orang lain.
Ada 3 derajat futuwwah, yaitu :
[[1]]
Meninggalkan permusuhan, pura-pura melalaikan kesalahan orang lain dan
melupakan gangguan orang lain.
Untuk
menunjukkan futuwwah, engkau tidak perlu memusuhi seseorang dan tidak
menempatkan dirimu sebagai musuh bagi seseorang. Derajat ini ada 3 macam :
–
Tidak memusuhi seseorang dengan lisannya
–
Tidak memusuhinya dengan hatinya
–
Di dalam pikirannya tidak terlintas keinginan untuk memusuhinya.
Hal
ini berkaitan dengan hal dirinya. Tapi jika berkaitan dengan hak Allah, maka
futuwwah ini justru harus ditunjukkan dengan cara memusuhi karena Allah dan
bersama Allah serta menyerahkan hukum kepada Allah, seperti doa iftitah yang
dibaca Nabi Saw,”Karena-Mu aku berperang dan kepada-Mu aku menyerahkan hukum.”
Pura-pura
melalaikan kesalahan orang lain artinya, jika engkau melihat dia melakukan
kesalahan yang menurut syariat harus ada sangsi hukuman, maka buatlah
seakan-akan engkau tidak melihatnya. Yang demikian ini lebih baik daripada
menyembunyikan kesalahannya itu, padahal engkau melihatnya.
Abu
Ali Ad-Daqqaq menuturkan, bahwa ada seorang wanita yang menemui Hatim
menanyakan suatu masalah kepadanya. Pada saat itu tanpa disengaja wanita
tersebut kentut, sehingga dia merasa sangat malu. Hatim berkata,”Bicaralah yang
keras!” Wanita itu langsung menampakkan rona kegembiraan, karena dia mengira
Hatim tuli atau tidak normal pendengarannya. Wanita itu berkata,”Kalau begitu
dia tidak mendengar suara kentutku.” Karena kejadian ini Hatim dijuluki Hatim
si tuli. Tindakan Hatim seperti ini bisa disebut separuh futuwwah.
Engkau juga harus melupakan gangguan orang lain
terhadap dirimu, agar hatimu menjadi bersih dan engkau tidak melancarkan
balasan atau kebencian kepadanya.
[[2]]
Mendekati orang yang menjauhimu, memuliakan orang yang menyakitimu, memaafkan
orang yang berbuat jahat kepadamu, lapang dada dan bukan amarah,
kasih-mengasihi dan bukan menahan-nahan diri serta pura-pura sabar.
Derajat ini lebih tinggi dan lebih sulit dari sebelumnya,
karena derajat pertama hanya meninggalkan permusuhan dan pura-pura lalai,
sedangkan derajat ini mengandung sikap santun kepada orang yang justru berbuat
tidak baik dan jahat kepadamu. Kebaikan dan kejahatan merupakan 2 garis sejajar
yang tidak bertemu pada satu titik.
Siapa yang ingin memahami derajat ini sebagaimana
lazimnya, maka hendaklah dia melihat perikehidupan Rasulullah Saw dan pergaulan
beliau bersama manusia.
Tidak
ada yang lebih sempurna dalam masalah ini selain beliau, kemudian para pewaris
beliau, termasuk pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Rekan-rekannya berkata,”Aku
ingin sikapku terhadap teman-temanku seperti sikapnya terhadap musuh-musuhnya.”
Memaafkan
orang yang berbuat jahat kepadamu, memang sepintas lalu agak sulit untuk
dipahami. Karena bagaimana mungkin kejahatan harus dimaafkan begitu saja?
Pemahaman lebih jauh, engkau tidak perlu menjatuhkan hukuman kepadanya atas
kejahatannya terhadap dirimu. Lalu buatlah pergaulan dengan
manusia semacam ini muncul dari kelapangan dadamu dan tenggang rasamu, bukan
dengan cara menahan-nahan amarah, dengan dada yang menyesak dan memaksakan
kesabaran, karena yang demikian ini sama dengan pemaksaan yang cepat
akan berubah, lalu akhirnya membuka sifatmu yang asli, yaitu tidak bisa
memaafkan kesalahan orang lain dan tidak lapang dada.
[[3]]
Tidak bergantung kepada bukti penunjuk dalam perjalanan, tidak mengotori
pemenuhan hak Allah dengan pengganti dan tidak menegakkan kesaksian kepada
rupa.
Inilah
3 perkara yang terkandung di dalam derajat ini. Tidak bergantung kepada bukti
penunjuk dalam perjalanan, artinya, orang yang mengadakan perjalanan kepada
Allah berpijak kepada keyakinan, bashirah dan kesaksian. Jika dia bergantung
kepada bukti penunjuk dan rambu-rambu jalan, berarti dia belum mencium bau
keyakinan. Karena itu para rasul tidak menyeru menekankan ajakan untuk
menyatakan adanya Pencipta, tetapi menyeru mereka untuk menyembah dan
mengesakan-Nya. Untuk pengakuan tentang adanya Allah, maka seruannya sudah
pasti tanpa disertai keragu-raguan sedikit pun, seperti firman Allah pada QS
Ibrahim : 10.
Bagaimana
mungkin tuntutan pembuktian atas sesuatu yang harus dibuktikan dianggap sah,
sementara sesuatu yang harus dibuktikan itu lebih nyata daripada pembuktiannya?
Dalam
memenuhi hak Allah, maka engkau tidak boleh meminta imbalan.
Pemenuhanmu terhadap hak Allah harus dilakukan secara
tulus, dilandasi cinta dan mencari apa yang dicintai-Nya, tidak mengotorinya
dengan tuntutan pengganti dan dan imbalan, karena yang demikian ini sama sekali
tidak mencerminkan futuwwah. Siapa yang tidak menuntut dari selain Allah dan
tidak menodainya dengan imbalan yang dimintanya, tapi dilakukan atas dasar
cinta dan mengharapkan Wajah Allah, pada hakikatnya dia telah beruntung
mendapatkan pengganti dan imbalan. Selagi imbalan ini bukan merupakan
tujuannya, maka dia justru mendapatkan bagian yang lebih banyak, dia terpuji,
dan disyukuri.
Tidak
menegakkan kesaksian kepada rupa, artinya tidak melandaskan kesaksian terhadap
hal-hal yang tampak. Kesaksian yang benar mampu meniadakan hal-hal yang nyata
dan rupa-rupa yang bisa mengecoh. Maksudnya, semua makhluk tidak dianggap
sebagai sesuatu yang agung. Menurut ilmu orang-orang yang
khusus, mencari cahaya hakikat berdasarkan tuntutan bukti petunjuk, tidak
diperbolehkan bagi orang yang mengaku memiliki futuwwah. Jika terhadap musuhmu
saja engkau tidak perlu menuntut maaf dan pembuktian tentang kebenaran maafnya,
maka bagaimana mungkin engkau menuntut bukti tauhid dan ma’rifat terhadap
Pelindung dan Kekasihmu, kekuasaan dan kehendak-Nya? Tentu saja hal ini
bertentangan dengan futuwwah dari segala segi.
Jika ada seseorang mengundangmu untuk datang ke rumahnya, lalu engkau berkata kepada utusannya,”Aku tak akan pergi bersamamu ke rumahnya, kecuali apabila engkau memberikan bukti tentang keberadaan orang yang mengundangmu”, berarti engkau adalah orang yang membual dan terlalu hina untuk memiliki futuwwah. Lalu, bagaimana mungkin engkau menuntut bukti dari Allah, yang keberadaan-Nya, keesaan, kekuasaan, Rububiyah dan Uluhiyah-Nya lebih nyata dari segala bukti dan dalil
Tiada ulasan:
Catat Ulasan