Al-Faqih ila-Llah Abdul Karim bin Hawazin
al-Qusyairi
(IMAM AL QUSYAIRI)
17. TALWIN DAN TAMKIN
Talwin merupakan
sifat orang-orang yang memliki tingkah laku tahapan.Tamkin adalah sifat
ahli hakikat. Seorang hamba yang masih berjalan sepanjang jalan menuju Allah,
maka dialah pemilik talwin. Sebab, dalam perjalanannya masih menjumpai tahap
demi tahap, berpindah dari satu predikat ke predikat lain, keluar dari terminal
ke persimpangan jalan. Tetapi jika telah sampai, mereka akan mencapai
ketenangan (tamakkun).
Senantiasa rasa cintamu
tiba ingin di suatu tempat
Bimbangkan jiwa, di mana
tempat menetap
Orang yang berada di
tahap talwin selalu mendapat tambahan.
Sedangkan pada tahap tamkin, berarti
telah sampai (wushul) kemudian sambung (ittishal). Tanda sampai itu : Ia,
dengan keseluruhan dari keseluruhan.
Salah seorang syeikh
berkata : “Berakhirlah penggembaraan para pencari menuju kemenangan dalam
jiwanya. Apabila telah sampai kemenangan dalam jiwanya, berarti mereka telah
samapi.”
Mereka berharap
demikian, sebagai pengunduran hukum-hukum kemanusiaan dan termanifestasi oleh
kerajaan hakikat. Manakala hamba menetap abadi dalam kondisi itu, dialah
pemilik tamkin itu.
Syeikh Abu ali-ad-Daqqaq r.a. berkata :
“Musa a.s. adalah pemilik mawam talwin, kemudian kembali dari
mendengarkan Kalam, dan berharap untuk menutup wajahnya. Sehingga ada pengaruh
bagi tingkah laku. Sedangkan Nabi kita Muhammad saw. adalah pemilik tahap
tamkin, kemudian kembali sebagaimana ia pergi. Sebb, apa yang disaksikan pada
malam itu, tidak berpengaruh. Kisah demikian juga dimetaforakan pada kisah
wanita-wanita yang melihat Yusuf as. Ketika mereka secara bersamaan memotong
jemari tangannya, saat melihat raut muka Yusuf as. Dengan tampang yang
menghanyutkan dan mengejutkan. Sementara isteri Raja Aziz, jiwanya lebih
sempurna ketimbang mereka dalam mengekang tragedi tersebut. Kemudian sejak hati
itu ia tidak berubah, karena ia telah memiliki ketenangan (tamkin) dalam
peristiwa Yusuf as.
Ketahuilah, bahwa perubahan
hati dalam diri hamba karena satu dari dua persoalan : Kalau tidak karena
adanya kekuatan yang tiba, atau justru karena kelemahan dirinya. Sedangkan
ketenangan atau kediaman dari hamba juga karena dua hla : Karena kekuatan atau
karea kelemahan sesuatu yang tiba itu.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. berkata
: “Prinsip kaum Sufi dalam memperbolehkan kelangsungan tamkin, terpaku pad dua
hal.Pertama, tidak ada jalan lain kepadanya, sebagaimana sabda Rasul saw. dalam
Hadits Qudsi :
“Apabila kamu mengabdi
sebagaimana adanya kamu dalam kebakaan itu di sisi-Ku, niscaya para Malaikat
akan menjabat tangan kamu.” (H.r. Handzalah bin ar-Rabi’al Usaidi, dan
ditakhrij oleh Imam Muslim serta Tirmidzi).
Sabdanya pula :
“Aku punya waktu
(khusus) yang tidak dapat leluasa di dalamnya kecuali Tuhanku.” (H.r.
Tirmidzi).
Kedua, sah berada dalam
kondisi kelanggengan, mengingta ahli hakikat melakukan tahapan dari sifat yang
mempengaruhi melalui berbagai jalan. Sementara kalimat dalam hadits di atas, “
... Niscaya para malaikat akan menjabat tangan kamu.” Sama sekali bukan hal
yang mustahil. Jabat tangan dari Malaikat tidak apda kalangan pemula,
mendasarkan pada Hadits Nabi saw. “Sesungguhnya Malaikat meletakkan sayapnya
pada pencari ilmu, sebagai rasa ridha terhadap apa yang dilakukan.” (H.r.
Tirmidzi, an-Nasa’i Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Daraquthny dan
Baihaqi).
Sedangkan sabdanya :
“Aku punya waktu (khusus).” Dikondisikan menurut persepsi pendengar. Namun
dalam seluruh tingkah laku Nabi saw. senantiasa berdiri di atas hakikat.
Yang pertama, bisa
dikatakan : Seorang hamba, sepanjang masih menaiki tahapan-tahapan, ia disebut
pemilik talwin. IA sah-sah saja bila predikatnya bertambah dan berkurang.
Apabila telah sampai pada Yang Haq dengan meninggalkan hukum-hukum kemanusiaan,
Allah mendudukkannya dengan cara tidak dikembalikan pada penyakit-penyakit
nafsu, maka ia disebut Mutamakkin dalam haliyah (Perilaku ruhani)-nya menurut
proporsi dan haknya. Kemudain Allah swt. mendudukkannya pada setiap jiwa, dan
tidak ada batas bagi kekuasaan-Nya. Karenanya, jika hamba senantiasa dalam
tahap yang bertambah ia selalu talwin, dan dalam prinsip haliyah-nya ia tamkin.
Selamanya ia menempati tahapnya lebih tinggi lagi dari sebelumnya, bahkan lebih
tinggi lagi. Karena tiada lagi pangkal bagi kekuasaan-Nya pada jenis manapun.
Sedangkan orang yang merasuk dalam musyahadahnya, dan secara universal relevan
dengan rasanya, maka tiada batas tempat bagi kemanusiaan. Karena itu, batallah
keseluruhan, diri dan rasanya. Begitu juga berkaitan dengan jagad raya
seisinya, jika kegaiban ini abadi padanya, ia tersinarkan (mahw).
Dan karena
itu, tidak ada tahap talwin maupun tamkin, tidak ada maqam ataupun haal.
Sepanjang ia berada pada predikat tersebut, ia tak terbebani tugas (takliff) ataupun
pemuliaan. Sungguh, kecuali jika ia dikembalikan menurut kondisi di luar itu
semua, maka ia berada dalam situasi dimana dugaan-dugaan makhluk berlaku,
terpalingkan dari posisi tahqiq.
Alalh swt. berfirman :
“Dan kamu mengira mereka
itu bangun, padahal mereka itu tidur dan Kami balik-balikan mereka ke kanan dan
ke kiri.” (Qs. Al-Kahfi:18)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan