TEMPAT-TEMPAT PERSINGGAHAN IYYAKA NABUDU WA IYYAKA NASTAIN
Allah befirman sehubungan dengan salah satu tempat persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in ini,
"Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah
melihat(segala perbuatannya)?" (Al-Alaq: 14).
"Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa
yangdisembunyikan oleh hati." (Al-Mukmin: 19).
Di dalam Ash-Shahih disebutkan
dari hadits Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam pernah melewati seseorang yang sedang menasihati saudaranya tentang rasa
malu. Maka be-liaubersabda kepada orang itu, "Biarkan saja dia, karena
rasa malu itusebagian dari iman."
Di dalam Ash-Shaihain disebutkan
dari Imran bin Hushain Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Rasa
malu itu tidak mendatangkan kecuali kebaikan."
Juga di dalam Ash-Shahihain dari
Abu Hurairah, dari RasulullahShallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, "Iman itu ada tujuh puluh cabang
lebih, atau enam puluh cabang lebih.
Yang paling utama adalah perkataan
la ilaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari
jalan, dan rasa malu itucabang dari iman."
Juga di dalam Ash-Shahihain dari
Abu Sa'id Al-Khudry Radhiyallahu
Anhu, bahwa dia berkata,
"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah orang yang lebih mudah
merasa malu daripada gadis di tempat pingitannya.
Jika melihat sesuatu yang tidak
disukai beliau, maka kami bisa melihatnya pada raut muka beliau."
Di dalam Ash-Shahih disebutkan
dari Nabi Shallallahu Alaihi waSallam, beliau bersabda,
"Sesungguhnya di antara
perkataan nubuwah pertama yang diketahui manusia adalah: Jika engkau tidak
malu, maka berbuatlah sesukamu."
Ada dua makna berkaitan dengan
hadits ini: Pertama, ini merupakan peringatan dan pengabaran, yang artinya:
Siapa yang tidak malu tentu akan berbuat sesukanya. Kedua, ini merupakan
pembolehan, yangartinya: Lihatlah perbuatan yang hendak engkau lakukan. Jika
termasuk sesuatu yang tidak mengundang rasa malu, maka lakukanlah. Namun yang
benar adalah yang pertama.
Banyak definisi malu yang
diberikan para ulama, seperti Al-Junaidyang berkata, "Karena melihat
berbagai macam karunia dan melihat keterbatasan diri sendiri, maka di antara
keduanya muncul suatu keadaanyang disebut malu. Hakikatnya adalah akhlak yang
mendorong untuk meninggalkan keburukan dan mencegah pengabaian dalam
memenuhihak Allah."
Sebagian orang arif berkata,
"Hidupkanlah rasa malu dengan berkumpul bersama orang-orang yang mempunyai
rasa malu. Hidupkanlah hati dengan kemuliaan dan rasa malu. Jika keduanya
hilang dari hati, maka di dalamnya tidak ada kebaikan yang menyisa."
Dalam atsar Ilahy Allah befirman,
"Wahai anak Adam, kamu tidak merasa malu kepada-Ku. Aku sudah membuat
manusia lupa aibmu, Aku membuat bumi lupa dosa-dosamu dan Aku menghapus dari
induk Kitab kesalahan-kesalahanmu. Jika tidak, tentu Aku akan menghisabmu pada
hari kiamat."
Al-Fudhail bin Iyadh berkata,
"Lima tanda penderitaan: Kekerasan hati, kejumudan mata, sedikit malu,
keinginan terhadap dunia dan angan-angan yang muluk-muluk."
Dalam atsar Ilahy
disebutkan,"Hamba-Ku benar-benar tidak adil terhadap-Ku. Dia berdoa
kepada-Ku dan Aku malu untuk tidak memperkenankannya, namun diadurhaka
kepada-Ku dan dia tidak malu kepada-Ku."
Malunya Allah terhadap hamba tidak
bisa diketahui melalui suatupemahaman dan tidak bisa digambarkan akal, karena
itu merupakan rasa malu yang timbul dari kemurahan hati, kebajikan dan
keagungan. Yang pasti Allah merasa malu terhadap hamba-Nya, jika hamba itu
menengadahkan tangan lalu kembali dengan hampa.
Rasa malu bisa dibagi menjadi
sepuluh macam:
1. Malu karena berbuat salah,
seperti malunya Adam Alaihis-Salam yang melarikan diri saat di surga. Allah
bertanya, "Mengapa kamu lari dari-Kuwahai Adam?" Adam menjawab,
"Tidak wahai Rabbi, tapi karena akumerasa malu terhadap Engkau."
2. Malu karena keterbatasan diri,
seperti rasa malunya para malaikat yang senantiasa bertasbih pada siang dan
malam hari dan tak ada waktu senggang pun tanpa tasbih. Namun begitu pada hari
kiamat mereka berkata, "Mahasuci Engkau, kami tidak menyembah kepada-Mu
dengansebenar-benarnya penyembahan."
3. Rasa malu karena pengagungan,
atau rasa malu karena memiliki ma'rifat. Sejauh mana ma'rifat seseorang
terhadap Rabb-nya, maka sejauh itupula rasa malunya terhadap-Nya.
4. Malu karena kehalusan budi,
seperti rasa malunya Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam saat mengundang
orang-orang pada acara walimah Zainab. Karena mereka tidak segera pulang, maka
beliau bangkit dari duduknya dan merasa malu untuk mengatakan kepada
mereka,"Pulanglah kalian."
5. Malu karena menjaga kesopanan,
seperti malunya Ali bin Abu Thalib ketika hendak meminta baju besi kepada
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, karena dia menjadi suami putri beliau.
6. Malu karena merasa diri terlalu
hina, seperti malunya hamba yang memohon berbagai macam keperluan kepada Allah,
dengan menganggap dirinya terlalu hina untuk itu.
7. Malu karena cinta, yaitu rasa
malunya orangyang mencintai dihadapan kekasihnya. Bahkan tatkala terlintas
sesuatu di dalam hatinya saat berjauhan dengan kekasihnya, dia tetap merasa
malu, tanpadi ketahui apa sebabnya, apalagi jika kekasihnya muncul secara tiba tiba
di hadapannya.
8. Malu karena ubudiyah ialah rasa
malu yang bercampur dengan cintadan rasa takut. Seorang hamba merasa
ubudiyahnya masih kurang, sementara kekuasaan yang disembah terlalu agung,
sehingga ubudiyahnya ini membuatnya merasa malu.
9. Malu karena kemuliaan ialah
malunya hamba yang memiliki jiwa yang agung tatkala berbuat bajik atau
memberikan sesuatu kepada orang lain. Sekalipun dia sudah bekorban dengan
mengeluarkan sesuatu, toh dia masih merasa malu karena kemuliaan jiwanya.
10. Malu terhadap diri sendiri,
yaitu rasa malunya seseorang yang memiliki jiwa besar dan mulia, andaikan
dirinya merasa ridha terhadap kekurangan dirinya dan merasa puas melihat
kekurangan orang lain.
Dia merasa malu terhadap dirinya
sendiri, sehingga seakan-akan dia mempunyai dua jiwa, yang satu merasa malu terhadap
yang lainnya.
Ini merupakan rasa malu yang
paling sempurna. Sebab jika seorang hamba merasa malu terhadap diri sendiri,
maka dia lebih layak untuk merasa malu terhadap orang lain.
Malu
ini ada tiga derajat, yaitu:
1. Malu yang muncul karena seorang
hamba tahu bahwa Allah melihat dirinya, hingga mendorongnya untuk bermujahadah,
mencela keburukannyadan membuatnya tidak mengeluh.
