Al-Faqih ila-Llah Abdul Karim bin Hawazin
al-Qusyairi
(IMAM AL QUSYAIRI)
9. GHAIBAH DAN HUDHUR
Ghaibah berarti
kegaiban kalbu dari segala apa yang diketahui, berkaitan dengan apa yang berlaku
pada tingkah laku makhluk, karena adanya faktor yang datang padanya, sehingga
perasaannya tersibukkan oleh kegaiban yang tiba itu. Kemudian rasa itu, dengan
sendirinya dan yang lainnya, menjadi gaib, karena faktor yang tiba, akibat
mengingat pahala atau memikirkan ancaman siksa.
Diriwayatkan bahwa Rabi’ bin Haitsam pergi ke rumah Ibnu
Mas’ud r.a. kemudian ia melewati kedai tukang pande (besi). Ia melihat bara
yang menganga di perapian pande itu. Tiba-tiba ia pingsan (karena membayangkan
akibat-akibat pelaku dosa yang dibakar api). Ketika siuman, ia ditanya. “Aku
ingat bagaimana keadaan ahli neraka di neraka nanti.” Demikian katanya.
Diriwayatkan dari Ali bin al-Husain. Ketika ia
sedang sujud, tiba-tiba terasa ada jilatan panas api yang tersulut di dalam
rumahnya, dan ia sama sekali tidak bepaling dari shalatnya. Lantas ditanya
tentang keadaannya yang demikian itu. “Aku tercengang oleh nyala api besar,
lebih dari kobaran api itu.” Jawabnya.
Manakala ghaibah rasa
yang muncul oleh faktor yang dibukakan Al-Haq seperti itu, maka derajat mereka
berbeda-beda menurut tingkah laku kondisinya.
Kisah yang populer,
bahwa awal mula perilaku Abu Hafs
an-Naisabury al-Haddad meninggalkan pekerjaan di kedainya, yaitu ketika
muncul seseorang yang membaca ayat Al-Qur’an. Lalu ia menjadi lupa dari rasanya
karena adanya sesuatu yang datang menyelusup. Lalu ia menyusupkan tangannya
pada bongkahan bara api, dan menariknya kembali sambil memegang bara api yang
menganga (sama sekali tidak merasa panas). Muridnya, saat melihat kejadian itu
pun berkata. “Wahai guru, apa ini? Seketika itu pula Abu Hafs memandang apa
yang tampak padanya, lalu meninggalkan pekerjaannya dan segera pergi berlalu
dari kedai.
Saya mendengar Abu Nashr, muadzin di Naisabur. Ia
dikenal sebagai laki-laki saleh. Ia mengisahkan, “Aku sedang membaca Al-Qur’an
di majelis Ustadz Abu Ali ad.Daqqaq di Naisabur. Dan Ustadz sendiri sedang
membahas soal haji, sampai hatiku terpengaruh karenanya. Pada tahun ini pula
aku pergi haji, dan meninggalkan kedai serta pekerjaan. Sementara Ustadz Abu
Ali r.a. juga pergi menunaikan haji pada tahun yang sama. Ketika di Naisabur
aku menjadi pelayannya dan ikut membaca Al-Qur’an di majelisnya. Suatu hari di
desa, aku melihatnya sedang bersuci dan lupa akan kendil bawaannya. Aku pun
membawanya. Sesampai di tempat tujuan kuletakkan di sisinya. Ia berkata,
“Semoga Allah membalas kebaikan kepadamu, ketika kamu membawa ini.” Lalu ia
menatapku dalam-dalam, seakan-akan itu sebagai tatapan terakhir. Tiba-tiba ia
berkata, “Pernah sekali, aku bertemu denganmu, siapa kamu? Aku menjawab, “Aku
adalah orang yang memohon pertolongan kepada Allah swt, aku menyertaimu
sekedarnya, dan kutinggalkan hunianku, karenamu. Aku merasa teputus oleh
kemenangan dan waktu, ketika engkau berkata, “Pernah sekali, aku beertemu
denganmu...!”
Sedangkan Hudhur,
bisa berarti, seseorang sebagai pihak yang hadir bersama Al-Haq. Sebab ketika
ia ghaib dari makhluk, ia hadir bersama Al-Haq. Artinya, seakan-akan ia hadir,
kaerna limpahan dzikir pada yang haq di dalam kalbunya, yang berarti ia hadir
dengan kalbunya, di antara sisi Tuhannya. Dalam batas kegaibannya dari makhluk,
maka kehadirannya dikategorikan bersama Al-Haq. Namun apabila ia gaib secara
universal, maka kehdiran tersebut menurut kegaibannya. Manakala dikatakan “ Si
Fulan hadir. Berarti, ia hadir dengan kalbunya untuk Tuhannya. Ia tidak lupa
dari-Nya dan tidak pula alpa. Lalu ia mukasyafah dalam hudhur-nya menurut
derajatnya, dengan segala makna yang dikhusukan oleh Al-Haq kepadanya.
Kadang-kadang hudhur dikatakan,
karena kembalinya hamba pada dimensi rasa terhadap perilaku dirinya dan makhluk
lainnya. Ia kembali pada kesadaran dari kegaibannya. Ini disebut hadir bersama
makhluk. Yang pertama disebut hadir bersama Al-Haq, dan frekuensi kegaibannya
beragam. Ada yang pendek gaibnya, adapula yang abadi.
Diriwayatkan bahwa Dzun Nuun mengutus salah seorang
muridnya ke Abu Yazid al-Bisthamy, untuk menyampaikan pesan agar Abu Yazid
mengubah sifatnya. Ketika murid Dzun Nuun telah sampai di daerah Bau Yazid, ia
menanyakan rumah Abu Yazid, lalu ia pun menuju ke rumah yang dimaksud. “Apa
maksud kedatanganmu?” tanya Abu Yazid. “Aku ingin menemui Abu Yazid.”
Kata orang itu. “Siapa Abu Yazid? Di mana Abu Yazid? Aku juga sedang
mencari Abu Yazid.” Kata Abu Yazid. Orang itu pun segera pergi berlalu sambil
bergumam, “Laki-laki itu pasti gila!” Kemudian ia kembali pulang ke rumah Dzun
Nuun, mengabarkan apa yang disaksikan. Tiba-tiba Dzun Nuun menangis, sambil
berkata, “Saudaraku Abu Yazid benar-benar telah pergi bersama mereka yang pergi
kepada Allah swt.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan