Bagi pecinta, pengabdian bukanlah paksaan, tapi
kenikmatan yang tak akan selesai dengan selesainya pengabdian.
Unaizah al-Baghdadi merupakan sufi perempuan yang
dipandang memiliki kecerdasan dan keindahan jiwa di atas rata-rata.
Level kerohaniannya pun diakui ketinggiannya.
Ia merupakan pelayan sekaligus murid seorang wali
besar, Imam Abu Muhammad Ahmad bin Muhammad bin al-Husein al-Jariri (w. 311 H).
Imam Abdurrahman al-Sulami mengatakan: “Unaizah
al-Baghdadi mengabdi kepada Abu Muhammad al-Jariri. Ia merupakan bagian dari
para sufi yang cerdas. (Ia memiliki) jiwa yang indah (serta) keadaan spiritual
yang tinggi”
Imam Abu Muhammad al-Jariri merupakan murid (ashâb)
Imam Junaid al-Baghdadi (w. 297 H) dan Sahl bin Abdullah al-Tustari (w. 283 H).
Ia merupakan gurunya para ulama yang menggantikan
Imam Junaid al-Baghdadi di majlisnya. Imam Abdurrahman al-Sulami
menyebutkan: “Abu Muhammad al-Jariri
merupakan bagian dari sahabat (murid) Junaid yang utama. Ia juga murid Sahl bin
Abdullah al-Tustari. Ia adalah salah satu guru dari para guru-guru manusia,
yang duduk setelah Junaid (al-Baghdadi) di majlisnya karena kesempurnaan
keadaan spiritual dan kebenaran pengetahuannya” (Imam Abdurrahman al-Sulami)
Dengan pengabdiannya, Unaizah al-Baghdadi mendapatkan
banyak hal. Ia mempelajari keteladanan Imam Abu Muhammad al-Jariri sekaligus
mendengarkan pelajarannya secara langsung.
Pengalaman ini ia bawa lebih dalam untuk menghayati
kehambaannya kepada Allah, dan mengenali kenikmatan di dalamnya. Ia
mengatakan: “Barangsiapa yang mencintai-Nya,
ia tak akan lelah dalam mengabdi-Nya.
Sebaliknya, ia akan merasakan kenikmatan dengan
pengabdian itu” (Imam Abdurrahman al-Sulami,).
Bagi pecinta, pengabdian bukanlah paksaan, tapi
kenikmatan yang tak akan selesai dengan selesainya pengabdian. Ia akan selalu
berharap untuk terus mengabdi. Apalagi yang diabdi adalah Allah, Tuhan yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Pengabdian dan penghambaan, bagi pecinta seperi
Unaizah al-Baghdadi, tidak meninggalkan jejak lelah sama sekali, tapi
kenikmatan tiada tara dan tiada tanding.
Sebagai seorang sufi dan ulama perempuan, ia sering
menyampaikan pelajarannya. Di satu waktu, ia menjelaskan tentang “al-‘arif” (orang
yang telah sampai pada ma’rifat). Ia mengatakan: “Orang ‘arif bukan orang yang
mendeskripsikan (Tuhan) dan bukan pula orang yang menceritakan”
Untuk orang ‘arif, Tuhan itu lebih dari segala
deskripsi dan penjelasan. Bahasa terlalu lemah untuk menggambarkan
kekuasaannya.
Andaikan ditulis yang maha-maha-maha hingga
berjuta-juta triliun kali, deskripsi itu masih jauh dari kata mendekati, apalagi
menggambarkan-Nya.
Di samping itu, perkataan Unaizah al-Baghdadi di
atas, tidak bisa dipahami secara terpisah dengan perkataannya yang lain.
Ia juga mengatakan: “Pengetahuan menyebabkan takut,
sedangkan ma’rifah menyebabkan pengagungan (atau pemuliaan)”
Pengetahuan agama, menurut Unaizah al-Baghdadi, akan
mendatangkan rasa takut kepada Tuhan, yang mana harus dimiliki setiap manusia.
Tapi, mengenali Tuhan secara hakiki (ma’rifah) akan mendatangkan penghormatan,
pengagungan, atau khusyu’ (rasa takut karena menghormati).
Ada perbedaan besar dalam dua rasa tersebut, takut
karena siksa-Nya (al-‘ilm) dan mengagungkan karena kemuliaan-Nya (al-ma’rifah).
Tentu, untuk mencapai ma’rifat, seseorang harus
melalui fase “pengetahuan yang menyebabkan takut.” Tanpa itu, sepertinya tidak
mungkin untuk mencapai ma’rifat.
Karena itu, dua perkataan Unaizah al-Baghdadi harus
difahami dalam dua kerangka; teoritis dan praktis.
Pengetahuan tentang Tuhan secara teoritis berbicara
dalam wilayah konsep, dari mulai keesaan, hukuman, sampai sifat-sifat-Nya. S
edangkan wilayah praktis, yaitu menghidupkan konsep
teoritis tentang Tuhan dalam kehidupan manusia.
Dengan ketekunan secara ketat dan istiqamah
menjalankannya, perlahan-lahan manusia semakin mengenali kemaha-baikan
Tuhannya, hingga ia benar-benar merasakan tiada satu pun di dunia ini yang
tidak berasal dari kasih sayang-Nya.
Perasaan ini kemudian meliputi seluruh relung jiwanya
dan menjadi cinta. Maka, pendekatan seorang ‘arif kepada Tuhannya adalah
cinta.
Contoh sederhananya adalah hubungan anak dan orang
tua. Ketika dalam masa pertumbuhan, anak biasanya takut kepada orang tuanya.
Tapi, seiring berjalannya waktu, dan bertambahnya kedewasaan, anak mulai
mengerti ketegasan dan kemarahan orang tuanya dulu.
Landasan ketaatannya pun berubah, yang semula karena
takut atau mengharapkan imbalan, menjadi berubah karena pengagungan,
penghormatan dan pemuliaan (cinta).
Ia menuruti orang tuanya bukan lagi karena takut,
tapi benar-benar karena perasaannya sendiri.
Unaizah al-Baghdadi membuktikan bahwa keadaan,
kedudukan, jenis kelamin, dan profesi tidak menjadi penghalang untuk memperoleh
sesuatu.
Ia juga sedang mengingatkan dan menyadarkan kita,
bahwa menjadi hamba Allah, dan mengabdi kepada-Nya adalah kenikmatan tiada
tara.
Pertanyaannya, pernahkah kita merasa bahwa menjadi
hamba adalah sebuah kenikmatan?
Tiada ulasan:
Catat Ulasan