Selagi seorang hamba mengetahui
bahwa Allah melihat dirinya, maka hal ini akan membuatnya malu terhadap Allah,
lalu mendorongnyau ntuk semakin taat. Hal ini seperti hamba yang bekerja di
hadapan tuannya, tentu akan semakin giat dalam bekerja dan siap
memikulbebannya, apalagi jika tuannya berbuat baik kepadanya dan dia pun mencintai
tuannya. Keadaan ini berbeda dengan hamba yang tidak ditunggui dan dilihat
tuannya. Sementara Allah senantiasa melihat hamba-Nya. Jika hati merasa bahwa
Allah tidak melihatnya, maka iatidak merasa malu kepada-Nya.
Yang demikian ini juga
mendorongnya untuk mengecam keburukannya, karena rasa malu. Namun dorongan yang
lebih tinggi lagi ialah karena cinta. Rasa malu ini membuat hamba urung mengadu
dan mengeluhkepada selain Allah.
2. Malu yang muncul karena
merasakan kebersamaan dengan Allah, sehingga menumbuhkan cinta, merasakan
kebersamaan dan tidak sukabergantung kepada makhluk.
Kebersamaan dengan Allah ada dua
macam: Umum dan khusus. Yang umum ialah kebersamaan ilmu dan keikutsertaan,
seperti firman-Nya,
"Dan, Dia bersama kalian di mana saja kalian berada."
(Al-Hadid: 4).
"Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainlah
Dialah yang keempatnya. Dan, tiada (pembicaraan antara) lima orang melainkan Dialah
yang keenamnya. Dan, tiada pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu
atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka dimana pun mereka berada."
(Al-Mujadilah: 7).
Sedangkan kebersamaan yang khusus
ialah kedekatan bersama Allah,seperti firman-Nya,
"Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan
mereka yang berbuat kebajikan." (An-Nahl: 138).
"Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar."
(Al-Baqarah:153).
Dua makna ini merupakan kesertaan
Allah dengan hamba. Kata ma'a dalam Bahasa Arab berarti kesertaan atau
penggabungan yang selaras, tidak mengharuskan adanya pencampuran, kedekatan dan
berdampingan.
Sedangkan kata dekat, tidak
disebutkan di dalam Al-Qur'an kecuali dengan pengertian yang bersifat khusus,
yaitu ada dua macam:
Kedekatan Allah dengan orang yang
berdoa kepada-Nya, dengan cara mengabulkannya, dan kedekatkan Allah dengan
orang yang beribadah kepada-Nya, dengan cara memberinya pahala.
Yang pertama seperti firman Allah,
"Dan,
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwa Aku
adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon
kepada-Ku." (Al-Baqarah:186).
Ayat ini turun karena para sahabat
bertanya kepada RasulullahShallallahu Alaihi wa Sallam, "Apakah Allah itu
dekat sehingga kami bermunajat dengan-Nya, ataukah Allah itu jauh sehingga kami
berseru kepada-Nya?" Maka turun ayat ini sebagai jawabannya.
Yang kedua seperti sabda
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Keadaan hamba yang paling dekat
dengan Rabbnya ialah tatkala dia sujud, dan saat yang paling dekat antara Rabb
dan hamba-Nya ialah pada tengah malam."
Kedekatan ini mendorong hamba
untuk mencintai. Selagi cinta semakin bertambah, maka dia semakin merasakan
kedekatan. Cinta itu mempunyai dua macam kedekatan: Kedekatan sebelumnya dan
kedekatan sesudahnya. Kedekatan ini membuat hati bergantung dan
senantiasaberhubungan dengan Allah.
3. Malu yang muncul karena
melepaskan ruh dan hati dari makhluk, tidak ada kekhawatiran, tidak ada
pemisahan dan tidak berhenti untuk mencapai tujuan.
Jika ruh dan hati bersama Pencipta
semua makhluk, maka ia akan merasakan kedekatan dengan-Nya dan seakan bisa
menyaksikan-Nya secara langsung, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran untuk
berpisah dengan-Nya. Di dalam hati itu juga tidak ada sesuatu selain Allah.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan