TEMPAT-TEMPAT PERSINGGAHAN IYYAKA NABUDU WA IYYAKA NASTAIN
IMAM IBN QAYYIM AL JAUZIYAH
Allah befirman sehubungan dengan tempat persinggahan tawadhu' (rendah hati) ini,
"Dan, hamba-hamba Yang Maha Penyayang itu (ialah)
orang-orangyang berjalan di atas bumi dengan rendah hati." (Al-Furqan:
63).
Artinya, dengan tenang, berwibawa, rendah
hati, tidak jahat, tidak congkak dan sombong. Menurut Al-Hasan, mereka adalah
orang-orang yang berilmu dan bersikap lemah lembut.
Menurut Muhammad bin Al-Hanafiah, mereka
adalah orang-orang yang berwibawa, menjaga kehormatan diri dan tidak berlaku
bodoh. Kalaupun mereka dianggap bodoh, maka mereka tetap bersikap lemah lembut.
Jika dikatakan al-haun, maka artinya
lemah lembut. Sedangkan jika dikatakan al-hun, maka artinya hina. Yang pertama
merupakan sifat orang yang beriman, dan yang kedua merupakan sifat orang kafir.
Allah befirman,
"Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian
yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut
terhadap orang-orang yang Mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang
kafir." (Al-Maidah: 54).
Firman Allah, ”Adzillah alal mukminin”,
merupakan kerendahan hati yang menunjukkan sikap lemah lembut terhadap
orang-orang Mukmin, danbukan berarti merendahkan diri yang menjadikan pelakunya
menja-dihina. Tapi ini merupakan sifat lemah lembut yang membuat pelakunya penurut.
Sebab orang Mukmin itu penurut seperti yang disebutkan dalam hadits, "Orang Mukmin itu seperti onta yang
penurut, sedangkan orang munafik dan fasik itu hina."
Empat hal yang menempel pada diri orang
yang hina: Pendusta, pengadu domba, bakhil dan semena-mena.
Sifat orang Mukmin terhadap Mukmin
lainnya seperti sikap ayah kepada anaknya. Sedangkan dalam menghadapi orang
kafir seperti binatang buas yang menghadapi mangsanya.
Dalam Shahih Muslim disebutkan dari
hadits Iyadh bin Himar Radhiyallahu Anhu, dia berkata,
"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda, "Sesungguhnya
Allah telah mewahyukan kepadaku, agar kalian rendahhati, hingga seseorang tidak
membanggakan diri terhadap yang lain dan seseorang tidak berbuat aniaya
terhadap yang lain."
Di dalam Shahih Muslim juga disebutkan
dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu Anhu, dia berkata,
"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda, "Tidak akan masuk
surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan meskipun seberat
dzarrah."
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
senantiasa menunjukkan sikap tawadhu' kepada siapa pun. Jika beliau melewati
sekumpulan anak-anak kecil, maka beliau mengucapkan salam kepada mereka.
Ada seorang budak wanita yang
menggelendeng tangan beliau menuju tempat yang dikehendakinya. Jika beliau
makan, maka beliau menjilat jari-jari tangannya tiga kali. Jika berada di
rumah, maka beliau mengerjakan tugas-tugas keluarganya. Beliau biasa menjahit
sandalnya, menambal pakaian, memerah susu untuk keluarganya, memberi makan
onta, makan bersa-mapara pelayan, duduk bersama orang-orang miskin, berjalan
bersama para janda dan anak-anak yatim, memenuhi keperluan mereka, selalum engucapkan
salam terlebih dahulu kepada mereka, memenuhi undang-ansiapa pun yang
mengundangnya, sekalipun untuk keperluan yang sangat ringan dan reman. Akhlak
beliau lembut, tabiat beliau mulia, pergaulan beliau baik, wajah senantiasa
berseri, mudah tersenyum, rendah hati namuntidak menghinakan diri, dermawan
tapi tidak boros, hatinya mudah tersentuh dan menyayangi setiap orang Muslim
dan siap melin-dungi mereka.
Al-Fudahil bin Iyadh pernah ditanya
tentang makna tawadhu'. Maka dia menjawab, "Artinya tunduk kepada
kebenaran dan patuh kepadanya serta mau menerima kebenaran itu dari siapa pun
yang mengucapkannya."
Ada yang berpendapat, tawadhu' artinya
tidak melihat diri sendiri memiliki nilai. Siapa yang melihat dirinya memiliki
nilai berarti tidak memiliki tawadhu'.
Menurut Ibnu Atha', tawadhu' artinya mau
menerima kebenaran dari siapa pun. Kemuliaan ada dalam tawadhu'. Maka siapa
yang mencarinya dalam kesombongan, berarti dia seperti mencari air dari
kobaranapi.
Urwah bin Az-Zubair Radhiyallahu Anhuma
berkata, "Aku pernah melihat Umar bin Al-Khaththab memanggul segeriba air.
Maka kukatakan kepadanya, "Wahai Amirul-Mukminin, tidak sepantasnya engkau
melaku-kanhal ini."
Umar menyahut, "Ketika ada beberapa
orang utusan yang datang kepadaku dalam keadaan tunduk dan patuh, maka ada
sedikit kesombongan yang merasuk ke dalam diriku. Namun aku dapat
mengenyahkannya."
Abu Hurairah pernah diangkat sebagai
gubernur. Suatu hari ketika dia sedang memanggul kayu bakar, maka orang-orang
berkata, "Beri jalan bagi gubernur kita."
Umar bin Abdul-Aziz mendengar kabar bahwa
seorang anaknya membeli sebuah cincin seharga seribu dirham. Maka Umar menulis
surat kepadanya, yang isinya, "Aku mendengar engkau telah membeli cincin seharga
seribu dirham. Jika suratku ini sudah engkau baca, maka jual-lahcincin itu dan
belilah makanan dan berikan kepada seribu orang. Lalu belilah cincin lain dari
besi seharga dua dirham. Tulislah di dalam cincin itu kalimat ini: Allah
merahmati seseorang yang tahu nilai dirinya."
Dosa pertama yang menjadi kedurhakaan
terhadap Allah adalah dua macam:
Takabur dan ambisi. Takabur merupakan
dosa Iblis yang terlaknat. Sedangkan dosa bapak kita Adam adalah ambisi dan
syahwat.
Kesudahannya adalah taubat dan hidayah,
sedangkan dosa Iblis mendorongnya untuk mencari alasan dengan takdir. Dosa Adam
membuat-nya mengakui dosa tersebut lalu memohon ampunan. Orang yang takabur dan
beralasan kepada takdir akan bersama pemimpin mereka masuk ke dalam neraka,
yaitu Iblis. Sedangkan yang memiliki syahwat meminta ampun dan bertaubat serta
mengakui dosanya, yang tidak akan beralasan dengan takdir. Mereka bersama bapak
mereka, Adam di dalam surga.
Saya mendengar Syaikhul-Islam Ibnu
Taimiyah berkata, "Takabur lebih jahat daripada syirik. Sebab orang yang
takabur merasa dirinya hebat untuk beribadah kepada Allah. Sedangkan orang
musyrik masih mau beribadah kepada Allah dan kepada selain-Nya."
Saya katakan, "Maka tidak heran jika
Allah menjadikan neraka sebagai tempat tinggal orang-orang yang takabur,
sebagaimana firman-Nya, "Maka masukilah pintu-pintu neraka jahannam,
kalian kekal di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-orang yang menyombongkan
diriitu." (An-Nahl: 29).
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda, "Takabur itu penolakan terhadap kebenaran dan penghinaan
terhadap manusia."
Pengarang
Manazilus-Sa'irin, mengatakan, "Yang dimaksudkan
tawadhu' ialah jika hamba tunduk kepada kekuasaan Allah."
Dengan kata lain, menerima kekuasaan
Allah dengan penuh ketundukan dan kepatuhan serta masuk ke dalam penghambaan
kepada-Nya, menjadikan Allahsebagai penguasanya, seperti kedudukan raja yang
berkuasa terhadap budak-budaknya. Dengan cara inilah seorang hamba bisa
memiliki akhlak tawadhu'. Karena itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
menafsiri takabur sebagai kebalikan dari tawadhu', dengan bersabda,
"Takabur itu penolakan terhadap kebenaran dan penghinaan terhadap
manusia".
Menurutnya,
tawadhu' ada tiga derajat, yaitu:
1. Tawadhu' kepada agama, yaitu tidak
menentangnya dengan pemikiran dan penukilan, tidak menuduh dalil agama dan
tidak berpikir untuk menyangkal.
Tawadhu' kepada agama artinya tunduk
kepada apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan pasrah
kepadanya.
Hal
inibisa dilakukan dengan tiga cara:
- Tidak menentang sedikit pun darinya
dengan empat macam penentangan yang biasa dilakukan di dunia ini, yaitu dengan
akal, qiyas, perasaan dan penyiasatan. Yang pertama milik para teolog yang
menentang nash wahyu dengan akal mereka yang rusak. Mereka berkata,"Jika
akal dan nash yang saling bertentangan, maka kami mengutamakan akal dan kami
abaikan nash."
Yang kedua milik orang-orangyang
menyimpang dari kalangan ahli fiqih. Mereka berkata, "Jika qiyas
bertentangan dengan pendapat dan nash, maka kami mengutamakan qiyas daripada
nash dan kami tidak akan berpaling kepada nash."
Yang ketiga milik orang-orang yang
menyimpang dari kalangan sufi dan zuhud. Jika perasaan bertentangan dengan
nash, maka mereka mengutamakan perasaan dan tidak peduli terhadap perintah
nash.
Yang keempat milik para penguasa dan
pemimpin yang sombong. Jika syariat dan kepentingan politik saling bertentangan,
maka mereka mengutamakan kepentingan politik dantidak mempedulikan hukum
syariat.
Empat orang ini adalah orangorang yang
takabur. Sedangkan yang tawadhu' ialah yang bisa membebas-kan diri dari
perkara-perkara ini.
- Tidak menuduh satu dalil pun dari
dalil-dalil agama, dengan menganggapnya sebagai dalil yang tidak tepat, tidak
relevan, kurang atau terbatas. Jika seseorang berpikir seperti ini, maka
hendaklah dia mencurigai pemahamannya sendiri. Dan memang inilah yang
seringkali terjadi, bahwa tidaklah seseorang menuduh suatu dalil melainkan pemahamannyalah
yang tidak tepat. Jika engkau melihat suatu dalil yang terasa rumit untuk
dipahami, maka itu menunjukkan keagungannya dan di bawahnya tersimpan gudang
ilmu, yang kuncinya mungkin tidak ada pada dirimu.
- Tidak berpikir untuk menyangkal nash, entah
di dalam batinnya, entah dengan perkataan maupun perbuatannya. Jika dia
merasahendak menyangkal nash, maka dia harus menempatkan dirinya seperti orang
yang menyangkal perbuatan zina, mencuri, minumkhamr dan lain sebagainya.
Penyangkalan ini merupakan masalah yang amat besar di sisi Allah dan dapat
menyeret kepada kemunafik-an.
Tidak ada yang bisa menyelamatkan dari
hal ini kecuali mengetahui bahwa keselamatan hanya ada dalam bashirah dan
istiqamah, setelah ada keyakinan, bahwa keterangan tentang kebenaran ada di
belakang hujjah.
2. Meridhai orang Muslim sebagai saudara
sesama hamba seperti yang diridhai Allah bagi dirinya, tidak menolak kebenaran
sekalipun datang dari musuh dan menerima maaf dari orang yang meminta maaf.
Jika Allah sudah meridhai saudaramu
sesama Muslim sebagai hamba, maka apakah kamu tidak meridhai dirinya sebagai
saudaramu? Jika engkau tidak meridhainya sebagai saudaramu, padahal dia sudah
diridhai Tuanmu sebagai hamba seperti dirimu, berarti itu adalah takabur.
Lalu takabur macam apakah yang lebih
buruk dari takaburnya hamba terhadap hamba seperti dirinya, yang tidak mau
bersaudara dengannya, padahal tuannya sudah ridha keberadaannya sebagai hamba?
Derajat tawadhu' juga tidak dianggap sah
sehingga seorang hamba mau menerima kebenaran dari orang yang disukainya maupun
dari orang yang dibencinya. Bahkan dia harus mau menerimanya dari musuh seperti
dia menerimanya dari pelindungnya. Lalu jika ada yang
berbuat jahat kepadamu, yang datang
kepadamu untuk meminta maaf, maka tawadhu' mengharuskanmu menerima maafnya, tak
peduli apakah permintaan maafnya itu benar-benar datang dari hatinya atauhanya
sekedar pura-pura. Tentang apa yang disimpan di dalam hatinya, maka harus
diserahkan kepada Allah, seperti yang dilakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam terhadap orang-orang munafik yang melarikan diri dari medan
peperangan.
Ketika bertemu lagi dengan beliau, mereka
meminta maaf. Maka beliau menerima permintaan maaf tersebut, sedangkan apa yang
tersimpan di dalam hati mereka diserahkan kepada Allah.
3. Tunduk kepada Allah, melepaskan
pendapat dan kebiasaanmu dalam mengabdi, tidak melihat hakmu dalam mu'amalah.
Yang disebut tawadhu' ialah pengabdianmu kepada Allah, beribadah kepada-Nya seperti
yang diperintahkan-Nya kepadamu dan bukan menurut pendapatmu sendiri. Yang
membangkitkanmu untuk beribadah juga bukan kebiasaanmu, seperti kebiasaan yang
membangkitkan orang yang tidak memiliki bashirah. Andaikan yang membiasa-kannya
sesuatu kebalikannya, tentu itulah yang akan menjadi kebiasaannya.
Seorang hamba juga tidak boleh
beranggapan bahwa dia mempunyai hak atas Allah karena amalnya. Apa yang harus
dilakukannya adalah beribadah, memerlukan-Nya dan tunduk kepada-Nya.
Selagi dia menganggap mempunyai hak atas
Allah, maka mu'amalahnya menjadi rusak dan cacat, yang dikhawatirkan bisa
mendatangkan murka-Nya. Tapi bukan berarti hal ini menajikan hak Allah untuk
memberikan balasan dan pahala kepada orang yang beribadah kepada-Nya. Itu
semata merupakan hak Allah untuk memuliakan dan berbuat baik kepada hamba,
bukan merupakan hak hamba yang bisa diminta dari Allah, lalu mereka bisa
membuat ketentuan terhadap Allah karena amal mereka.
Jadi engkau harus bisa membedakan masalah
ini secara seksama.
Dalam
hal ini manusia bisa dibedakan menjadi tiga golongan:
- Golongan yang mengatakan bahwa hamba
terlalu lemah untuk memiliki hak atas Allah, sehingga Allah sama sekali tidak
mempunyai keharusan untuk memenuhi hak hamba dan berbuat baik kepada-nya.
- Golongan yang melihat bahwa Allah
mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya terhadap hamba, sehingga
mereka beranggapan bahwa hamba bisa menetapkan keharusan terhadap Allah dengan
amalnya. Dua golongan ini sama-sama menyimpang.
- Golongan yang benar, yang mengatakan
bahwa dengan amal dan usahanya hamba tidak berhak mendapatkan keselamatan dan keberuntungan
dari Allah, amalnya tidak menjamin dirinya bisa masuk surga dan
menyelamatkannya dari neraka, kecuali jika diam endapat karunia dan rahmat-Nya.
Namun begitu Allah juga menguatkan rahmat dan kemurahan-Nya yang diberikan
kepada hamba dengan ikatan janji, dan janji Allah berarti wajib, sekalipun
menggunakan kata "Agar, semoga, mudah-mudahan".
Pengertian lebih jauh, hamba yang tidak
melihat adanya hak atas Allah bukan berarti dia harus menajikan apa yang
diwajibkan Allah kepada dirinya dan menajikan apa yang telah dijadikan-Nya
sebagai hak bagihamba.
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah
bertanya kepada Mu'adz bin Jabal, "Hai Mu'adz, tahukah kamu apa hak Allah
atas hamba?"
Mu'adz menjawab, "Allah dan
Rasul-Nya yang lebih tahu."
Beliau bersabda, "Hak Allah atas
mereka ialah agar mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu pun
dengan-Nya.”
Hai Mu'adz, tahukah kamu apa hak hamba
atas Allah jika merekamelakukan hai itu?"
"Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu,
" jawab Mu'adz. Beliau bersabda, "Hak mereka atas Allah, hendaknya
Dia tidak mengadzab mereka dengan api neraka."
Allah adalah yang seorang pun tidak
mempunyai atas Diri-Nya, dan yang ada usaha sedikit pun yang hilang sia-sia di
sisi-Nya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan