Al-Faqih Ilallah Abdul Karim bin Hawazin
al-Qusyairi
(IMAM AL QUSYAIRI)
24. SYAAHID
Kebaynyakan yang berlaku dalam ucapan ulama, bahwa
kata asy-Syaahid itu semakna dengan ucapan kita : Si Fulan
menyaksikan ilmu (yusyaahid al-ilm); Si Fulan menyaksikan ekstase (yusyaahid
–al-wujd) dan si Fulan menyaksikan keadaan-keadaan ruhani (yushaahid al-haal).
Mereka mengartikan kata Syaahid adalah sesuatu yang hadir dalam hati
manusia. Sesuatu yang pada umumnya teringat, seakan-akan ia melihat dan
memandangnya, walaupun obyek tidak ada di hadapannya. Setiap yang dominan dalam
hatinya, berarti ia menyaksikannya. Bila yang dominan adalah ilmu, maka ia
menyaksikan ilmu. Begitu juga bila yang dominan adalah ekstase, berarti ia
menyaksikan al-wujd.
Arti asy=Syaahid adalah yang hadir (al-haadhir). Jadi setiap yang hadir
dalam hati Anda berarti yang menjadi bukti Anda.
Asy-Syibly ditanya tentang musyahadah. Katanya, “Dari mana kita mendapatkan
musyahadah al-Haq? Padahal Allah Yang Maha Haq menyaksikan kita.” Beliau
mengisyaratkan, dengan kata, “Allah swt. yang menyaksikan.” Dengan menggunakan
faktor dominan dalam hatinya. Dan yang dominan pada dirinya adalah dzikir
kepada Allah swt. Sedangkan yang hadir dalam hati senantiasa juga dzikir kepada
Allah swt. Siapa pun yang memperoleh sesuatu dari sesama makhluk, maka hatinya
akan berkait. Dikatakan, “Ia menjadi saksinya.” Artinya, hatinya
hadir. Rasa cinta mendorong seseorang untuk selalu ingat kepada sang
kekasih dan mengutamakan kekasihnya dibanding dirinya.
Sebagian Sufi sangat jeli dalam mencari akar kata asy-Syaahid ini.
Disebutkan demikian karena bermula dari asy-Syaahid. Seakan-akan jika
melihat sosok dengan sifat-sifat keindahannya – apabila sifat manusiawinya
gugur dari dirinya, dan tidak disibukkan oleh penyaksian pada keadaan sosok
tokoh, dan tidak pula ada pengaruh persahabatan di dalamnya dalam satu sisi –
maka ia disebut saks “bagi”” sosok tersebut karena ke-fana’an dirinya.
Tetapi
bila ada pengaruh di dalam menyertai sosok tersebut, ia disebut sebagai saksi
“atas” ssosok itu, sedangkan dirinya masih ada, dan masih menegakkan hukum
naluri manusia, baik sebagai saksi bagi sosok atau saksi atas sosok di atas.
Dalam kontens inilah relevan dengan sabda Nabi saw. “Aku melihat Tuhanku pada
malam Mi’raj, dalam rupa yang paling bagus. Yakni rupa paling bagus yang kulihat
malam itu. Sama sekali tidak menyakitkan diriku untuk melihat-Nya. Bahkan aku
melihat Perupa dalam rupa, dan Kreator dalam kreasi.” (H.r. Thabrani, riwayat
dari Ubaidullah bin Au Rafi’ dan ayahnya dan dari Ibnu Abbas. Demikian pula
riwayat dari Ummu Thufail dari Mu’adz bin ‘Afra’).
Yang dimaksud hadits tersebut adalah penglihatan ilmu, bukan penglihatan
mata.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan