TEMPAT-TEMPAT PERSINGGAHAN IYYAKA NABUDU
WA IYYAKA NASTAIN
IMAM IBN QAYYIM AL JAUZIYAH
Para ulama telah sepakat bahwa ridha
merupakan sunat atau sunat mu'akkad. Ada dua pendapat yang berbeda tentang
wajibnya. Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah mengisahkan dua
pendapat ini dari rekan-rekan Al-Imam Ahmad.
Tetapi Al-Imam Ahmad sendiri menyatakannya
sunat. Tidak pernah disebutkan adanya perintah ridha seperti halnya perintah
sabar. Penyebutannya hanya sebatas pujian terhadap orang-orang yang ridha.
Ibnu Taimiyah juga berkata, "Tentang
riwayat dari Allah yang menyatakan, 'Siapa yang tidak sabar menerima cobaan-Ku
dan tidak ridha terhadap qadha'-Ku, maka hendaklah ia mengambil sesembahan
selain Aku', maka ini adalah kisah Isra'iliyat, yang sama sekali tidak pernah diriwayatkan
dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam." Apalagi de-ngan pendapat
yang mengatakan bahwa ridha itu bukan termasuk amal yangdiusahakan, tapi
merupakan pemberian dan anugerah, lalu dikata-kan, "Bagaimana mungkin
ridha ini diperintahkan, sedangkan hamba tidak ditakdirkan untuk ridha?"
Ada
tiga pendapat tentang ridha ini:
- Ridha termasuk satu kedudukan yang
mulia, yaitu puncak dari tawak-kal.
Berarti hamba bisa mencapai ridha ini
dengan usahanya. Ini merupakan pendapat para ulama Khurasan.
- Ridha termasuk keadaan dan tidak bisa
diupayakan hamba, tapi ridha initurun ke hati hamba seperti keadaan-keadaan
lainnya. Ini merupakan pendapat para ulama Irak. Perbedaan antara kedudukan dan
keadaan,kedudukan diperoleh karena usaha, sedangkan keadaan sema-ta karena pemberian
dan anugerah.
- Golongan ketiga ada di antara golongan
pertama dan kedua. Menurut mereka, dua pendapat ini dapat disatukan, bahwa
permulaan ridha bisa diusahakan hamba, yang berarti termasuk kedudukan,
sedangkan kesudahannya termasuk keadaan dan tidak bisa diupayakan hamba.
Permulaannya merupakan kedudukan dan
kesudahannya merupakan keadaan.
Mereka yang menganggap ridha termasuk
kedudukan atau amalyang bisa diupayakan, berdalih bahwa Allah memuji pelakunya
dan menganjurkannya. Ini berarti mereka mampu mengupayakannya.
Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda,
"Yang merasakan manisnya iman ialah orang yang ridha kepada
Allahsebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama dan kepada Muhammadsebagai
rasul."
Beliau juga bersabda,
"Siapa yang mengucapkan saat mendengar adzan, 'Aku ridha
kepadaAllah sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama dan kepada Muhammadsebagai
rasul', maka diampuni dosanya."
Dua hadits ini merupakan inti kedudukan
agama dan sekaligus merupakan puncaknya, yang di dalamnya terkandung ridha
terhadap Rububiyah dan Uluhiyah Allah, ridha kepada Rasul-Nya, ketundukan, ridha
kepada agama-Nya dan kepasrahan kepada-Nya. Siapa yang menghimpunempat perkara
ini, maka dia adalah orang yang shiddiq. Memang hal ini mudah diucapkan, tapi
termasuk sulit dan berat jika datang co-baan,apalagi jika ada sesuatu yang
bertentangan dengan nafsu dan keinginannya, sehingga akan tampak apakah ridha
itu hanya sekedar dilisan atau memang merupakan keadaan dirinya.
Ridha kepada Rububiyah Allah mengandung
ridha terhadap pengaturan-Nya terhadap hamba, juga mengandung pengakuan
terhadap kesendirian-Nya dalam tawakkal, keyakinan, penyandaran dan permintaanpertolongan.
Sedangkan ridha kepada Rasul-Nya mengandung kesempurnaan kepatuhan dan
kepasrahan kepadanya, sehingga keberadaan Rasul-Nya lebih penting daripada
keberadaan dirinya, tidak men-canpetunjuk kecuali dari kalimat-kalimatnya,
tidak ridha kepada selain hukumnya, dalam masalah apa pun, zhahir maupun batin.
Sedangkan ridha kepada agama-Nya berarti patuh kepada hukum, perintah dan
laranganagama, sekalipun mungkin bertentangan dengan kehendaknya atau pendapat
guru dan golongannya.
Yang pasti dalam masalah ini, ridha
adalah sesuatu yang bisa diupayakan ditilik dari sebabnya, dan merupakan
pemberian jika ditilik dari hakikatnya. Jika memang sebab-sebabnya dimungkinkan
dan pohonnyadapat ditanam, maka buah ridha juga bisa dipetik. Sebab ridha
merupakan akhir dari tawakkal. Siapa yang pijakan kakinya mantap pada
tawakkal,penyerahan diri dan kepasrahan, tentu akan mendapatkan ridha. Tapi karena
sulitnya mendapatkan ridha ini, maka Allah tidak mewajibkan-nya kepada
makhluk-Nya, sebagai rahmat dan keringanan bagi mereka. Namunbegitu Allah
menganjurkannya kepada mereka, memuji pelakunya danmengabarkan bahwa pahala
yang mereka terima adalah keridhaan Allah terhadap mereka, dan ini merupakan
pahala yang lebih agung daripada surga dan seisinya. Siapa yang ridha kepada
Rabb-nya, maka Dia jugaridha kepadanya. Karena itu ridha ini merupakan pintu
Allah yang paling besar, surga dunia, kehidupan orang-orang yang mencintai
dankenikmatan orang-orang yang banyak beribadah. Di antara faktor yang paling
besar mendatangkan ridha ialah mengikuti apa yang Allah ridha kepadanya, karena
inilah yang akan menghantarkan kepada ridha.
Yahya bin Mu'adz pernah ditanya,
"Kapankah seorang hamba mencapai kedudukan ridha?" Maka dia menjawab,
"Jika dia menempatkan dirinya pada empat landasan tindakan Allah kepadanya,
lalu dia berkata, "Jika Engkau memberiku, maka aku menerimanya. Jika
Engkaumenahan pemberian kepadaku, maka aku ridha. Jika Engkau membiarkanku, maka
aku tetap beribadah. Jika Engkau menyeruku, maka aku memenuhinya."
Ridha tidak disyaratkan untuk tidak
merasakan penderitaan dan hal-hal yang tidak disukai. Tapi keadaan ini tidak
boleh dihadapi dengan kemarahan atau penolakan takdir. Karena itu banyak orang
yang tidakbisa ridha karena hal-hal yang tidak disukai, seraya berkata,
"Ini tidak mungkin menurut tabiat." Itu hanya bisa dihadapi dengan
sabar. Sebab bagaimana mungkin ridha dan kebencian bisa menyatu padahal
keduanya saling bertentangan?
Yang benar, tidak ada pertentangan antara
ridha dan kebencian.
Adanya penderitaan dan kebencian tidak
menajikan ridha, seperti ridhanya orang yang sakit untuk minum obat, ridhanya
orang puasa pada hariyang sangat panas yang harus menanggung derita lapar dan
dahaga atau ridhanya mujahid fi sabilillah yang harus menanggung derita luka
dan lainlainnya.
Jalan ridha merupakan jalan yang paling
singkat dan paling dekat ke tujuan. Tapi sulit dan berat. Tapi kesulitannya
tidak seberat kesulitan jalan mujahadah, karena di sana tidak ada rintangan dan
kesudahan, selaindari hasrat yang tinggi, jiwa yang suci dan menerima apa pun
yang datang dari Allah. Yang demikian itu relatif lebih mudah bagi hamba,
apalagi diamengetahui kelemahan dirinya.
Allah berfirman,
"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati
yangpuas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hambahamba-Ku, dan
masuklah ke dalam surga-Ku." (Al-Fajr: 27-30)
Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata,
"Di dalam ayat ini Allah tidakmemberikan jalan bagi orang yang marah.
Ridha merupakan syarat bagihamba agar dapat masuk surga Allah. Ridha adalah
berada dalam ikatan agama seperti yang dikehendaki Allah, tanpa ragu-ragu dan
tanpa pengingkaran,di mana pun hamba berada."
Menurutnya,
ada tiga derajat ridha, yaitu:
1. Ridha secara umum, yaitu ridha kepada
Allah sebagai Rabb dan membenci ibadah kepada selain-Nya. Ini merupakan poros
Islam dan membersihkannya dari syirik yang besar.
Ridha kepada Allah sebagai Rabb artinya
tidak mengambil penolong selain Allah, yang diserahi kekuasaan untuk menangani
dirinya dan menjaditumpuan kebutuhannya.
Allah befirman,
"Katakanlah,
'Apakah aku akan mencari Rabb selain Allah, padahal Dia adalah Rabb bagi segala
sesuatu?'" (Al-An'am: 164).
Menurut Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma,
maksud Rabb dalam ayatini adalah tuan dan sesembahan. Di awal surat juga
disebutkan, "Katakanlah, 'Apakah akan aku jadikan Rabb selain dari Allah
yang menjadikan langit dan bumi?'" (Al-An'am: 14).
Arti Rabb di dalam ayat ini adalah
sesembahan, penolong, pelindung dan tempat kembali. Hal ini mencerminkan
loyaliti yang mengharuskanadanya ketaatan dan cinta. Di bagian tengah surat
Allah juga befirman,
"Maka
patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah
menurunkan kitab (Al-Qur'an) kepadamu dengan terperinci?" (Al-An'am: 114).
Artinya, layakkah selain Allah aku
jadikan hakim yang mengadiliperkara antara diriku dan diri kalian dan yang kita
perselisihkan? Padahal Kitab ini adalah pemimpin semua kitab. Maka bagaimana
mungkin kita menyerahkan perkara kepada kitab yang bukan Kitab-Nya?
SementaraKitab-Nya itu diturunkan secara rinci, jelas dan menyeluruh? Jika
engkau memperhatikan tiga ayat ini lebih cermat, tentu engkauakan tahu bahwa di
sana terkandung ridha kepada Allah sebagai Rabb,ridha kepada Islam sebagai
agama dan ridha kepada Muhammad sebagai rasul. Banyak orang yang ridha kepada
Allah sebagai Rabb dan tidakmencari Rabb selain-Nya. Tapi mereka tidak
menjadikan Allah sebagai satu-satunya penolong dan pelindung, tetapi mereka
mengangkat penolongselain-Nya, karena menganggap penolong ini dapat mendekatkan
mereka kepada Allah. Bahkan loyalitinya kepada penolong ini sepertiloyalitas
mereka kepada raja. Tentu saja ini merupakan syirik. Yangdisebut tauhid ialah
tidak mengambil selain Allah sebagai penolong. Al-Qur'an banyak ditebari
penjelasan sifat orang-orang musyrik, yang pada intinya mereka mengambil para penolong
selain Allah. Banyak juga orang yang mengangkat selain Allah sebagai hakim yang
berhak membuat keputusan hukum bagi dirinya. Jadi ada tiga sendi tauhid, yaitu:
Tidak mengambil selain Allah sebagai Rabb, sebagai sesembahan dan sebagai
hakim.
Penafsiran ridha kepada Allah sebagai
Rabb ialah membenci penyembahan kepada selain-Nya, dan ini merupakan
kesempurnaan dari ridha ini. Siapa yang memberikan hak-hak ridha kepada Allah
sebagaiRabb, tentu akan membenci penyembahan kepada selain-Nya. Sebab ridha terhadap
kemurnian Rububiyah mengharuskan adanya kemurnian ibadah kepada-Nya,
sebagaimana ilmu tentang tauhid Rububiyah mengharuskanadanya ilmu tentang
tauhid Uluhiyah.
Ridha ini membersihkan dari syirik yang
besar, yang pada hakikat-nya syirik itu ada dua macam, besar dan kecil. Ridha
ini membersihkan pelakunya dari syirik besar. Sedangkan syirik kecil dapat
dibersihkan jikaseorang hamba berada di tempat persinggahan iyyaka na'budu wa
iyyakanasta'in.
Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin,
ridha ini menjadi benar de-ngantiga syarat: Allah paling dicintai hamba
daripada cintanya kepada segala sesuatu, yang paling layak unruk diagungkan,
dan paling layak untuk ditaati.
2. Ridha terhadap Allah. Dengan ridha
inilah dibacakan ayat-ayat yang diturunkan. Ridha terhadap Allah ini merupakan
ridha terhadap qadha'dan qadar-Nya, dan ini merupakan permulaan perjalanan
orang-orangyang khusus.
Pengarang Manazilus-Sa'irin menjadikan
derajat ini lebih tinggi dari derajat sebelumnya. Menurutnya, seseorang belum
dianggap masuk Islam kecuali dengan derajat yang pertama. Jika dia sudah berada
di sana, berarti dia sudah berada dalam Islam. Sedangkan derajat ini termasuk
mu'amalah hati, yang diperuntukkan bagi orang-orang yang khusus, yaitu ridha terhadap
hukum-hukum Allah dan ketetapan-Nya.
Dikatakan sebagai permulaan perjalanan
bagi orang-orang yang khusus, karena ridha ini merupakan pendahuluan untuk
keluar dari jiwa atau keluarnya hamba dari bagian untuk dirinya dan menempatkan
diripada kehendak Allah, bukan pada kehendaknya.
Inilah yang dikatakan Syaikh. Tapi dengan
menempatkan derajat ini lebih tinggi daripada derajat pertama, perlu
dipertimbangkan lagi.
Mestinya, derajat pertama lebih tinggi
daripada derajat ini. Sebab derajat pertama bersifat khusus, sedangkan derajat
ini bersifat umum. Ridha kepada qadha' bisa dilakukan orang Mukmin dan juga
orang kafir. Sasarannya adalah tunduk kepada qadha' dan qadar Allah. Lalu
apalah artinya jika halini dibandingkan dengan ridha kepada Allah sebagai Rabb,
Ilah dan sesembahan? Di samping itu, ridha kepada Allah sebagai Rabb
merupakankeharusan, bahkan termasuk keharusan yang kuat. Siapa yang tidak
ridhakepada-Nya sebagai Rabb, maka Islamnya tidak dianggap sah, begi-tu pula amal
dan keadaannya. Sedangkan ridha kepada qadha'-Nya merupakansunat dan bukan
wajib, sekalipun ada pula yang menganggapnya wajib.Ridha kepada Allah sebagai
Rabb meliputi ridha terhadap-Nya. Ridha kepada Rububiyah Allah berarti
keridhaan hamba kepada perintah, larang-an,pemberian, penahanan, pembagian dan
qadar-Nya.
Siapa yang tidak ridhaterhadap semua ini,
berarti dia tidak ridha kepada-Nya sebagai Rabb dari segala sisi, sekalipun
mungkin dia ridha kepada-Nya sebagai Rabb dari sebagian sisinya. Ridha
kepada-Nya sebagai Rabb juga berkait dengan Dzat-Nya, sifat, asma',
Rububiyah-Nya yang bersifat khusus mau-punumum, yaitu ridha kepada-Nya sebagai
pencipta, pengatur, pemberi perintah dan larangan, raja, pemberi, penahan,
hakim, pelindung, penolong,pemberi afiat, pemberi cobaan, dan lain-lainnya dari
sifat-sifat Rububiyah. Sedangkan ridha terhadap Allah ialah keridhaan hamba
terhadapapa yang dilakukan Allah dan apa yang diberikan kepadanya.
Karenanya penyebutan ridha ini ha-nya
berkait dengan pahala dan balasan, seperti firman-Nya, "Hai jiwa yang
tenang. Kembalilah kepada Rabbmudengan hati yangpuas lagi diridhai-Nya."
Ridha kepada Allah merupakan dasar ridha
terhadap Allah. Ridha terhadap Allah merupakan buah ridha kepada Allah.
Artinya, ridha kepada Allah berkaitan dengan asma' dan sifat-sifat-Nya,
sedangkan ridha terhadap Allah berkaitan dengan pahala dan balasan-Nya. Nabi
Shallallahu Alaihi waSallam juga mengaitkan rasa manisnya iman dengan orang
yang ridha kepada Allah sebagai Rabb dan tidak mengaitkannya dengan orang yang
ridhaterhadap Allah, sebagaimana sabda beliau, "Yang merasakan manisnya
imanialah orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama
dan kepada Muhammad sebagai rasul." Beliau men-jadikan ridha kepada Allah
sebagai pasangan ridha kepada agama dan nabi-Nya. Tigaperkara ini merupakan
dasar agama.
Ridha kepada Allah sebagai Rabb mengandung
tauhid dan ubudiyah kepada-Nya, penyandaran, tawakkal, takut, berharap,
mencintai dansabar karena-Nya. Ridha kepada-Nya mencakup syahadat la
ilahaillallah. Ridha kepada Muhammad sebagai rasul mencakup syahadat bahwa Muhammad
adalah rasul Allah. Ridha kepada Islam sebagai agama mencakup ketaatan kepada
Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya. Tiga
perkara ini menghimpun semua unsur dalam
agama.
Perolehan ridha dalam derajat ini
tergantung dari keberadaan yangdiridhai hamba, apakah yang diridhai itu lebih
dicintai dari segala sesuatu,lebih layak diagungkan dan lebih berhak ditaati,
yang semua inimerupakan kaidah-kaidah ubudiyah, dan yang dari sini muncul
cabang cabangnya.
Karena cinta yang sempurna itu merupakan
kecenderungan hatisecara total kepada yang dicintai, maka kecenderungan ini
membawanyauntuk taat dan mengagungkannya. Selagi kecenderungannya kuat,
makaketaatannya lebih sempurna dan pengagungannya lebih banyak. Kecenderungan
ini mengharuskan adanya iman, dan bahkan merupakanruh dan intinya iman. Lalu
apakah yang lebih tinggi kedudukannya daripada sesuatu yang menjadikan Allah
paling dicintai hamba, lebih layak diagungkan dan paling berhak ditaati?
Dengan
cara inilah seorang hamba bisa merasakan manisnya iman, sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau
bersabda,
"Tiga
perkara, siapa yang tiga perkara ini adapada
dirinya, maka akan merasakan
manisnya iman, yaitu: Siapa yang Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada
selain keduanya, siapa yang mencintai seseorang, diatidak mencintainya
melainkan karena Allah, dan siapa yang tidak sukakembali kepada kekufuran,
setelah Allah menyelamatkannya dari kekufuran itu, sebagaimana dia tidak suka
dilemparkan ke neraka."
Beliau mengaitkan manisnya iman dengan
ridha kepada Allah sebagai Rabb, yaitu keberadaan Allah sebagai sesuatu yang
paling dicintai hamba, begitu pula Rasul-Nya. Karena cinta yang sempurna dan
ikhlas inimerupakan buah ridha, maka ridha ini lebih tinggi daripada ridha
kepada Rububiyah Allah, dan buahnya juga lebih tinggi, yaitu manisnya iman.
Perkataan Syaikh, "Dengan ridha
inilah dibacakan ayat-ayat yangditurunkan", dia mengisyaratkan kepada
firman Allah, " Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang
yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai
sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap mereka
dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yangpaling besar."
(Al-Maidah: 119).
Allah juga befirman di dalam surat
Al-Mujadilah,
"Dan,
dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawah-nya sungai-sungai,
mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha
terhadap-Nya. Mereka itulah golongan Allah.Ketahuilah bahwa sesungguhnya
golongan Allah itulah golongan yang beruntung." (Al-Mujadilah: 22).
Firman Allah lainnya,
"Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha
terhadap-Nya.Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada
Rabbnya."(Al-Bayyinah: 8).
Ayat-ayat ini mengandung balasan yang
mereka terima, karena kebenaran, iman, amal-amal shalih dan jihad mereka
memerangi musuh musuh Allah. Allah ridha terhadap mereka dan Dia membuat mereka
ridha terhadap-Nya. Yang demikian ini diperoleh setelah mereka ridha
kepadaAllah sebagai Rabb, ridha kepada Islam sebagai agama dan ridha kepada Muhammad
sebagai rasul.
Menurut
pengarang Manazilus-Sa'irin, ridha ini dapat menjadi
be-nar dengan tiga syarat: Menyelaraskan berbagai keadaan pada diri ham-ba, tidak
membuat permusuhan dengan manusia dan tidak meminta-minta dengan
merengek-rengek kepada makhluk.
Ridha terhadap Allah tidak akan terwujud
kecuali dengan tiga syarat ini. Orang yang ridha harus menyelaraskan dan
menyeimbangkan berbagai keadaan dirinya. Nikmat atau cobaan harus diterima
denganridha, bahwa itu merupakan pilihan terbaik dari Allah bagi dirinya.
Yang dimaksudkan menyelaraskan berbagai
keadaan di sini bukan tunduk dan pasrah begitu saja. Karena yang demikian ini
bertentangan dengan tabiat manusia dan bahkan bertentangan dengan tabiat hewan.
Juga bukan berarti menyeimbangkan
ketaatan dan kedurhakaan, karena yang demikian ini menajikan ubudiyah dari
segala sisi. Tapi maksudnya adalah menyeimbangkan antara nikmat dan cobaan
dalam keridhaan,yang bisa dilihat dari beberapa sisi, yaitu:
1. Hamba adalah pihak yang memasrahkan.
Pihak yang memasrahkan harus ridha terhadap pilihan pihak yang dipasrahi,
apalagi jika dia tahu kesempurnaan hikmah, rahmat, kasih sayang, kelembutan dan
kebagusan pilihannya.
2. Hamba bisa memastikan bahwa tidak ada
perubahan terhadap kalimat Allah dan tidak ada bantahan terhadap hikmah-Nya,
dan apa pun yang dikehendaki Allah pasti akan terjadi dan apa pun yang tidak
dike-hendaki-Nya tidak akan terjadi. Dia juga tahu bahwa masing-masing di
antara nikmat atau cobaan sudah ditetapkan dalam qadha' Allah dan qadar-Nya
semenjak semula.
3. Dia adalah hamba semata. Yang disebut
hamba itu tidak boleh marah terhadap keputusan Tuannya. Semua harus diterima
dengan ridha.
4. Hamba adalah pihak yang mencintai.
Orang yang mencintai secaratulus dan benar adalah yang ridha terhadap apa pun
yang dilakukan kekasihnya.
5. Hamba tidak tahu apa kesudahan dari
segala urusan. Yang lebih tahu tentang kemaslahatan dan yang bermanfaat baginya
adalah Tuannya.
6. Hamba adalah bodoh dan zhalim,
sedangkan Allah menghendaki kemaslahatan baginya dan menyediakan
sebab-sebabnya. Di antara sebab-sebab yang paling nyata ialah apa yang tidak
disukai hamba.
Kemaslahatannya karena hal-hal yang tidak
disukainya justru lebihnyata daripada kemaslahatannya karena hal-hal disukai.
Firman Allah, "Diwajibkan atas kalian berperang padahal
berperang itu adalah sesuatu yang kalian bend. Boleh jadi kamu membenci
sesuatu, padahal iaamat baik bagi kalian, dan boleh jadi kalian menyukai
sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui sedang kalian
tidak mengetahui." (Al-Baqarah: 216).
7. Dia adalah orang Muslim, dan orang
Muslim adalah orang yang menyerahkan dirinya kepada Allah, tidak menentang
ketetapan hukum-Nyadan tidak marah karenanya.
8. Dia adalah orang yang mengetahui
Rabb-nya, berbaik sangka kepada-Nya dan tidak bersikap curiga terhadap qadha'
dan qadar-Nya. Persangkaannya
yang baik terhadap Allah mengharuskannya
untuk menyeimbangkan berbagai keadaan dirinya dan ridha terhadap pilih-an-Nya.
9. Bagian yang diterimanya tergantung
dari ridha dan amarahnya. Jika diaridha terhadap pilihan Allah, maka dia juga
akan mendapatkan ridha-Nya, dan jika dia marah terhadap pilihan Allah, maka dia
juga akan menerima murka-Nya.
10. Dia tahu bahwa sekiranya dia ridha,
maka ridhanya itu bisa berubah menjadi nikmat dan karunia, beban yang
diembannya juga semakin ringan dan ada kegembiraan yang dirasakannya. Namun
jika dia marah, maka beban yang diembannya akan terasa semakin berat dan tidak menambah
kecuali kesulitan. Inti masalah ini, bahwa imannya kepada qadha' Allah merupakan
kebaikan baginya, seperti yang di-sabdakanNabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
"Demi yang diriku ada di Tangan-Nya,
tidaklah Allah menetapkanqadha' bagi orang Mukmin melainkan itu merupakan
kebaikan baginya. Jika dia ditimpa kesenangan, lalu dia bersyukur, maka itu
menjadikebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan, lalu dia bersabar,
makaitu menjadi kebaikan baginya, dan yangdemikian itu hanya bagi orang Mukmin
saja."
11. Dia tahu bahwa kesempurnaan
ubudiyahnya justru tampak ketika ada ketetapan hukum yang dibencinya. Sekiranya
yang terjadi pada dirinya hal-hal yang disukainya, tentu dia akan jauh dari
ubdudiyah kepada Allah. Ubudiyahnya tidak akan menjadi sempurna, sekalipun disertai
kesabaran, tawakkal, ridha, tunduk, pasrah dan lain-lainnya,kecuali jika ada
qadar yang dibencinya. Yang menjadi pertimbangan bukan terletak pada keridhaan
terhadap qadha' yang sesuai dengantabiat, tetapi terletak pada qadha' yang
menyakitkan dan dihindari tabiat.
12. Dia tahu bahwa ridhanya terhadap
Allah dalam berbagai keadaan akan membuahkan keridhaan Allah terhadapnya. Jika
dia ridha terhadap rezki yang sedikit, maka Allah ridha terhadap amalnya yang
sedikit.
Jika dia ridha terhadap Allah dalam semua
keadaan dan menyeimbangkannya ,maka dia akan mendapatkan Allah lebih cepat
ridha kepadanya.
13. Dia tahu bahwa kegembiraan dan
kenikmatannya yang paling besarialah ridha terhadap Allah, karena ridha
merupakan pintu Allah yangpaling besar dan tempat peristirahatan orang-orang
yang memiliki ma'rifat serta surga dunia.
14. Amarah merupakan pintu keresahan,
kekhawatiran, kesedihan, kehancuranhati, persangkaan yang buruk terhadap Allah.
Ridha membebaskannyadari semua itu dan membukakan pintu surga dunia
sebelumsurga akhirat.
15. Ridha mendatangkan thuma'ninah, hati
yang dingin, kedamaian dan keteguhannya. Sedangkan amarah mendatangkan
kegundahan, kegelisahan dan keguncangan hati.
16. Ridha menurunkan ketenangan, dan
tidak ada yang lebih bermanfaat selain dari ketenangan ini. Selagi ketenangan
turun ke dalam hati, maka iamenjadi teguh dan keadaannya menjadi baik.
Sedangkan amarah menjauhkan hati itu dari ketenangan.
17. Ridha membukakan pintu keselamatan,
sehingga hatinya menjadi selamat dan bersih dari dusta, dengki dan khianat.
Tidak ada yangselamat dari adzab Allah kecuali yang datang kepada Allah dengan
hatiyang selamat. Tidak mungkin hati dikatakan selamat jika di dalam-nya juga
ada amarah dan tidak ridha. Selagi hamba lebih ridha, maka hatinya lebih
selamat. Dengki, dusta dan khianat merupakan pasang-an amarah.
Keselamatan hati, kelapangan dan kebajikannya
merupakan pasangan ridha.
18. Amarah akan mendatangkan
ketidakteguhan hamba di hadapan Allah. Dia tidak ridha kecuali terhadap sesuatu
yang sesuai dengan tuntutan tabiat dan nafsunya. Padahal di sana ada ketetapan
yang sesuai dengan tabiatnya dan ada pula yang tidak sesuai. Jika ada ketetapan
yang tidak sesuai, maka dia menjadi marah, sehingga dia tidak teguh dalam ubudiyah,
dan jika ada ketetapan yang sesuai dengan tabiatnya, makadia menjadi teguh
dalam ubudiyah. Tidak ada yang menghilangkan ketimpangan ini dari hamba selain
dari ridha.
19.Amarah membuka pintu keragu-raguan
terhadap Allah, qadha' dan qadar-Nya, hikmah dan ilmu-Nya. Jarang sekali orang
yang marah terlepas dari keragu-raguan yang menyusup ke dalam hatinya,
sekali-punmungkin dia tidak menyadarinya. Amarah dan keragu-raguan merupakan
pasangan. Inilah makna yang terkandung dalam hadits riwayat At-Tirmidzy dan
lain-lainnya, dari Nabi Shallallahu Alaihi waSallam, beliau bersabda,
"Sekiranya
engkau sanggup berbuat dengan ridha disertai keyakinan,maka lakukanlah. Jika
engkau tidak sanggup, maka sabar dalammenghadapi sesuatu yang dibenci jiwa
terdapat kebaikan yang banyak."
20. Ridha kepada apa yang ditakdirkan
termasuk kebahagian anak Adam, dan marah kepada takdir merupakan
penderitaannya, sebagaimanayang disebutkan di dalam Al-Musnad dan riwayat
At-Tirmidzy, dari
hadits Sa'd bin Abi Waqqash Radhiyallahu
Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Di antara kebahagiaan anak Adam ialah memohon pilihan yang
terbaik kepada Allah Azza wajalla, dan di antara kebahagiaan anak Adam ialah ridhanya
kepada apa yang ditetapkan Allah. Di antara penderi-taan anak Adam ialah
amarahnya kepada apa yang ditetapkan Allah, dan di antara penderitaan anak Adam
ialah tidak mau memohon pilihan yang terbaik kepada Allah."
21. Ridha membuatnya tidak putus asa
karena sesuatu yang tidak bisa didapatkannya dan tidak gembira karena apa yang
didapatkannya. Ini termasuk tanda kebaikan iman.
22. Siapa yang hatinya dipenuhi keridhaan
kepada takdir, maka Allah memenuhi dadanya dengan kekayaan, rasa aman dan
kepuasan, mengosongkan hatinya agar hanya mencintai-Nya dan tawakkal
kepa-da-Nya.
23. Ridha membuahkan rasa syukur, yang
termasuk kedudukan iman yang paling tinggi, bahkan itu merupakan hakikat iman,
sedangkan ama-rahakan membuahkan kebalikannya, yaitu mengkufuri nikmat, dan
bisa bisa mengkufuri Pemberi nikmat. Jika hamba ridha kepada Rabb-nya dalam
setiap keadaan, niscaya akan membuatnya syukur kepada-Nya,sehingga dia termasuk
orang-orang yang ridha lagi syukur. Jika tidak ridha, maka dia termasuk
orang-orang yang marah dan ini merupakan jalan orang-orang kafir.
24. Ridha menjauhkan hasrat dan kerakusan
terhadap dunia, yang merupakanpangkal segala kesalahan dan dasar semua bencana.
Ridha kepada Allah dalam setiap keadaan bisa menghapus materi bencana ini.
25. Biasanya syetan lebih berhasil
memperdayai manusia saat dia marahdan saat menuruti syahwat, karena di sana
terdapat umpannya. Terlebih lagi jika amarahnya sudah memuncak, maka dia akan
mengatakansesuatu yang tidak diridhai Allah, melakukan sesuatu yang tidak diridhai
Allah dan meniatkan sesuatu yang tidak diridhai Allah. Karena itu Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda saat kematian putranya,Ibrahim,
"Hati boleh bersedih dan mata boleh berlinang airmata, tapi kami tidak
mengatakan kecuali yang diridhai Rabb." Sebabkematian anak biasanya
merupakan peletup bagi hamba untuk marah kepada takdir. Dalam keadaan seperti
itu beliau tidak mengucapkan kata-kata yang membuat kebanyakan orang merasa
marah, lalumereka pun mengatakan sesuatu yang tidak diridhai Allah. Maka
dariitu Al-Fudhail bin Iyadh justru terlihat tersenyum saat anaknya raeninggal.
Sehingga ada yang bertanya kepadanya,
"Mengapa engkau justru tertawa saat anakmu meninggal?" Dia menjawab,
"SesungguhnyaAllah telah menetapkan takdir-Nya. Maka aku ridha terhadap takdir-Nya
itu."
Sebagian orang ada yang menentang sikap
Al-Fudhail ini, seraya berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
menangis saat putra beliau meninggal dan mengabarkan bahwa hati boleh bersedih
danmata boleh menitikkan air mata." Padahal beliau berada di
puncakkeridhaan. Maka bagaimana mungkin tindakan Al-Fudhail itu diang-gap sebagai
keutamaannya?"
Yang pasti, hati Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam adalah hati yang lapang, menyempurnakan semua tingkatan, seperti
ridha terhadap Allah dan menangis karena kasih sayang kepada anak kecil. Beliau
mempunyai kedudukan ridha dan kasih sayang serta kelembutan hati.
Sedangkan hati Al-Fudhail tidak lapang
untuk diisi ridha dan kasihsayang. Di dalam hatinya tidak terhimpun dua perkara
ini.
26. Ridha adalah pilihan Allah bagi
hamba-Nya, dan amarah merupakan kebencian yang tidak dipilih Allah bagi
hamba-Nya, dan ini termasuk jenis penentangan, yang tidak bisa dibebaskan
kecuali dengan ridhaterhadap Allah dalam segala keadaan.
27.Ridha mengeluarkan hawa nafsu dari
hati. Hawa nafsu orang yang ridha mengikuti kehendak Rabb-nya, yaitu kehendak
yang dicintai dan diridhai-Nya. Ridha dan keinginan mengikuti hawa nafsu tidak
akanmenyatu di dalam hati untuk selama-lamanya.
28. Ridha terhadap Allah dalam segala
keadaan membuahkan ridha Allah bagi hamba. Seperti yang sudah dijelaskan di
atas, pahala itu termasukjenis amal. Dalam atsar Isra'iliyat disebutkan, bahwa
Musa Alaihis-Salam bertanya kepada Rabb-nya, "Apakah yang bisa mendekatkan
dirikudengan ridha-Mu?" Maka Allah menjawab, "Sesungguhnya
Ridha-Kuada dalam ridhamu kepada qadha'-Ku."
29. Ridha terhadap qadha' adalah sesuatu
yang paling berat bagi jiwa, karena ridha ini bertentangan dengan nafsu, tabiat
dan keinginan-nya.
Jiwa tidak akan tenang hingga ia ridha
terhadap qadha'. Pada saat itulah ia berhak mendapat seruan dari Allah,
"Hai jiwa yang tenang...."
30. Orang yang ridha menerima
perintah-perintah Rabb-nya, baik yang berupa perintah agama maupun takdir,
dengan lapang, tunduk danpatuh. Sedangkan yang marah menerima perintah-Nya
dengan kebalikannya,kecuali jika perintah itu sesuai dengan tabiat dan
kehendak-nya.
Tapi ridha ini tidak mendatangkan pahala
baginya, karena dia tidakridha kepada Allah yang telah menetapkan qadha'
baginya dan memerintahnya.
31. Semua penentangan pada dasarnya
adalah tidak ridha, dan semua ketaatan pada dasarnya adalah ridha. Hal ini
dapat diketahui seseorang yang benar-benar mengetahui sifat-sifat dirinya, dan
mengetahuiketaatan atau kedurhakaan yang muncul dari sifat-sifat tersebut.
32. Tidak ridha membukakan pintu bid'ah
dan ridha menutup pintu bid'ah.
Jika engkau memperhatikan bid'ah golongan
Rafidhah, Kha-warij dan lain-lainnya, tentu engkau akan mengetahui bahwa semua
itu bermula dari tidak adanya ridha terhadap hukum alam atau hu-kum agama,atau
kedua-duanya.
33. Ridha merupakan pembatas aturan
agama, zhahir maupun batin. Semua urusan tidak lepas dari lima hai, yaitu:
hal-hal yang diperintahkan, yang dilarang, yang mubah, nikmatyang menyenangkan,
danc obaan yang menyengsarakan. Jika hamba mempergunakan ridha dalam semua
perkara ini, berarti dia telah mengambil bagian yang banyak dari Islam dan
mendapat keberuntungan.
34. Ridha membebaskan hamba dari
penentangan terhadap Rabb, berkaitan dengan hukum dan ketetapan-ketetapan-Nya.
Sedangkan amarah merupakan penentangan terhadap Rabb, karena hamba tidak ridha kepada-Nya.
Dasar penentangan Iblis terhadap Rabb-nya ialah tidak ridha terhadap
hukum-hukum-Nya, agama maupun alam.
35. Semua yang ada di alam ini tunduk
kepada kehendak Allah, hikmah dan kekuasaan-Nya. Hal ini sesuai dengan asma'
dan sifat-sifat-Nya.
Siapa yang tidak ridha terhadap apa yang
diridhai Allah, berarti diatidak ridha terhadap asma' dan sifat-sifat-Nya, yang
berarti tidak ridha kepada-Nya sebagai Rabb.
36. Setiap takdir yang dibenci hamba dan
tidak sesuai dengan kehendaknya ,tidak lepas dari dua perkara:
- Itu merupakan hukuman atas dosanya,
namun hai ini diibaratkan obat dari suatu penyakit, yang andaikan Allah tidak
memberinya obat, tentu dia akan terjerumus ke dalam kebinasaan.
- Itu bisa menjadi sebab untuk
mendapatkan suatu nikmat, yang tidak bisa didapatkan kecuali lewat sesuatu yang
dibenci itu. Sebab sesuatu yang dibenci pasti akan berakhir dan tidak berlalu
selama lamanya.
Sementara nikmat yang muncul setelah itu
tidak terpu-tus.
37. Hukum Allah pasti berlaku pada diri
hamba-Nya dan qadha'-Nya adil padanya, sebagaimana yang disebutkan dalam
hadits, "Hukum-Muberlaku pada diriku, qadha'-Mu adil pada diriku."
Siapa yang tidak ridha terhadap keadilan Allah, maka dia termasuk orang yang
zhalim dan jahat.
38. Hamba tidak ridha, entah karena tidak
mendapatkan apa yang disukainya, entah karena mendapatkan apa yang dibencinya.
Jika dia yakin bahwa apa yang tidak dia dapatkan bukan untuk menimpakan musibah
kepadanya, dan musibah yang menimpanya bukan untuk membuatnya tidak bisa
mendapatkan apa yang diinginkannya, maka tidak adagunanya dia marah setelah itu
jika dia tidak mendapatkan apa yang dianggapnya bermanfaat dan mendapatkan apa
yang di-anggapnyabermudharat.
39. Ridha termasuk amal-amal hati seperti
halnya jihad yang termasuk amal-amal anggota tubuh. Masing-masing di antara
keduanya merupakan puncak gundukan iman.
40. Kedurhakaan yang pertama kali
terhadap Allah di dalam ini adalah semata-mata muncul dari tidak ridha. Iblis
tidak ridha terhadap keputusan Allah, berupa hukum alam yang memuliakan Adam,
tidak pula ridha terhadap hukum agama, yang memerintahkannya sujud kepa-da Adam,
dan Iblis tidak ridha karena Adam berada di surga. Maka dia membujuknya untuk
memakan dari pohon yang dilarang. Setelah itu kedurhakaan terus menjalar,
berupa tidak sabar dan tidak ridha.
41. Hamba yang ridha beserta pilihan
Allah dan menerima pilihan Allah bagi dirinya. Hal ini muncul dari kekuatan
ma'rifatnya tentang Allah dan pengetahuan tentang dirinya.
42. Harus disadari bahwa penahanan Allah
bagi hamba-Nya yang mencintai pada hakikatnya adalah pemberian, dan musibah
yang ditimpakan kepadanya pada hakikatnya adalah afiat. Sebab Allah tidak menahan
karena bakhil atau tidak ada yang diberikan, tapi karena mempertimbangkan kebaikan bagi hamba-Nya yang
Mukmin. Jadi penahanan-Nya merupakan pilihan yang terbaik baginya. Orang yang berakal
dan ridha ialah yang menganggap cobaan sebagai afiat, menganggap penahanan
sebagai nikmat, dan menganggap kefakiran sebagai kekayaan. Allah telah mewahyukan kepada
sebagian nabi-Nya, "Jikaengkau melihat kedatangan orang fakir, maka
katakanlah, 'Selamat datang wagai syiar orang-orang shalih'. Dan jika engkau
melihat kedatangan orang kaya, maka katakanlah, 'Ini adalah dosa yang
dipercepat hukumannya'."
Orang yang ridha ialah yang menganggap nikmat
Allah yang diberikan kepadanya, berupa hal-hal yang dibencinya, lebih banyak
daripada nikmat Allah yang diberikan kepadanya,
berupa hal-hal yang disukainya, seperti
yang dikatakan sebagian orangarif, "Wahai anak Adam, nikmat Allah yang
diberikan kepadamu berupa hal-hal yang engkau benci, lebih banyak dan lebih
besar daripada nikmat Allah yang diberikan kepadamu, berupa hal-hal yang
engkausukai."
43. Hamba harus tahu bahwa Allah adalah
Yang Awal sebelum segala sesuatu dan Yang Akhir sesudah segala sesuatu, Yang
Menundukkan segala sesuatu, Yang Berkuasa atas segala sesuatu. Dialah yang
menciptakan menurut kehendak dan pilihan-Nya. Hamba tidak bisa menentukan pilihan
bagi Allah dan siapa pun yang tidak bisa memilih beserta Allah atau pun
bersekutu dalam hukum-Nya. Hamba bukan sesuatu yang layak untuk diingat.
Allahlah yang memilih keberadaannyadan memilih baginya menurut qadha' dan
qadar-Nya, berupa afiat atau cobaan, kaya atau miskin, mulia atau hina, pandai
atau bodoh.
Sebagaimana Allah yang sendirian dalam
mencipta, maka Dia juga sendirian dalam memilih dan mengatur bagi hamba. Semua
urusan milik Allah. Allah telah befirman kepada Nabi-Nya, "Tidak ada
sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu." (Ali Imran: 128).
Jika hamba sudah yakin bahwa semua urusan
ada di Tangan Allah dan dia tidak berhak atas satu urusan pun, sedikit atau
banyak, maka tidak adapilihan lain baginya kecuali ridha terhadap apa pun yang
terjadi.
44. Ridha Allah terhadap hamba-Nya lebih
besar daripada surga dan seisinya. Sebab ridha merupakan sifat Allah, sedangkan
surga merupakanciptaan-Nya. Allah befirman,
"Allah
menjanjikan kepada orang-orang yang Mukmin, lelaki dan perempuan (akan
mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungaisungai, mereka kekal di
dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga Adn. Dan, keridhaan
Allah adalah lebih besar." (At-Taubah: 72).
Ridha Allah ini merupakan balasan atas
ridha mereka di dunia terhadapAllah. Karena ini merupakan pahala yang paling
mulia, maka sebabnya pun merupakan amal yang paling mulia.
45. Jika hamba ridha kepada Allah dan
terhadap Allah atas semua keadaan, maka dia tidak akan memilih ini dan itu.
Ridhanya terhadap apa punyang diberikan kepadanya sudah cukup baginya. Dia
mengingat Allah sebagai pengganti dari permohonan kepada-Nya. Bahkan
permohonannya kepada Allah dijadikan sebagai pertolongan untuk dapat
mengingat-Nya dan mencapai ridha-Nya. Hamba yang meminta semacamini akan
mendapat pemberian yang paling baik, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah
hadits qudsy,
"Siapa yang sibuk mengingat-Ku
hingga lalai memohon kepada-Ku, maka Aku memberinya yang paling baik dari apa
yang Kuberikan kepada orang-orang yang meminta." (Diriwayatkan At-Tirmidzy
dan Ad-Darimy).
Orang-orang yang meminta tentu saja
memohon kepada-Nya. Allah memberikan yang baik seperti yang mereka pinta.
Sedangkan orang orangyang ridha senantiasa ridha terhadap Allah, lalu Allah
memberikan
ridha-Nya terhadap mereka.
46. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
menganjurkan agar hamba mencapai kedudukan yang paling tinggi. Jika tidak
sanggup, maka cukup pertengahan kedudukan, sebagaimana sabda beliau,
"Beribadahlah kepada Allah, seakan-akan engkau melihat-Nya." Ini
mencakup selu-ruhkedudukan, Islam, iman dan ihsan. Kemudian beliau
melanjut-kan,
"Jika engkau tidak bisa melihat-Nya,
maka sesungguhnya Dia melihatmu." Jika tidak bisa mencapai kedudukan yang pertama,
maka dianjurkan untuk mencapai kedudukan kedua, yaitu tahu bahwa Allah mengetahui
dan melihatnya, di mana pun dia berada.
47. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
memuji orang-orang yang ridha terhadap hukum, pengetahuan dan pemahaman qadha',
dan menganggap mereka mendekati derajat nubuwah, sebagaimana yang disebutkan dalam
hadits tentang sekumpulan utusan yang datang kepada beliau, lalu beliau bertanya
kepada mereka, "Siapakah kalian?" Mereka menjawab, "Kami adalah
orang-orang yang beriman." Beliau bertanyalagi, "Apa tanda iman
kalian?"
Mereka menjawab, "Sabar saat ditimpa
musibah, syukur saat menda-patke senangan, ridha terhadap qadha', lurus dan
benar di tempat pertempuran dan tidak mencaci maki musuh." Beliau
bersabda, "Mereka adalah orang-orang yang bijak dan berilmu. Karena pemahaman
ini hampir-hampir mereka menjadi nabi."
48. Ridha memegang kendali semua
kedudukan agama, ruh dan kehidupannya. Ridha adalah ruh tawakkal dan
hakikatnya, ruh keyakinan, ruhcinta, bukti ketulusan cinta, ruh syukur dan
buktinya. Ar-Rabi' binAnas berkata, "Tanda cinta kepada Allah adalah
banyak mengingat-Nya, sebagaimana jika engkau mencintai sesuatu, tentu engkau
akan banyak mengingatnya. Tanda agama adalah ikhlas karena Allah di
saatsendirian atau saat ramai. Tanda syukur adalah ridha terhadap qadarAllah
dan pasrah kepada qadha'-Nya."
49. Ridha menggantikan kedudukan berbagai
ibadah yang sulit dilakukan badan. Ridhanya akan memberikan kemudahan dan
meninggi-kanderajatnya. Telah disebutkan dalam atsar Isra'ilyat, bahwa ada
seorang ahli ibadah yang senantiasa beribadah kepada Allah. Suatu hari dia bermimpi
bahwa Fulanah, seorang wanita tetangganya yang menjadi penggembala, kelak akan
masuk surga. Ahli ibadah itu bertanya tentang tetangga yang dimaksudkan itu,
lalu dia meminta agar diperkenankan menginap di rumahnya selama tiga hari saja,
agar dia bisa melihat apasaja yang dilakukan wanita itu. Selama tiga hari itu
ahli ibadah senantiasa shalat malam, sementara wanita tersebut tidur.
Padasiangharinya dia berpuasa, sedangkan
wanita itu tidakpuasa. Ahlii badah penasaran, lalu dia bertanya, " Apakah
engkau tidak mempunyai amal selain yang kulihat saat ini?"
Wanita itu menjawab, "Demi Allah,
memang hanya inilah yang kulakukan."
Ahli ibadah terus bertanya, sampai
akhirnya dia berkata, "Cobalah ingat-ingat, mungkin masih ada yang
lain."
Akhirnya wanita itu berkata, "Benar,
ada satu perkara yang sangat remeh bagiku, bahwa jika aku ditimpa kesempitan, maka
aku tidak mengharap kelapangan. Jika aku sakit, maka aku tidak mengharap kesehatan.
Jika aku dibakar terik matahari, maka aku tidak mengharap keteduhan."
Ahli ibadah itu meletakkan tangannya di
atas kepala, lalu berkata, "Ini perkara yang remeh? Demi Allah, ini adalah
perkara yang besar dan para ahli ibadah pun banyak yang tidak sanggup
mengerjakan-nya."
Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud
Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Siapa yang ridha terhadap apa yang
diturunkan dari langit ke bumi, maka dosadosanya telah diampuni."
Dalam sebuah hadits marfu' disebutkan,
"Hal terbaik yang diberikan kepada hamba ialah ridha terhadap pembagian
yang diberikan Allah kepadanya."
Dalam atsar lain disebutkan, "Jika
Allah mencintai seorang hamba, maka Dia mengujinya. Jika hamba itu sabar, maka
Dia memilihnya, danjika hamba itu ridha, maka Dia mensucikannya." Dalam
wasiat Luqman kepada anaknya disebutkan, "Kuwasiatkan kepadamu beberapa
perkarayang dapat mendekatkan dirimu kepada Allah dan menjauhkanmu dari
kemurkaan-Nya, yaitu hendaklah engkau menyembah Allah dantidak menyekutukan
sesuatupun dengan-Nya, hendaklah engkau ridha terhadap qadar Allah, dalam
perkara yang engkau sukai maupun yangengkau benci." Di antara orang arif
ada yang berkata, "Siapa yang tawakkal kepada Allah dan ridha terhadap
qadar-Nya, maka dia telah menegakkan iman, tangan dan kakinya hanya untuk
mencari kebaikanserta menegakkan akhlak yang baik, yang mendatangkan
kemaslahatan bagi uru-annya."
50. Ridha membuka akhlak yang baik dalam
bermu'amalah dengan Allah dan bermu'amalah dengan manusia, karena akhlak yang
baik itu termasuk ridha, dan akhlak yang buruk itu termasuk amarah. Akhlakyang
baik mengangkat pelakunya ke derajat orang yang ber-puasa pada siang harinya
dan mendirikan shalat pada malam hari-nya. Sedangkanakhlak yang buruk menghapus
kebaikan, sebagaimana api yang menghanguskan kayu bakar.
51. Ridha membuahkan kesenangan hati
terhadap apa pun yang ditakdirkan, ketenangan dan kedamaian jiwa dalam
menghadapi keadaan macam apa pun dari urusan dunia, kepuasan dan kepasrahan terhadap
Rabb-nya dan tidak membuat dirinya mengeluh dan mengadu kepa-daselain-Nya. Maka
sebagian orang arif ada yang menyebut ridha dengan akhlak yang baik beserta
Allah, sehingga dalam dirinya tidak ada penentangan terhadap kekuasaan Allah
dan komentar yang macam-macam, sehingga dapat menodai akhlaknya. Dia tidak akan
berkata, "Manusia sangat membutuhkan hujan. Ini adalah hari yang sangat
panas. Kemiskinan adalah musibah." Dia tidak menyebut sesuatupun yang
ditetapkan Allah dengan sebutan yang tercela, kalau memang Allah tidak
mencelanya, karena semua itu bisa menajikan ridha.
Ibnu Mas'udberkata, "Kemiskinan dan
kekayaan merupakan dua tunggangan, dan aku tidak peduli mana yang kujadikan
tunggangan. Jika miskin, maka di dalamnya ada kesabaran, dan jika kaya, di
dalamnyaada pengeluaran."
Ibnu Abil-Hawary berkata, "Ada
seseorang berkata, 'Aku ingin malamini lebih panjang dari semestinya'. Maka
kukatakan, "Ada baiknya dan ada pula buruknya. Baiknya, dia berharap dapat
lebih banyakberibadah dan bermunajat.
Buruknya, dia berharap yang tidak
dikehendaki Allah dan menyukai apa yang tidak disukai Allah." Umar bin Al-Khaththab
berkata, "Aku tidak peduli apa yang terjadi pada dirikupada pagi dan sore
hari, apakah aku susah atau senang." Suatu hariUmar bin Al-Khaththab
dibuat marah oleh istrinya, Ati-kah. Maka Umar berkata kepada istrinya,
"Demi Allah, aku benar-benar akan membuatmu celaka."
Atikah menyahut, "Apakah engkau bisa
mengeluarkan aku dari Islam setelah Allah memberikan petunjuk kepadaku?"
"Tidak," jawab Umar.
Atikah berkata, "Lalu kecelakaan
macam apa lagi yang hendak engkau timpakan kepadaku setelah itu?"
Dengan kata lain, Atikah ridha terhadap
keadaan apa pun dan tidak ada yang membuatnya celaka selain dari membuatnya
keluar dari Islam. Sementara tak seorang pun bisa melakukannya.
52. Keadaan yang paling baik ialah
menginginkan Allah, yang hanya bisa dilakukan dengan keyakinan dan ridha
terhadap Allah. Karena itu Sahl berkata, "Bagian makhluk dalam keyakinan
tergantung padabagian mereka dalam ridha, dan bagian mereka dalam ridha tergantungdari
kehendak mereka terhadap Allah."
53.Ridha membebaskan hamba dari cela
selagi Allah tidak mencelanya, membebaskan dari kecaman selagi Allah tidak
mengecamnya. Jika hamba tidak ridha terhadap sesuatu, maka Allah mencelanya
dengan berbagai macam celaan dan kecaman, karena yang demikian itu mencerminkan
rasa malunya yang sedikit terhadap Allah. Andaikan seseorang membuat makanan
bagimu lalu dia menghidang-kannya kepadamu, namun engkau mencela makanan itu,
berarti engkau telah memancing kemarahannya dan membuat dia tidak sudi lagi menyuguhimu.
54. Nabi Sliallallalni Alaihi wa Sallam
memohon ridha terhadap qadha',seperti yang disebutkan di dalam
Al-Musnad,"Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang yang gaib dan kekuasaan-Mu atas
akhluk, hidnpkanlali aku sekiranya hidup itn lebih baikbagiku, dan matikanlah
aku sekiranya niati itu lebih baik bagiku.
Aku memohon ketakutan kepada-Mu saat
sembunyi-sembunyi dan saat terang-terangan. Aku memohon kepada-Mu kalimat yang benar
saat marah dan saat ridha. Aku memohon kepada-Mu kesederhanaan saat fakir dan
saat kaya. Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak habis. Aku memohon
kepada-Mu kesenangan yang tidak terputus. Aku memohon kepada-Mu ridha setelah
qadha'. Aku memohon kepada-Mu hidup yang dingin setelah kematian. Aku memohon
kepada-Mu kelezatan memandangWajah-Mu Yang Mulia. Aku memohon kepada-Mu
kerinduan bersua dengan-Mu, tanpa ada kesulitan dan yang mudharat sertatidak
ada cobaan yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan hiasan iman, dan
jadikanlah kami pemimpin orang-orangyang mendapat petunjuk."
Saya mendengar Syaikhul-Islam Ibnu
Taimiyah berkata, "Beliau memohon ridha kepada-Nya setelah qadha'. Sebab
pada saat itulah akan terlihat hakikat ridha. Sedangkan ridha sebelum ada
qadha',hanya sebatas hasrat untuk ridha menerimanya. Ridha ini akan tampak setelah
ada qadha'."
55. Ridha terhadap qadar Allah tidak
membuat hamba untuk meridhai manusia dengan kemurkaan Allah dan mencela mereka
dengan sesuatu yang tidak diperkenankan Allah, serta memuji mereka
dengankarunia Allah. Pada mulanya dia zhalim, karena meridhai dan mencela mereka,
berikutnya dia musyrik karena memuji mereka. Namun jika hamba ridha terhadap
qadha', maka dia tidak akan mencela ataumemuji mereka.
56. Ridha bisa mengosongkan hati hamba,
mengurangi kegelisahan dankegundahannya, lalu dia tekun beribadah kepada
Rabb-nya denganhati yang ringan, tanpa diberati beban dunia dan segala
keresahannya, seperti yang disebutkan Ibnu Abid-Dunya dari Bisyr bin
Al-Mujasyi'y, dia berkata, "Aku pernah berkata kepada seorang ahli ibadah,
"Berilah aku nasihat."
Maka ahli ibadah itu berkata,
"Tempatkanlah dirimu bersama qada rseperti yang dikehendakinya, karena
yang demikian ini bisa mengosongkan hatimu dan mengurangi kegelisahanmu. Dan,
jangan-lahengkau marah kepadanya, sehingga di dalam dirimu tertanamkemarahan,
sementara engkau tidak menyadarinya, sehingga ia melemparkandirimu bersama
orang-orang yang dimurkai Allah."
57.Jika hamba tidak ridha terhadap satu
qadar, maka dia akan mentelaah berbagai macam qadar, entah dengan tubuhnya,
hatinya atau keadaannya.
Jika sudah begitu, maka dia akan mencela
pembuat qadar danjuga manusia. Akhirnya Allah dan semua manusia mencelanya.
Karena mereka saling cela-mencela, maka kemudian menajikan ubudiyah. Anasbin
Malik Radhiyallahu Anhu berkata, "Aku menjadi pelayan Ra-sulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam selama dua puluh tahun. Sela-ma itu pula beliau tidak pernah
bertanya kepadaku, "Mengapa kamu berbuatbegitu?" Beliau juga tidak
berkata kepadaku jika aku tidak melakukan sesuatu, "Mengapa kamu tidak
berbuat begitu?" Dan beliau tidakpernah berkata kepadaku karena sesuatu
yang sudah terja-di,"Sekiranya tidak terjadi." Dan, beliau juga tidak
berkata kepadakukarena sesuatu yang tidak terjadi, "Sekiranya
terjadi." Jika sebagian keluarga beliau ada yang mencelaku, maka beliau
bersabda, "Biarkandia. Kalau memang ada sesuatu yang ditakdirkan, tentu ia
akan terjadi."
58. Jika ada keseimbangan antara dua
perkara kaitannya dengan ridha Allah, yang ini diridhai-Nya bagi hamba lalu
menakdirkannya, danyang ini tidak diridhai-Nya bagi hamba lalu tidak
menakdirkannya, maka antara keduanya harus ada keseimbangan yang dikaitkan
dengan
hamba, sehingga dia bisa meridhai apa
yang diridhai Allah dalam dua keadaan ini.
59. Allah melarang hamba mendahului Allah
dan Rasul-Nya dalam hukum agama dan syariat. Berarti di sana ada ubudiyah
sesuai dengan perintah syariat agama. Sedangkan ubudiyah perintah-Nya yang
berkaitandengan qadar ialah tidak mendahului Allah kecuali jika ada kemaslahatan
yang pasti. Berarti masalah mendahului harus sesuai dengan perintah qadar dan
agama. Jika yang diwajibkan adalah sabaratau ridha, lalu dia mengabaikannya,
berarti dia mendahului syariat dan qadar-Nya.
60. Cinta, ikhlas dan pasrah kepada Allah
tidak akan terwujud kecuali lewat ridha. Orang yang mencintai tentu ridha
terhadap kekasihnya dalam keadaan bagaimana pun.Imran bin Hushain terserang
sakit perut dan terus-menerus buang airbesar. Dia diam telentang cukup lama,
tidak bisa duduk apalagi berdiri.
Tempat tidurnya dilubangi untuk buang air
besar. Suatu hari Mutharrif bin Abdullah Asy-Syikhir masuk ke dalam rumah
Hushain, dan langsung menangis saat melihat keadaannya. "Mengapa engkau menangis?"
tanya Hushain. "Karena aku melihat keadaanmu yang
mengenaskan ini," jawab Mu-tharrif.
"Tak perlu engkau menangis, karena
apa yang paling kusukai tentu juga paling disukai Allah." Setelah diam
beberapa saat, dia berkata lagi, "Aku ingin memberitahukan sesuatu
kepadamu, semoga Allah memberikan manfaat kepadamu, dan rahasiakanlah hal ini
hingga aku meninggal dunia, bahwa para malaikat mengunjungiku. maka aku menyambut
kedatangan mereka, dan mereka mengucapkan salam kepadaku, hingga aku dapat
mendengar salam mereka." Ketika Sa'dbin Abi Waqqash datang di Makkah,
sementara dia buta, maka banyak orang yang datang kepadanya dan meminta"
agar dia berdoa bagi mereka. Maka dia memenuhi permintaan mereka dan berdoa
bagimereka. Abdullah bin As-Sa'ib berkata, "Ketika itu aku masih kecil.
Aku menemuinya dan memperkenalkan diri
kepadanya. Rupanya dia sudah mengenalku. Aku berkata, "Wahai paman, engkau
berdoa bagi mereka, hingga mereka pun sembuh dari penyakitnya. Lalu
mengapaengkau tidak berdoa bagi dirimu sendiri agar Allah mengembalikan penglihatanmu?"
Sa'd tersenyum lalu berkata, "Wahai
anakku, qadha' Allah ini lebih kucintai daripada penglihatanku."
61. Amal-amal anggota tubuh
dilipatgandakan hingga bilangan terten-tu. Sedangkan amal hati tidak ada
batasan penggandaannya. Sebab amal anggota tubuh memang ada batasan penghabisan
dan pemberhentiannya,
sehingga pahalanya tergantung dari
batasannya. Sedangkanamal hati terus-menerus berkait, sekalipun kesaksian hamba
terhadap amal ini surut.
Contohnya, cinta dan ridha merupakan
keadaan orang yang mencin-taidan ridha. Perasaan ini tidak akan berpisah sama
sekali darinya, senantiasa berhubungan selagi keadaannya tetap seperti itu.
Bahkan perasaan itu terus bertambah sekalipun anggota tubuhnya melemah.
Bahkan dalam keadaan lemah dan diam ini
perasaan tersebut semakin bertambah dan lebih banyak dari orang yang banyak
mendirikan shalat-shalat nafilah. Tambahan perasaan itu bertambah banyak
padasaat dia tidur, lebih banyak daripada orang yang mendirikan shalat. Jika
engkau masih belum bisa menerima hal ini, perhatikanlah keadaan orang yang
tidur dan hatinya bersama Allah dengan orang yangmendirikan shalat, sementara
hatinya melalaikan Allah. Allah melihathati, hasrat dan niat, tidak melihat
rupa amal. Nilai seorang hamba tergantung pada hasrat dan kehendaknya. Siapa
yang tidak bisa dibuat ridha karena sesuatu selain Allah, sekalipun dia diberi
dunia dan
seisinya, maka dialah orang yang
berkedudukan. Siapa yang dibuat ridha karena sesuatu yang sedikit, maka dia
juga termasuk orang yang berkedudukan, sekalipun amalnya sama.
62. Keadaan orang yang ridha dan pasrah,
menjadi teratur, saat senangmau pun saat susah, karena dia sudah menyerahkan
kehendaknya kepada kehendak Allah. Setiap orang yang mencintai tentu
merindukanperjumpaan dengan kekasihnya dan mementingkan keridhaannya.
Kembali ke pembahasan semula tentang
syarat-syarat ridha, bahwa syarat kedua ialah tidak membuat permusuhan dengan
manusia.
Dengan kata lain, ridha dianggap sah dan
benar jika seorang hamba menggugurkan permusuhan dengan makhluk, karena
permusuhan ini bisa menajikan keadaan ridha dan menajikan pengaitan segala
sesuatu ketangan yang menetapkan qadha' dan qadar. Permusuhan ini menimbulkan beberapa
dampak:
- Kecenderungan kepada kebalikan ridha.
- Mengurangi tauhid, jika dikaitkan
dengan permusuhan yang dilancarkan hamba kepada selain Pencipta segala sesuatu.
- Melalaikan sebab yang menimbulkan
permusuhan itu. Sekiranya hamba kembali kepada sebab, maka kesibukannya untuk
melenyapkan permusuhan ini lebih tepat dan lebih bermanfaat baginya.
Jika dalam pandangan seorang hamba sudah
terhimpun kesaksian terhadap qadar, tauhid, hikmah dan keadilan, tentu dia
lebih suka menutup pintu permusuhan dengan makhluk, kecuali dalam perkara
yangsesuai dengan hak Allah dan Rasul-Nya. Orang yang ridha tentu tidakakan
memusuhi dan tidak mencela kecuali terhadap sesuatu yang berkaitan dengan hak
Allah. Begitulah keadaan Nabi Shallallahu Alaihi waSallam. Beliau tidak pernah
memusuhi dan tidak mencela seseorang kecuali dalam perkara yang berkaitan
dengan hak Allah. Beliau juga tidakmarah kepada diri sendiri. Tapi jika ada
kehormatan Allah yang dilanggar, maka tidak ada sesuatu pun yang dapat
menghalangi kemarahan beliau sampai akhirnya beliau membalasnya karena Allah.
Permusuhan dapat memadamkan cahaya ridha, mengganti kemanisan dengan kepahitannya,
kejernihan dengan kekeruhannya.
Syarat ridha yang ketiga ialah tidak meminta-minta
dan merengek rengek kepada makhluk, karena meminta-minta ini mencerminkan
penentangan, permusuhan dan menghindar dari Dzat yang menguasai manfaat dan
mudharat, lalu beralih kepada orang yang terhadap dirinyapun dia tidak bisa
mengendalikan manfaat dan mudharat. Sedangkan meminta dengan merengek-rengek
dan mendesak, menajikan keadaan ridha dan sifatnya. Allah memuji orang-orang
yang tidak meminta kepada manusia secara merengek-rengek, "Dan, orang yang
tidak menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta.
Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada
orang secara mendesak."(Al-Baqarah: 273).
Segolongan ulama berpendapat, maksudnya
mereka meminta kepada orang lain sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokoknya,
tetapimereka tidak meminta secara mendesak dan merengek-rengek. Jadi
Allahmenajikan dari mereka meminta secara mendesak, dan tidak
menajikanmeminta-minta secara mutlak. Menurut Ibnu Abbas, jika mereka mempunyai
makan pagi, maka mereka tidak meminta untuk makan malam, dan jika mereka
mempunyai makan malam, mereka tidak meminta untukmakan pagi.
Golongan lain berpendapat, bahwa mereka
sama sekali tidak meminta-minta, sebab mereka disifati sebagai orang-orang yang
menjaga kehormatan dirinya dan sifat-sifat mereka pun sudah diketahui. Sebab seandainya
mereka menghinakan diri dengan meminta-minta, tentunya orang yang tidak
mengetahui siapa diri mereka yang sebenarnya, akan menyangka bahwa mereka
adalah orang-orang yang kaya.
Meminta-minta ini pada dasarnya adalah
haram, lalu diperbolehkankarena ada kebutuhan yang mendesak dan keadaan yang
memaksa,karena meminta-minta ini merupakan jenis kezhaliman terhadap
hakRububiyah, kezhaliman terhadap hak orang yang diminta dan sekaligushak orang
yang meminta.
Dikatakan kezhaliman terhadap hak
Rububiyah Allah, karena hal ini menyatakan permintaan, kebutuhan dan kehinaan
kepada selain Allah,yang demikian ini termasuk ubudiyah. Hal ini juga sama
denganmeletakkan permintaan bukan pada tempatnya, meminta kepada yang tidak
layak untuk dimintai, kezhaliman terhadap pengesaan Allah dan keikhlasan
kepada-Nya, menodai kebutuhan, tawakkal dan keridhaanterhadap pembagian-Nya,
lebih suka meminta kepada manusia daripadakepada Allah. Semua ini bisa
mengurangi hak tauhid, memadamkan cahayanya dan melemahkan kekuatannya.
Dikatakan kezhaliman terhadap hak orang
yang dimintai, karenadia meminta kepadanya apa yang sebenarnya bukan merupakan
miliknya, sehingga dia meminta hak yang bukan haknya, membebani orangyang
dimintai dengan keberatan pengeluaran atau celaan jika dia tidak memberinya.
Kalau pun memberi, maka dia akan memberinya denganberat hati, dan kalau pun
tidak memberi, maka dia harus menanggungrasa malu dan tekanan batin. Tapi jika
yang diminta merupakan hakorang yang meminta, maka tidak termasuk dalam hal
ini.
Dikatakan kezhaliman terhadap orang yang
meminta, karena meminta-minta itu sama dengan meneteskan air mukanya dan
menghinakan dirinya kepada selain Khaliqnya, menempatkan dirinya pada
kedudukanyang sangat rendah, ridha terhadap runtuhnya kemuliaan dan
kehormatannya,menjual kesabaran, ridha, tawakkal, kepuasan pada pembagiannya
dan merasa lebih membutuhkan manusia. Jadi jelas hal ini merupakan kezhaliman
terhadap diri sendiri. Telah disebutkan dalam Ash-Shahihain, dari Abu Hurairah
Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "RasulullahShallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda,"Demi yang diriku ada di Tangan-Nya, salah seorang di antara
kalianmengambil seutas talinya lalu dia memanggul kayu bakar di atas
punggungnyadan menjualnya kepada manusia, lebih baik baginya daripada dia
menemui seseorang lalu meminta-minta kepadanya, diberi atau tidakdiberi."
Di dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah
Radhiyallahu Anhu, diaberkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda,"Salah seorang di antara kalian pergi pada pagi hari lalu
memanggul kayu bakar di atas punggungnya, lalu dia menjualnya dan tidak
meminta-minta kepada manusia, lebih baik baginya daripada dia memintaminta kepada
seseorang, diberi atau tidak diberi. Yang demikian itu karena tangan yangdi
atas lebih baik daripada tangan yang di bawah,dan mulailah dengan memberi orang
yang ada dalam anggunganmu."
Al-lmam Ahmad menambahi, "Dia
mengambil tanah lalu memasukkannya ke dalam mulutnya, lebih baik baginya
daripada memasukkanapa yang diharamkan Allah ke dalam mulutnya."
Di dalam Shahih Al-Bukhary disebutkan
dari Az-Zubair bin Al-Awwam Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam, beliaubersabda,
"Salah seorang di antara kalian
mengambil seutas talinya, lalu memanggul seikat kayu bakar di atas punggungnya
lalu menjualnya, sehingga Allah menjaga mukanya, lebih baik baginya daripada
dia meminta-minta kepada manusia, mereka memberinya atau tidak
memberinya."
Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari
Abu Sa'id Al-Khudry Radhiyallahu Anhu, bahwa ada beberapa orang dari kalangan
Anshar yang meminta kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu beliau
memberi mereka. Kemudian mereka meminta lagi dan beliau memberimereka. Kemudian
mereka meminta lagi dan beliau memberi mereka, hingga semua harta yang ada di
tangan beliau habis. Lalu beliau bersabda kepada mereka, "Apa pun kebaikan
yang ada di tanganku, maka seka-li-kaliaku tidak akan menyimpannya dan aku akan
memberikannya kepadakalian. Namun siapa yang menjaga kehormatan dirinya dari meminta
minta,maka Allah akan menjaga kehormatannya. Siapa yang meminta kecukupan, maka
Allah akan mencukupkan baginya, dan siapa yang berusaha bersabar, maka Allah
membuatnya bersabar. Tidaklah seseorang diberisuatu pemberian yang lebih baik
dan lebih lapang daripada kesabaran."
Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu Anhu,
dia berkata, "Aku pernah meminta kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam. Maka beliau memberiku. Kemudian aku meminta lagi kepada beliau dan
beliau memberiku. Kemudian beliau bersabda kepadaku, "Wahai Hakim,
memangharta ini menarik dan manis. Siapa yang mengambilnya dengan kemurahan
jiwa, maka dia akan diberkahi, dan siapa yang mengambilnyakarena dorongan
nafsu, maka dia tidak akan diberkahi, dan dia se-pertiorang yang makan namun
tidak kenyang. Tangan yang di atas itu lebih baik daripada tangan di
bawah."
Hakim berkata, "Aku berkata,
"Wahai Rasulullah, demi yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak mau
menerima sesuatu pun dariseseorang sepeninggal engkau, hingga aku meninggal
dunia."
Abu Bakar pernah mengundang Hakim dan
akan memberikan bantuan kepadanya. Namun dia tidak mau menerimanya sedikit pun.
Begitu pula yang dilakukan Umar, namun dia juga tidak mau menerimanya. Lalu
Umar berkata, "Wahai semua orang
Muslim, aku bersaksi kepada kalian tentang diri Hakim, bahwa aku menawarkan
kepadanya bagiannya dari harta tebusan ini, namun dia tidak mau mengambilnya,
sebab dia tidakmau menerima pemberian dari seorang pun sepeninggal Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam, hingga dia meninggal dunia."
Dari A'idz bin Amr Radhiyallahu Anhu,
bahwa ada seorang laki-laki menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
serta meminta kepada beliau. Maka beliau memberinya. Ketika orang itu sudah
menginjakkan
kakinya di luar ambang pintu, maka beliau
bersabda, "Sekiranya
merekamengetahui akibat dari meminta-minta, maka tak seorang pun mau
berjalanmenemui seseorang lalu meminta sesuatu kepadanya."
(Diriwayat-kanAn-Nasa'y).
Al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Khalid
bin Ady Al-Juhanny Radhiyallahu Anhu, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam, beliau bersabda, "Barangsiapa menerima hal yang ma'ruf dari
saudaranya, tanpamengharap dan memintanya, maka hendaklah dia menerimanya dan janganlah
menolaknya, karena itu semata rezki yang digiring Allah kepadanya."
Masih banyak hadits-hadits lain yang
menjelaskan larangan untuk meminta-minta kepada manusia dan kehinaannya. Ini
merupakan salah satu dari dua makna syarat ridha, yaitu tidak meminta-minta
dengan cara merengek-rengek dan mendesak. Makna kedua ialah tidak meminta dengan
mendesak dan merengek-rengek dalam doa, karena yangd emikian ini menodai
ridhanya. Hal ini dianggap sah-sah saja di satu sisidan di-anggap tidak sah di
sisi lain. Dianggap sah jika orang yang berdoamerengek-rengek dalam doanya
untuk mendapatkan bagian dari kehidupan dunia. Jika dia merengek-rengek kepada
Allah untuk mendapatkanridha-Nya dan untuk taqarrub kepadanya, maka hal ini
tidak menodairidhanya. Di dalam sebuah ateardisebutkan, "Sesungguhnya
Allah menyukai orang yang merengek-rengek dalam doa."
Di dalam Sunan At-Tirmidzy disebutkan
dari hadits Abu Salih, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata,
"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,"Barangsiapa tidak
mau memohon kepada Allah, maka Allah murka kepadanya."
Karena permintaan dan permohonan kepada
Allah membuat-Nyaridha, berarti merengek-rengek kepada-Nya saat meminta atau
pun berdoatidak mengurangi ridha. Hakikat ridha adalah menyesuaikan diri dengan
ridha Allah. Yang menajikan ridha ialah memaksa, menetapkan atau menentukan
suatu pilihan kepada Allah, tanpa mengetahui apakah pilihan itu diridhai Allah
atau tidak, seperti orang yang mendesak kepadaAllah untuk merebut kekuasaan
orang lain, atau meminta kekayaan bagi dirinya. Yang seperti ini bisa menajikan
ridha, karena dia tidak yakinAllah meridhainya.
Kembali ke pembahasan semula tentang
derajat ridha, bahwa derajatketiga adalah ridha dengan ridha Allah. Seorang
hamba tidak melihat hak untuk ridha atau marah, lalu mendorongnya untuk
menyerahkan keputusan dan pilihan kepada Allah. Dia mau melakukannya sekalipun akan
diceburkan ke kobaran api.
Derajat ini lebih tinggi daripada dua
derajat sebelumnya, karena inimerupakan derajat orang yang telah menyerahkan
dirinya kepada Allah, mempersaksikan ridha karena Allah dan berasal dari Allah,
melihat dirinya seakan tidak ada artinya apa-apa, fana dan akan binasa. Dia mencurigai
dirinya, sifatnya, ridha dan amarahnya. Dia menganggapdirinya terlalu kecil dan
hina, tak ubahnya cahaya pelita yang kecil dibawah terik matahari. Sehingga dia
tidak berhak melihat bagi dirinya adaridha dan amarah.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan