TEMPAT-TEMPAT PERSINGGAHAN IYYAKA NABUDU WA IYYAKA NASTAIN
IMAM IBN QAYYIM AL JAUZIYAH
Sehubungan dengan persinggahan iradah
(kehendak) ini Allah telah berfirman,
"Dan, janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru
Rabbnya dipagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki Wajah-Nya."
(Al-An'am: 52).
Allah
befirman terhadap para istri Nabi Shallallahu Alaihi wa Salam,"Dan, jika
kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di
akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di
antara kalian pahala yang besar."(Al-Ahzab: 29).
Para teolog merasa kesulitan mengaitkan
kehendak kepada Allah dan menjadikan Wajah Allah sebagai sasaran kehendak.
Menurut mereka, kehendak tidak bisa
dikaitkan kecuali dengan hal-hal yang baru, dan tidak bisa dikaitkan dengan
hal-hal yang lama. Sebab sesuatu yang lama tidak bisa dikehendaki. Mereka
mena'wili kehendak yang dikaitkan dengan sesuatu yang baru sebagai kehendak
untuk mendekatkan diri kepadanya, dan mereka menganggap mustahil mendekatkan
diri dengan sesuatu yang lama. Inilah anggapan mereka yang membuat hati mereka
menjadi keras, karena penghalang bagi mereka terlalu tebal, karena mereka tidak
memiliki ruh perilaku dan keindahan cinta. Sebab kehendak bagi orang orang yang
lebih mementingkan perilaku adalah membebaskan diri dari kehendak. Kehendak
menurut mereka dianggap tidak sah kecuali bagi orang yang tidak memiliki
kehendak. Jangan anggap hal ini kontradiktif, tapi memang inilah yang benar.
Ada yang berpendapat, iradah adalah
kebangkitan hati untuk mencari kebenaran.
Ad-Daqqaq berkata, "Iradah adalah
kilatan di dalam sanubari, nyala di dalam hati, cinta yang membara di dalam
perasaan, teriakan di dalam batin dan kobaran di dalam hati."
Ada yang berpendapat, di antara sifat
orang yang berkehendak ialah mencintai Allah dengan mendirikan shalat-shalat
nafilah, ikhlas dalam memberikan nasihat kepada umat, merasakan kebersamaan
dengan Allah saat sendirian, sabar dalam menghadapi kekerasan para penguasa,
mengutamakan perintah Allah, merasa malu karena Allah melihatnya, berusaha melakukan
apa yang disukai sang kekasih, puas dengan yang ada, tidak merasakan ketenangan
batin hingga dapat bersua pelindung dan sesembahannya.
Hatim Al-Asham berkata, "Jika engkau
melihat orang yang berkehendak menghendaki selain kehendak Allah, maka
ketahuilah bahwa diatelah menampakkan kehinaan dirinya."
Abu Utsman Al-Hiry berkata, "Siapa
yang kehendaknya tidak benar pada permulaannya, maka semakin hari dia justru
semakin mundur kebelakang."
Diriwayatkan adanya dua versi pernyataan
tentang iradah dari Al-Junaid, tapi sifatnya sangat global dan perlu rincian
lebih lanjut. Yang pertama dari Ja'far, dia berkata, "Aku pernah mendengar
Al-Junaid berkata,
"Jika orang yang berkehendak benar,
dia tidak memerlukan oranglain yang berilmu." Yang kedua juga dari Ja'far,
dia berkata, "Aku pernah mendengar Al-Junaid berkata, "Jika Allah
menghendaki kebaikan padadiri orang yang berkehendak, maka Dia akan
menghimpunnya ke dalam golongan orang-orang sufi dan mencegahnya bergaul dengan
para qari'."
Saya katakan, jika orang yang berkehendak
benar dan perjanjiannya dengan Allah benar pula, maka Allah akan memasukkan
barakah kebenaranke dalam hatinya dan mu'amalah yang baik dengan Allah, yang membuatnya
tidak memerlukan ilmu yang datang dari pemikiran manusia dan pendapat mereka,
tidak memerlukan ilmu yang tidak dibutuh-kan sebagai bekal ke alam kubur, tidak
memerlukan berbagai macam isya-rat danilmu orang-orang sufi, yang dengan
isyarat dan ilmu itu mereka tidak bisa mengetahui nafsu, aib, kekurangan dan
amal-amalnya yang rusak.
Sebagai misal, seseorang yang duduk di
suatu negeri, siang dan malam sibuk mempelajari ilmu tempat-tempat persinggahan
dalam perjalanan, perintang, lembah-lembah yang dilewati, tempat-tempat yang menguntungkan
dan segala seluk beluknya. Sementara ada orang lainyang benar kehendaknya dan
menempuh perjalanan. Kebenarannya inimembuatnya tidak memerlukan ilmu orang
yang duduk tersebut. Jikayang dimaksudkan Al-Junaid adalah kebenaran kehendak
yang membuatnya tidak memerlukan ilmu halal dan haram, hukum-hukum perintah
danlarangan, pengetahuan tentang macam-macam ibadah, syarat, ke-wajiban dan
hal-hal yang membatalkannya, ilmu-ilmu Allah dan Rasul-Nya yangzhahir dan
batin, maka tentunya Allah melindungi Al-Junaid dari anggapan seperti ini. Yang
demikian ini hanya dikatakan para perampok jalanan dari kalangan zindiq dan
sufi, yang tidak melihat itba' Rasul sebagai syarat dalam perjalanan.
Orang berkehendak yang benar, maka
hatinya akan dibukakan oleh Allah, diberi cahaya dari sisi-Nya dan ditambah
lagi dengan cahaya ilmu, yang dengannya dia bisa mengetahui berbagai masalah
agama, sehingga dia tidak memerlukan berbagai macam ilmu manusia. Ilmu itu
adalah cahaya, dan hati orang yang benar dipenuhi dengan cahaya kebenaran,
disamping dia juga memiliki cahaya iman, sehingga ada cahaya yang memberi
petunjuk kepada cahaya. Al-Junaid ingin memberitahukan, seperti inilah
keadaannya. Apa yang diriwayatkan di atas, tentunya hanya sepotong-potong dan
tidak menyeluruh. Kebenaran Al-Junaid membuatdirinyamerasa memerlukan ilmu.
Tentang keperluan terhadap ilmuini juga
ditegaskan Al-Junaid di tempat lain, bahwa orang yang tidak berilmu tidak akan
beruntung, bahwa tak seorang pun boleh berbicara tentang jalan kecuali
berdasarkan ilmu. Dia berkata, "Siapa yang tidakmenjaga Al-Qur'an dan
tidak menulis hadits, maka dia tidak layak diikuti.
Sebab ilmu kami terikat kepada Al-Qur'an
dan As-Sunnah."
Tentang perkataan Al-Junaid, "Jika
Allah menghendaki kebaikanpada diri orang yang berkehendak, maka Dia akan
menghimpunnya kedalam golongan orang-orang sufi dan mencegahnya bergaul dengan
paraqari'", ialah para ahli ibadah, baik dengan membaca Al-Qur'an atau melaksanakan
berbagai macam ibadah, namun hanya sebatas zhahirnyasaja, tanpa disertai ruh
ma'rifat, hakikat iman, cinta dan amal-amal hati.
Mereka sangat mendetail dalam pelaksanaan
ibadah, seperti puasa dan shalat, namun semua itu tidak disertai dengan
manisnya amal hati dan keinginan untuk mengasah jiwa, karena memang bukan itu
jalan mereka.
Sedangkan maksud golongan sufi adalah
kebalikannya.
Menurut
pengarang Manazilus-Sa'irin, kaitannya dengan
masalah iradah ini, Allah telah befirman,
"Katakanlah,
'Setiap orang berbuat menurut keadaannya masing masing."(Al-Isra': 84).
Penyitirannya terhadap ayat ini
terkandung pembuktian yang sangat agung tentang posisi hamba dalam masalah
ilmu.
Artinya, setiap orang berbuat menurut
keadaan yang membentuknya dan yang sesuai dengan dirinya. Orang jahat akan
berbuat sesuai dengan keadaan dirinya, begitu pula orang kafir, munafik, orang
yang menghendaki keduniaan dan gemerlapnya, akan berbuat yang sesuai dengan
keadaan dirinya.
Orang yang mencintai Allah dengan benar
dan tulus, akan berbuat yang sesuai dengan keadaan dirinya, bertindak menurut
pembentukan kehendaknya dan yang sesuai dengan keadaannya.
Ada
tiga derajat iradah, yaitu:
1. Meninggalkan kebiasaan berdasarkan
kebenaran ilmu, bergantung kena pas orang-orang yang melakukan perjalanan dan
yang disertai tujuan yang benar, meninggalkan teman yang menyibukkannya dan melepaskan
ikatan kampung halaman.
Meninggalkan kebiasaan artinya
meninggalkan nafsu dan syahwat yang sebelumnya biasa dilakukan, yang tidak bisa
dilakukan kecuali dengan disertai ilmu, karena ilmu merupakan cahaya yang
menerangi seseorang, agar dia Iebih mengutamakan tujuannya.
Siapa yang tidak disertai ilmu, maka
iradah-nya tidak akan benar. Syaikh bergantung kena pas orang-orang yang
melakukan perjalanan dan bukan ke napas ahli ibadah, karena ahli ibadah hanya
sebatas melaksanakan amal, sedangkan orang yang melakukan perjalanan lebih
memperhatikan keadaan. Meninggalkan teman yang menyibukkannya dan melepaskan ikatan
kampung halaman, artinya menggambarkan berbagai macam rintangan.
2. Memotong keterikatan keadaan,
membiasakan kebersamaan dan berjalan antara menahan dan melepaskan. Memotong
keterikatan keadaan artinya menolak pengaruh mu'amalah dari hati, yang bisa
mendatangkan kemalasannya dan menghambat kebersamaannya dengan Allah, yang
telah melimpahkan nikmat kepada makhluk, sehingga seorang hamba bisa beralih
dari rupa amal ke hakikat amal, naik dari Islam ke iman, dari iman ke ihsan.
Pada awal mulanya hamba yang mengadakan
perjalanan memang akan merasakan beban dan beratnya amal, karena hatinya belum
terbiasa bersama sesembahannya.
Jika ia sudah terbiasa, maka tidak ada
lagi keberatan dan kesulitan itu, sehingga ibadahnya akan menjadi kesenangan
dan kenikmatannya, shalat menjadi kesenangan, yang sebelumnya hanya sebatas
amal. Yang menjadi ukurannya adalah sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Kesenanganku dijadikan dalam
shalat."
Inilah maksud membiasakan kebersamaan,
yaitu kebersamaan dengan Allah.
Menahan dan melepaskan merupakan dua
keadaan yang saling bertentangan, yang lahir karena rasa takut di satu saat,
dan di saat lain lahir karena harapan. Rasa takut menahannya dan harapan melepaskannya.
3. Kebingungan yang disertai istiqamah
dan memperhatikan hak dan disertai adab.
Maksud kebingungan di sini ialah tidak
menoleh ke hal-hal yang lain. Kebingungan akan bermanfaat jika disertai dengan
istiqamah, yaitu menjaga ilmu dan tidak menyia-nyiakannya. Jika tidak, maka
keadaannya yang paling baik ialah seperti orang gila yang tidak lagi dituntut untuk
melakukan kewajiban dan tidak akan disiksa karena tidak istiqamah.
Jika sebab kebingungannya mengeluarkannya
dari istiqamah, maka dia adalah orang yang durhaka dan mengabaikan perintah
Allah.
Syaikhul-Islam pernah berkata, "Jika
sebab mabuk adalah sesuatu yang dilarang, maka mabuk itu tidak dimaafkan."
Memperhatikan hak di sini artinya
memperhatikan hak-hak Allah dengan memperhatikan adab-adabnya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan