Al-Faqih ila-Llah Abdul Karim bin Hawazin
al-Qusyairi
(IMAM AL QUSYAIRI)
8. FANA’ DAN BAQA’
Sejumlah Sufi
mengisyaratkan Fana’ pada gugurnya sifat-sifat tercela, sementara baqa’
diisyaratkan sebagai kejelasan sifat-sifat terpuji. Kalau pun seorang hamba
tidak terlepas dari salah satu sifat tersebut , maka dapatlah dimaklumi,
sebenarnya, salah satu bagian apabila tidak dijumpai dalam diri manusia, maka
dapatlah ditemui sifat satunya lagi. Barangsiapa fana’ dari sifat-sifat
tercela, maka yang tampak adalah sifat-sifat terpuji. Sebaliknya, jika yang
mengalahkan adalah sifat-sifat yang hina, maka sifat-sifat yang terpuji akan
tertutupi.
Perlu diketahui, bahwa
predikat yang menjadi sifat hamba mengandung perbuatan, akhlak dan tingkahlaku.
Perbuatan-perbuatan tersebut merupakan daya manusia melalui ikhtiarnya.
Sedangkan akhlak merupakan pembawaan. Namun sifat itu berubah menurut
konsistensi kebiasaannya. Sedangkan tingkah laku merupakan suatu perilaku yang
dikembalikan kepada hamba dari segi permulaannya. Hanya saja, penjernihannya
muncul setelah pembersihan amal. Seperti akhlak dalam satu segi. Demikian pula
manakala sang hamba terus menerus membersihkan perbuatannya, melalui upaya yang
telah diberikan kepadanya. Allah swt. memberikan anugerah kepadanya melalui
penjernihan tingkah laku, bahkan melalui penyempurnaan tingkah laku tersebut.
Siapa yang berupaya
meninggalkan perbuatan kehinaan dengan bahasa syariat, maka ia telah fana’ dari
syahwatnya. Jika telah fana’ dari syahwatnya, akan kekallah bangunan dirinya
serta keikhlasan dalam ubudiyahnya. Sipa yang zuhud di dunia dengan
hatinya, maka ia telah faa’ dari kesenangannya. Dan jika telah fana’
kesenangannaya, berarti telah kekal melalui kejujuran kembali dirinya.
Barangsiapa menerapi (mengobati) akhlaknya dari penyakit kalbu seperti dengki,
angkuh, bakhil, sangat bakhil, marah, sombong dan sebagainya dari kenakguhan
nafsu, maka berarti telah fana’ dari kebejatan akhlak. Kalau sudah demikian,
yang kekal dalam dirinya adalah ketidakpeduliannya kepada kepentingan
pribadinya (futuwwah) dan kejujuran pada diri sendiri. Barangsiapa menyaksikan
berlakunya qudrat dalam mekanisme hukum dan aturan, maka dapat dikatakan : Ia
telah fana’ dari tanggungan perkara pertama dari makhluk. Jika ia fana’ dari
pengaruh-pengaruh imaji makhluk, maka ia kekal bersama sifat-sifat Al-Haq. Dan
siapa yang terlimpahi kerajaan hakikat, sehingga tiada sedikitpun yang
disaksikan, baik alam kenyataan, pengaruh, rumus, atau penundaan, maka ia telah
fana’ dari makhluk, dan abadi bersama Al-Haq. Ke-fana’-an hamba dari segala
perbuatannya yang hina, dan tingkahlakunya yang buruk, telah menghilangkan
perbuatan-perbuatan seperti itu. Ke-fana’-an mereka atas dirinya dari makhluk
lainnya, dengan cara menghilangkan rasa untuk diri sendiri dan mereka. Kalau
telah fana’ dari perbuatan, akhlak dan tingkah laku, maka subyek ke-fana’an
dari semua itu tidak boleh di-maujud-kan.
Apabila dikatakan,
“,Manusia benar-benar fana’ dari dirinya dan dari makhluk, maka dirinya maujud
dan makhluk juga maujud, tetapi ia tidak tahu dirinya dan juga juga tidak
mereka. Tidak ada rasa maupun berita. Maka dirinya ada, dan makhluk menjadi
ada, berikutnya. Namun ia lupa dari dirinya maupun semua makhluk, sama sekali
tidak merasakan adanya dirinya dan makhluk lainnya (karena keparipurnaan yang
penuh dalam kesibukannya terhdap sessuatu yang lebih luhur dari semuanya.)”
Terkadang Anda melihat
seseorang memasuki tempat penguasa atau orang yang kejam, lalu orang tersebut
merendahkan diri atau merendah pada majelis di sana. Alangkah jauh jauh hati
itu, juga dirinya, hingga tak mungkin untuk mengatakan sesuatu. Allah berfirman
:
“Maka tatkala
wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan)nya, dan mereka
melukai jari-jari tangannya.” (Qs. Yusuf 31).
Suatu gambaran ketika
mereka sama sekali tidak menemukan rasa sakit ketika (pertama kali menyaksikan
raut muka Yusuf a.s.). Mereka adalah wanita-wanita yang lemah, dan mereka
berkata :
“Dan mereka berkata :
“Maha Sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain,
hanyalah malaikat yang mulia.” (Qs. Yusuf : 31).
Inilah kealpaan makhluk
atas perilakunya sendiri ketika bertemu dengan sesamanya. Bagaimana menurut
dugaan Anda dengan orang yang dibuka untuk menyaksikan Al-Haq? Kalaupun mereka
lupa dari rasa dalam dirinya dan orang-orang sejenisnya, maka adakah lebih
menakjubkan lagi ketimbang melihat-Nya?
Barangsiapa fana’ dari
kebodohannya, yang kekal adalah ilmunya. Siapa yang fana’ dari kesenangannya,
yang kekal adalah zuhudnya. Siapa yang fana’ dari angan-angannya, yang kekal
adalah kehendaknya. Demikian juga seluruh konotasi kiprahnya. Apabila hamba
fana’ dari sifatnya yang bisa diingat, kemudian menaiki tahap lebih tinggi
dengan fana’nya dari melihat ke-fana’-an itu sendiri. (Inilah yang disebut
Fana’u Fana’ ). Sebagaimana digambarkan penuyair :
Ada kaum yang tersesat
di padang gersang
Aa pula yang tersesat di
padang cintanya
Mereka fana’, kemudian
fana’ lalu fana’
Lantas mereka kekal
dengan kekal dari kedekatan Tuhan-nya.
Yang pertama adalah
fana’ dari dirinya, fana’ dari sifatnya karena Baqa’-Nya Sifat-sifat Al-Haq.
Kemudian fana’nya dari sifat-sifat Al-Haq karena penyaksiannya terhadap Al-Haq
itu sendiri, kemudian fana’-nya dari melihat penyaksian fana’, melalui
keleburan dirinya dalam Wujud Al-Haq.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan