Kitab Riyadhus Shalihin
(Taman Orang-orang Shalih)
IMAM NAWAWI
IMAM NAWAWI
Allah Ta’ala
berfirman:
“Setelah orang-orang yang beriman itu melihat pasukan serikat – musuh – mereka berkata:
“Inilah yang dijanjikan oleh Allah dan RasulNya kepada kita dan Allah dan RasutNya itu berkata benar. Hal yang sedemikian itu tidaklah menambahkan kepada orang-orang yang beriman tadi melainkan kelmanan dan penyerahan bulat-bulat.” (al-Ahzab: 22)
Allah Ta’ala berfirman pula:
“Para manusia berkata kepada orang-orang yang beriman itu: “Sesungguhnya orang-orang
telah berkumpul untuk melawan engkau semua, oleh karena itu takutlah kepada mereka.” Tetapi hal itu makin menambah keimanan mereka. Mereka menjawab: Allah cukup menjadi pelindung kita dan sebaik-baiknya yang dijadikan tempat bertawakkal.
Kemudian mereka kembali dengan mendapatkan kenikmatan dan keutamaan dari Allah, mereka tidak terkena sesuatu halanganpun dan mereka mengikuti keridhaan Allah dan Allah itu memiliki keutamaan yang agung.” (ali-lmran: 173-174)
Allah Ta’ala berfirman lagi:
“Dan bertawakkallah kepada Tuhan yang Maha Hidup yang tidak akan mati.” (al-Furqan: 58)
Lagi Allah Ta’ala berfirman:
“Dan kepada Allah, hendaklah orang-orang yang beriman itu sama bertawakkal,” (Ibrahim: 11)
“Setelah orang-orang yang beriman itu melihat pasukan serikat – musuh – mereka berkata:
“Inilah yang dijanjikan oleh Allah dan RasulNya kepada kita dan Allah dan RasutNya itu berkata benar. Hal yang sedemikian itu tidaklah menambahkan kepada orang-orang yang beriman tadi melainkan kelmanan dan penyerahan bulat-bulat.” (al-Ahzab: 22)
Allah Ta’ala berfirman pula:
“Para manusia berkata kepada orang-orang yang beriman itu: “Sesungguhnya orang-orang
telah berkumpul untuk melawan engkau semua, oleh karena itu takutlah kepada mereka.” Tetapi hal itu makin menambah keimanan mereka. Mereka menjawab: Allah cukup menjadi pelindung kita dan sebaik-baiknya yang dijadikan tempat bertawakkal.
Kemudian mereka kembali dengan mendapatkan kenikmatan dan keutamaan dari Allah, mereka tidak terkena sesuatu halanganpun dan mereka mengikuti keridhaan Allah dan Allah itu memiliki keutamaan yang agung.” (ali-lmran: 173-174)
Allah Ta’ala berfirman lagi:
“Dan bertawakkallah kepada Tuhan yang Maha Hidup yang tidak akan mati.” (al-Furqan: 58)
Lagi Allah Ta’ala berfirman:
“Dan kepada Allah, hendaklah orang-orang yang beriman itu sama bertawakkal,” (Ibrahim: 11)
Allah Ta’ala
berfirman pula:
“Jikalau engkau telah bulat tekad – untuk melaksanakan sesuatu – maka bertawakkallah kepada Allah.” (ali-lmran: 159)
Ayat-ayat mengenai hal bertawakkal itu banyak dan dapat dimaklumi.
Juga Allah Ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka Dia pasti mencukupi untuknya.” (at-
Thalaq: 3)
Lagi firmannya Allah Ta’ala:
“Hanyasanya orang-orang yang beriman itu, ialah mereka yang apabila disebutkan nama Allah, maka hati mereka itu menjadi ketakutan, juga apabila ayat-ayatNya dibacakan kepada mereka, maka bertambah-tambahlah keimanan mereka dan mereka itu sama bertawakkal kepada Tuhannya.” (al- Anfal: 2)
Ayat-ayat perihal keutamaan bertawakkal itupun banyak pula dan dapat pula
diketahui.
“Jikalau engkau telah bulat tekad – untuk melaksanakan sesuatu – maka bertawakkallah kepada Allah.” (ali-lmran: 159)
Ayat-ayat mengenai hal bertawakkal itu banyak dan dapat dimaklumi.
Juga Allah Ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka Dia pasti mencukupi untuknya.” (at-
Thalaq: 3)
Lagi firmannya Allah Ta’ala:
“Hanyasanya orang-orang yang beriman itu, ialah mereka yang apabila disebutkan nama Allah, maka hati mereka itu menjadi ketakutan, juga apabila ayat-ayatNya dibacakan kepada mereka, maka bertambah-tambahlah keimanan mereka dan mereka itu sama bertawakkal kepada Tuhannya.” (al- Anfal: 2)
Ayat-ayat perihal keutamaan bertawakkal itupun banyak pula dan dapat pula
diketahui.
Keterangan:
Banyak sekali orang yang salah mengerti dalam melaksanakan ketawakkalan kepada
Allah Ta’ala itu. Ada yang berpendapat, tawakkal ialah menyerah bulat-bulat kepada Tuhan
tanpa berbuat daya-upaya dan usaha untuk mencari mana-mana yang baik dan
menyebabkan kebahagiaan. Ringkasnya enggan berikhtiar atau menyingsingkan lengan baju.
Anehnya ia meminta yang enak-enak belaka. Orang semacam di atas itu rupanya berpendapat, bahwa tidak perlu ia belajar, jika Tuhan menghendaki ia menjadi orang pandai,
tentu pandai juga nantinya. Juga tidak perlu bekerja, jika Tuhan menghendaki ia menjadi
kaya, tentu kaya juga nantinya. Atau ketika sakit, tidak perlu ia berobat, jika Tuhan
menghendaki sembuh tentu sihat kembali pula. Semuanya itu samalah halnya dengan orang
yang sedang lapar, sekalipun macam-macam makanan di hadapan mukanya, tetapi ia
berpendapat, jika Tuhan menghendaki kenyang, tanpa makanpun akan menjadi kenyang
juga. Cara berfikir semacam di atas itu, apabila diterus-teruskan, pasti akan membuat
kesengsaraan diri sendiri, bahkan merusak akalnya sendiri.
Adapun maksud tawakkal yang diperintahkan oleh agama itu ialah menyerahkan diri
kepada Allah sesudah berdaya-upaya dan berusaha serta bekerja sebagaimana mestinya.
Misalnya meletakkan sepeda di muka rumah, setelah dikunci baik-baik, lalu bertawakkal.
Artinya apabila setelah dikunci itu masih juga hilang umpama dicuri orang, maka dalam
pandangan agama orang itu sudah tidak bersalah, sebab telah melakukan ikhtiar supaya
jangan sampai hilang. Hal yang semacam itu pernah terjadi di zaman Rasulullah s.a.w., yaitu
ada seorang sahabatnya yang meninggalkan untanya tanpa diikatkan pada sesuatu, seperti
pohon, tonggak dan lain-lain, lalu ditinggalkan.
Beliau s.a.w. bertanya: “Mengapa tidak kamu ikatkan?” Ia menjawab: “Saya sudah
bertawakkal kepada Allah.” Rasulullah s.a.w. tidak dapat menyetujui cara berfikir orang itu,
lalu bersabda:
Artinya:
“Ikatlah dulu lalu bertawakkallah.”
Banyak sekali orang yang salah mengerti dalam melaksanakan ketawakkalan kepada
Allah Ta’ala itu. Ada yang berpendapat, tawakkal ialah menyerah bulat-bulat kepada Tuhan
tanpa berbuat daya-upaya dan usaha untuk mencari mana-mana yang baik dan
menyebabkan kebahagiaan. Ringkasnya enggan berikhtiar atau menyingsingkan lengan baju.
Anehnya ia meminta yang enak-enak belaka. Orang semacam di atas itu rupanya berpendapat, bahwa tidak perlu ia belajar, jika Tuhan menghendaki ia menjadi orang pandai,
tentu pandai juga nantinya. Juga tidak perlu bekerja, jika Tuhan menghendaki ia menjadi
kaya, tentu kaya juga nantinya. Atau ketika sakit, tidak perlu ia berobat, jika Tuhan
menghendaki sembuh tentu sihat kembali pula. Semuanya itu samalah halnya dengan orang
yang sedang lapar, sekalipun macam-macam makanan di hadapan mukanya, tetapi ia
berpendapat, jika Tuhan menghendaki kenyang, tanpa makanpun akan menjadi kenyang
juga. Cara berfikir semacam di atas itu, apabila diterus-teruskan, pasti akan membuat
kesengsaraan diri sendiri, bahkan merusak akalnya sendiri.
Adapun maksud tawakkal yang diperintahkan oleh agama itu ialah menyerahkan diri
kepada Allah sesudah berdaya-upaya dan berusaha serta bekerja sebagaimana mestinya.
Misalnya meletakkan sepeda di muka rumah, setelah dikunci baik-baik, lalu bertawakkal.
Artinya apabila setelah dikunci itu masih juga hilang umpama dicuri orang, maka dalam
pandangan agama orang itu sudah tidak bersalah, sebab telah melakukan ikhtiar supaya
jangan sampai hilang. Hal yang semacam itu pernah terjadi di zaman Rasulullah s.a.w., yaitu
ada seorang sahabatnya yang meninggalkan untanya tanpa diikatkan pada sesuatu, seperti
pohon, tonggak dan lain-lain, lalu ditinggalkan.
Beliau s.a.w. bertanya: “Mengapa tidak kamu ikatkan?” Ia menjawab: “Saya sudah
bertawakkal kepada Allah.” Rasulullah s.a.w. tidak dapat menyetujui cara berfikir orang itu,
lalu bersabda:
Artinya:
“Ikatlah dulu lalu bertawakkallah.”
Ringkasnya
tawakkal tanpa usaha lebih dulu adalah salah dan keliru menurut
pandangan Islam.
Jikalau kita sudah dapat meletakkan arti tawakkal pada garis yang sebenarnya, maka
sangat sekali dipuji dan pasti kita tidak akan kekurangan rezeki, sebab Allah Ta’ala akan
menjamin bahwa kita akan diberi bagian rezeki kita masing-masing sebagairnana halnya
burung yang pergi pagi-pagi dalam keadaan kosong perut, sedang pada sore harinya telah
menjadi kenyang.
Selain itu Allah berfirman bahwa srfat-sifat kaum mu’minin itu di antaranya ialah
selalu bertawakkal kepada Allah Ta’ala dengan pengertian tawakkal yang tidak disalah-
rnengertikan.
FirmanNya:
“Hanyasanya orang-orang yang beriman itu apabila nama Allah disebutkan, menjadi gentarlah
hati mereka dan apabila ayat-ayat Allah dibacakan, maka bertambahlah keimanan mereka dan hanya kepada Allah jualah mereka bertawakkal.” (al-Anfal: 2)
Yang perlu kita perhatikan, sehubungan dengan persoalan ini ialah:
Dalam mengejar cita-cita, supaya dapat berhasil kecuali amat diperlukan adanya sifat
kesabaran, juga wajib disertai sifat tawakkal ini. Karena yang menentukan berhasil atau
tidaknya sesuatu maksud itu hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri. Lebih besar yang
dicita-citakan, wajib lebih besar pula sabar dan tawakkalnya, misalnya ingin menjadi seorang
yang alim, ingin memajukan agama, ingin mendirikan sesuatu negara yang benar-benar
diridhai oleh Allah Ta’ala, ingin melaksanakan hukum-hukum dan syariat Islam dalam
negara dan lain-lain sebagainya. Setelah bersabar dan bertawakkal wajib pula disertai doa,
memohon kepada Allah semoga yang dicita-citakan itu berhasil, jangan bosan-bosan berdoa
dan yakinlah bahwa Allah akan mengabulkan. Insya Allah.
Adapun Hadis-hadisnya ialah:
pandangan Islam.
Jikalau kita sudah dapat meletakkan arti tawakkal pada garis yang sebenarnya, maka
sangat sekali dipuji dan pasti kita tidak akan kekurangan rezeki, sebab Allah Ta’ala akan
menjamin bahwa kita akan diberi bagian rezeki kita masing-masing sebagairnana halnya
burung yang pergi pagi-pagi dalam keadaan kosong perut, sedang pada sore harinya telah
menjadi kenyang.
Selain itu Allah berfirman bahwa srfat-sifat kaum mu’minin itu di antaranya ialah
selalu bertawakkal kepada Allah Ta’ala dengan pengertian tawakkal yang tidak disalah-
rnengertikan.
FirmanNya:
“Hanyasanya orang-orang yang beriman itu apabila nama Allah disebutkan, menjadi gentarlah
hati mereka dan apabila ayat-ayat Allah dibacakan, maka bertambahlah keimanan mereka dan hanya kepada Allah jualah mereka bertawakkal.” (al-Anfal: 2)
Yang perlu kita perhatikan, sehubungan dengan persoalan ini ialah:
Dalam mengejar cita-cita, supaya dapat berhasil kecuali amat diperlukan adanya sifat
kesabaran, juga wajib disertai sifat tawakkal ini. Karena yang menentukan berhasil atau
tidaknya sesuatu maksud itu hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri. Lebih besar yang
dicita-citakan, wajib lebih besar pula sabar dan tawakkalnya, misalnya ingin menjadi seorang
yang alim, ingin memajukan agama, ingin mendirikan sesuatu negara yang benar-benar
diridhai oleh Allah Ta’ala, ingin melaksanakan hukum-hukum dan syariat Islam dalam
negara dan lain-lain sebagainya. Setelah bersabar dan bertawakkal wajib pula disertai doa,
memohon kepada Allah semoga yang dicita-citakan itu berhasil, jangan bosan-bosan berdoa
dan yakinlah bahwa Allah akan mengabulkan. Insya Allah.
Adapun Hadis-hadisnya ialah:
74. Pertama:
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, katanya: “Rasulullah s.a.w.
bersabda:
“Dipertontonkanlah padaku berbagai ummat, maka saya melihat ada seorang Nabi
dan besertanya adalah sekelompok manusia kecil – antara tiga orang sampai sepuluh, ada
pula Nabi dan besertanya adalah seorang lelaki atau dua orang saja, bahkan ada pula seorang
Nabi yang tidak disertai seseorangpun. Tiba-tiba diperlihatkanlah padaku suatu gerombolan
manusia yang besar, lalu saya mengira bahwa mereka itulah ummatku. Lalu dikatakanlah
padaku: “Ini adalah Musa dengan kaumnya. Tetapi lihatlah ke ufuk – sesuatu sudut.”
Kemudian sayapun melihatnya, lalu saya lihatlah dan tiba-tiba tampaklah di situ suatu
gerombolan ummat yang besar juga. Selanjutnya dikatakan pula kepadaku: “Kini lihatlah
pula ke ufuk yang lain lagi itu.” Tiba-tiba di situ terdapatlah suatu kelompok yang besar pula,
lalu dikatakanlah padaku: “Inilah ummatmu dan beserta mereka itu ada sejumlah tujuhpuluh
ribu orang yang dapat memasuki syurga tanpa dihisab dan tidak terkena siksa.”
Kemudian Rasulullah s.a.w. bangun dan terus memasuki rumahnya. Orang-orang
banyak sama bercakap-cakap mengenai para manusia yang memasuki syurga tanpa dihisab
dan tanpa disiksa itu. Sebagian dari sahabat itu ada yang berkata: “Barangkali mereka itu
ialah orang-orang yang telah menjadi sahabat Rasulullah s.a.w.” Sebagian lagi berkata:
“Barangkali mereka itu ialah orang-orang yang dilahirkan di zaman sudah munculnya agama
Islam, kemudian tidak pernah mempersekutukan sesuatu dengan Allah.” Banyak lagi
sebutan – percakapan-percakapan – mengenai itu yang mereka kemukakan.
Rasulullah s.a.w. lalu keluar menemui mereka kemudian bertanya: “Apakah yang
sedang engkau semua percakapkan itu.” Para sahabat memberitahukan hal itu kepada beliau.
Selanjutnya beliau s.a.w. bersabda:
“Orang-orang yang memasuki syurga tanpa hisab dan siksa itu ialah mereka yang
tidak pernah memberi mentera-mentera tidak meminta mentera-mentera dari orang lain -
karena sangatnya bertawakkal kepada Allah, tidak pula merasa akan memperoleh bahaya
karena adanya burung-burung – atau adanya hal yang lain-lain atau ringkasnya meyakini
guhon tuhon atau khurafat yang sesat – dan pula sama bertawakkal kepada Tuhannya.”
‘Ukkasyah bin Mihshan al-Asadi, kemudian berkata: “Doakanlah saya – ya Rasulullah -
kepada Allah supaya Allah menjadikan saya termasuk golongan mereka itu – tanpa hisab dan
siksa dapat memasuki syurga.” Beliau s.a.w. lalu bersabda: “Engkau termasuk golongan
mereka.” Selanjutnya ada pula orang lain yang berdiri lalu berkata: “Doakanlah saya kepada
Allah supaya saya oleh Allah dijadikan termasuk golongan mereka itu pula.” Kemudian
beliau bersabda: “Permohonan seperti itu telah didahului oleh ‘Ukkasyah.” (Muttafaq ‘alaih)
Lafaz ‘Ukkasyah dengan mendhammahkan ‘ain serta mensyaddahkan kafnya,tetapi
boleh pula kafnya itu diringankan, yakni tidak disyaddahkan lalu dibaca ‘Ukasyah. Namun
begitu, dengan mensyaddahkan kafnya adalah lebih fasih.
bersabda:
“Dipertontonkanlah padaku berbagai ummat, maka saya melihat ada seorang Nabi
dan besertanya adalah sekelompok manusia kecil – antara tiga orang sampai sepuluh, ada
pula Nabi dan besertanya adalah seorang lelaki atau dua orang saja, bahkan ada pula seorang
Nabi yang tidak disertai seseorangpun. Tiba-tiba diperlihatkanlah padaku suatu gerombolan
manusia yang besar, lalu saya mengira bahwa mereka itulah ummatku. Lalu dikatakanlah
padaku: “Ini adalah Musa dengan kaumnya. Tetapi lihatlah ke ufuk – sesuatu sudut.”
Kemudian sayapun melihatnya, lalu saya lihatlah dan tiba-tiba tampaklah di situ suatu
gerombolan ummat yang besar juga. Selanjutnya dikatakan pula kepadaku: “Kini lihatlah
pula ke ufuk yang lain lagi itu.” Tiba-tiba di situ terdapatlah suatu kelompok yang besar pula,
lalu dikatakanlah padaku: “Inilah ummatmu dan beserta mereka itu ada sejumlah tujuhpuluh
ribu orang yang dapat memasuki syurga tanpa dihisab dan tidak terkena siksa.”
Kemudian Rasulullah s.a.w. bangun dan terus memasuki rumahnya. Orang-orang
banyak sama bercakap-cakap mengenai para manusia yang memasuki syurga tanpa dihisab
dan tanpa disiksa itu. Sebagian dari sahabat itu ada yang berkata: “Barangkali mereka itu
ialah orang-orang yang telah menjadi sahabat Rasulullah s.a.w.” Sebagian lagi berkata:
“Barangkali mereka itu ialah orang-orang yang dilahirkan di zaman sudah munculnya agama
Islam, kemudian tidak pernah mempersekutukan sesuatu dengan Allah.” Banyak lagi
sebutan – percakapan-percakapan – mengenai itu yang mereka kemukakan.
Rasulullah s.a.w. lalu keluar menemui mereka kemudian bertanya: “Apakah yang
sedang engkau semua percakapkan itu.” Para sahabat memberitahukan hal itu kepada beliau.
Selanjutnya beliau s.a.w. bersabda:
“Orang-orang yang memasuki syurga tanpa hisab dan siksa itu ialah mereka yang
tidak pernah memberi mentera-mentera tidak meminta mentera-mentera dari orang lain -
karena sangatnya bertawakkal kepada Allah, tidak pula merasa akan memperoleh bahaya
karena adanya burung-burung – atau adanya hal yang lain-lain atau ringkasnya meyakini
guhon tuhon atau khurafat yang sesat – dan pula sama bertawakkal kepada Tuhannya.”
‘Ukkasyah bin Mihshan al-Asadi, kemudian berkata: “Doakanlah saya – ya Rasulullah -
kepada Allah supaya Allah menjadikan saya termasuk golongan mereka itu – tanpa hisab dan
siksa dapat memasuki syurga.” Beliau s.a.w. lalu bersabda: “Engkau termasuk golongan
mereka.” Selanjutnya ada pula orang lain yang berdiri lalu berkata: “Doakanlah saya kepada
Allah supaya saya oleh Allah dijadikan termasuk golongan mereka itu pula.” Kemudian
beliau bersabda: “Permohonan seperti itu telah didahului oleh ‘Ukkasyah.” (Muttafaq ‘alaih)
Lafaz ‘Ukkasyah dengan mendhammahkan ‘ain serta mensyaddahkan kafnya,tetapi
boleh pula kafnya itu diringankan, yakni tidak disyaddahkan lalu dibaca ‘Ukasyah. Namun
begitu, dengan mensyaddahkan kafnya adalah lebih fasih.
75. Kedua:
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma juga bahwasanya Rasulullah s.a.w.
bersabda – dalam berdoa:
“Ya Allah, kepadaMulah saya menyerahkan diri, denganMu saya beriman, atasMu
saya bertawakkal, ke hadhiratMu saya bertaubat, denganMu saya berbantah – menghadapi
musuh-musuh agama.” “Ya Allah, saya mohon perlindungan dengan kemuliaanMu, tiada Tuhan melainkan
Engkau, kalau sampai Engkau menyesatkan diriku. Engkau Maha Hidup yang tidak akan
mati, sedangkan semua jin dan manusia pasti mati.” (Muttafaq ‘alaih)
Hadis di atas itu menurut lafaz Imam Muslim dan diringkaskan dalam lafaz Imam
Bukhari.
bersabda – dalam berdoa:
“Ya Allah, kepadaMulah saya menyerahkan diri, denganMu saya beriman, atasMu
saya bertawakkal, ke hadhiratMu saya bertaubat, denganMu saya berbantah – menghadapi
musuh-musuh agama.” “Ya Allah, saya mohon perlindungan dengan kemuliaanMu, tiada Tuhan melainkan
Engkau, kalau sampai Engkau menyesatkan diriku. Engkau Maha Hidup yang tidak akan
mati, sedangkan semua jin dan manusia pasti mati.” (Muttafaq ‘alaih)
Hadis di atas itu menurut lafaz Imam Muslim dan diringkaskan dalam lafaz Imam
Bukhari.
76. Ketiga:
Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma pula, katanya: “Lafaz: Hasbunallah wa
ni’mal wakil, artinya: Cukuplah Allah itu sebagai penolong kita dan Dra adalah sebaik-
baiknya yang diserahi, itu pernah diucapkan oleh Ibrahim a.s. ketika beliau dilemparkan ke
dalam api, Juga pernah diucapkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. ketika orang-orang sama
berkata: “Sesungguhnya orang-orang banyak telah berkumpul-bersatu-untuk memerangi
engkau,maka takutilah mereka itu,” tetapi ucapan sedemikian itu tidaklah menambah kepada
orang-orang yang beriman melainkan keimanan belaka dan mereka berkata: Hasbunallah wa
ni’mal wakil. (Riwayat Bukhari)
Dalam riwayat Bukhari pula dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma disebutkan:
Ucapan Nabi Ibrahim yang terakhir sekali ketika beliau dilemparkan ke dalam api yaitu:
Hasbiallah wa ni’mal wakil artinya: “Cukuplah Allah itu sebagai penolongku dan Dia adalah
sebaik-baiknya yang diserahi.”
ni’mal wakil, artinya: Cukuplah Allah itu sebagai penolong kita dan Dra adalah sebaik-
baiknya yang diserahi, itu pernah diucapkan oleh Ibrahim a.s. ketika beliau dilemparkan ke
dalam api, Juga pernah diucapkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. ketika orang-orang sama
berkata: “Sesungguhnya orang-orang banyak telah berkumpul-bersatu-untuk memerangi
engkau,maka takutilah mereka itu,” tetapi ucapan sedemikian itu tidaklah menambah kepada
orang-orang yang beriman melainkan keimanan belaka dan mereka berkata: Hasbunallah wa
ni’mal wakil. (Riwayat Bukhari)
Dalam riwayat Bukhari pula dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma disebutkan:
Ucapan Nabi Ibrahim yang terakhir sekali ketika beliau dilemparkan ke dalam api yaitu:
Hasbiallah wa ni’mal wakil artinya: “Cukuplah Allah itu sebagai penolongku dan Dia adalah
sebaik-baiknya yang diserahi.”
77. Keempat:
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya:
“Masuklah ke dalam syurga itu para kaum yang hatinya seperti hati burung.” (Riwayat
Muslim)
Artinya kata-kata di atas itu disebutkan: Bahwasanya mereka itu sama bertawakkal.
Juga dapatdiartikan: bahwasanya hati mereka itu lemah lembut.
“Masuklah ke dalam syurga itu para kaum yang hatinya seperti hati burung.” (Riwayat
Muslim)
Artinya kata-kata di atas itu disebutkan: Bahwasanya mereka itu sama bertawakkal.
Juga dapatdiartikan: bahwasanya hati mereka itu lemah lembut.
78. Kelima:
Dari Jabir r.a. bahwasanya ia berperang bersama Nabi s.a.w. di daerah
dekat Najad – yakni perang Dzatur Riqa’. Setelah Rasulullah s.a.w. kembali – dari
perjalanannya – iapun kembali pula beserta mereka, kemudian mereka sama memperoleh
tidur siang dalam suatu lembah yang banyak pohon durinya. Rasulullah s.a.w. turun dan
orang-orang lainpun sama berteduh di bawah pohon. Rasulullah s.a.w. itu turun di bawah
pohon samurah kemudian menggantungkan pedangnya di situ.
Kita semua tidur, tiba-tiba Rasulullah s.a.w. memanggil-manggil kita dan di sisinya
ada seorang A’rab – orang Arab dari pegunungan, lalu beliau s.a.w. bersabda: “Orang ini telah
mengacungkan pedangku padaku, sedang saya tidur tadi, kemudian saya bangun,
sedangkan pedang itu terhunus di tangannya, ia berkata: “Siapakah yang dapat menghalang-
halangi engkau dari perbuatanku ini?” Saya menjawab: “Allah” sampai tiga kali.
Tetapi beliau s.a.w. tidak menghukum orang – yang akan membunuhnya – tadi dan
beliaupun duduklah. (Muttafaq ‘aiaih)
Dalam sebuah riwayat lagi disebutkan:
Jabir berkata: “Kita semua bersama-sama Rasulullah s.a.w. dalam peperangan Dzatur
Riqa’, kemudian datanglah kita pada pohon yang rindang – nyaman digunakan sebagai
tempat berteduh – pohon itu kita biarkan untuk digunakan oleh Rasulullah s.a.w., kemudian
datanglah seseorang lelaki dari golongan kaum musyrikin sedangkan pedang Rasulullah
s.a.w. digantungkan pada pohon tersebut. Orang itu menghunus pedangnya lalu berkata:
“Adakah engkau takut padaku?” Rasulullah s.a.w. menjawab: “Tidak.” Orang itu berkata lagi: Riyadhus “Siapakah yang dapat menghalang-halangi engkau dari perbuatanku ini.” Beliau s.a.w.
menjawab: “Allah.”
Disebutkan pula dalam riwayat lainnya lagi yaitu riwayat Abu Bakar al-lsma’ili dalam
kitab shahihnya demikian:
Orang itu berkata: “Siapakah yang dapat menghalang-halangi engkau dari
perbuatanku ini.” Beliau s.a.w. bersabda: “Allah,” kemudian jatuhlah pedang itu dari
tangannya.
Selanjutnya pedang itu diambil oleh Rasulullah s.a.w., lalu bersabda: “Siapakah yang
dapat menghalang-halangi engkau dari padaku ini?” Orang tadi berkata: “Jadilah engkau -
hai Muhammad -sebaik-baiknya orang yang dimintai perlindungan.” Rasulullah s.a.w.
bersabda pula: “Sukakah engkau menyaksikan bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan
bahwasanya saya ini utusan Allah?” Ia menjawab: “Tidak suka aku demikian, tetapi saya
berjanji padamu bahwa saya tidak akan memerangi lagi padamu dan tidak pula akan
menyertai kaum yang memerangi engkau.”
Oleh Rasulullah s.a.w. orang tersebut dilepaskan jalannya -dibebaskan, kemudian ia
mendatangi sahabat-sahabatnya lalu berkata: “Saya telah datang padamu sekalian ini dari sisi
sebaik-baik manusia – yang dimaksud ialah baharudatang dari Nabi Muhammad s.a.w.
Sabda Nabi s.a.w.: Ikhtarathas saifa, artinya mengacungkan pedang dalam keadaan
terhunus dan Wa huwa fi yadihi shaltan, artinya: pedang itu di tangannya sudah terhunus.
Lafaz shaltan itu boleh difathahkan shadnya dan boleh pula didhammahkan.
dekat Najad – yakni perang Dzatur Riqa’. Setelah Rasulullah s.a.w. kembali – dari
perjalanannya – iapun kembali pula beserta mereka, kemudian mereka sama memperoleh
tidur siang dalam suatu lembah yang banyak pohon durinya. Rasulullah s.a.w. turun dan
orang-orang lainpun sama berteduh di bawah pohon. Rasulullah s.a.w. itu turun di bawah
pohon samurah kemudian menggantungkan pedangnya di situ.
Kita semua tidur, tiba-tiba Rasulullah s.a.w. memanggil-manggil kita dan di sisinya
ada seorang A’rab – orang Arab dari pegunungan, lalu beliau s.a.w. bersabda: “Orang ini telah
mengacungkan pedangku padaku, sedang saya tidur tadi, kemudian saya bangun,
sedangkan pedang itu terhunus di tangannya, ia berkata: “Siapakah yang dapat menghalang-
halangi engkau dari perbuatanku ini?” Saya menjawab: “Allah” sampai tiga kali.
Tetapi beliau s.a.w. tidak menghukum orang – yang akan membunuhnya – tadi dan
beliaupun duduklah. (Muttafaq ‘aiaih)
Dalam sebuah riwayat lagi disebutkan:
Jabir berkata: “Kita semua bersama-sama Rasulullah s.a.w. dalam peperangan Dzatur
Riqa’, kemudian datanglah kita pada pohon yang rindang – nyaman digunakan sebagai
tempat berteduh – pohon itu kita biarkan untuk digunakan oleh Rasulullah s.a.w., kemudian
datanglah seseorang lelaki dari golongan kaum musyrikin sedangkan pedang Rasulullah
s.a.w. digantungkan pada pohon tersebut. Orang itu menghunus pedangnya lalu berkata:
“Adakah engkau takut padaku?” Rasulullah s.a.w. menjawab: “Tidak.” Orang itu berkata lagi: Riyadhus “Siapakah yang dapat menghalang-halangi engkau dari perbuatanku ini.” Beliau s.a.w.
menjawab: “Allah.”
Disebutkan pula dalam riwayat lainnya lagi yaitu riwayat Abu Bakar al-lsma’ili dalam
kitab shahihnya demikian:
Orang itu berkata: “Siapakah yang dapat menghalang-halangi engkau dari
perbuatanku ini.” Beliau s.a.w. bersabda: “Allah,” kemudian jatuhlah pedang itu dari
tangannya.
Selanjutnya pedang itu diambil oleh Rasulullah s.a.w., lalu bersabda: “Siapakah yang
dapat menghalang-halangi engkau dari padaku ini?” Orang tadi berkata: “Jadilah engkau -
hai Muhammad -sebaik-baiknya orang yang dimintai perlindungan.” Rasulullah s.a.w.
bersabda pula: “Sukakah engkau menyaksikan bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan
bahwasanya saya ini utusan Allah?” Ia menjawab: “Tidak suka aku demikian, tetapi saya
berjanji padamu bahwa saya tidak akan memerangi lagi padamu dan tidak pula akan
menyertai kaum yang memerangi engkau.”
Oleh Rasulullah s.a.w. orang tersebut dilepaskan jalannya -dibebaskan, kemudian ia
mendatangi sahabat-sahabatnya lalu berkata: “Saya telah datang padamu sekalian ini dari sisi
sebaik-baik manusia – yang dimaksud ialah baharudatang dari Nabi Muhammad s.a.w.
Sabda Nabi s.a.w.: Ikhtarathas saifa, artinya mengacungkan pedang dalam keadaan
terhunus dan Wa huwa fi yadihi shaltan, artinya: pedang itu di tangannya sudah terhunus.
Lafaz shaltan itu boleh difathahkan shadnya dan boleh pula didhammahkan.
79. Keenam:
Dari Umar r.a., katanya: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Andaikata engkau sekalian itu suka bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-
benarnya tawakkal, niscayalah Dia akan memberikan rezeki padamu sekalian sebagaimana
Dia memberikan rezeki kepada burung. Pagi-pagi burung-burung berperut kosong dan sore-
sore kembali dengan perut penuh berisi.
Diriwayatkan oleh Imam Termidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan.
Adapun makna Hadis itu ialah bahwa burung-burung itu pada permulaan hari siang,
yakni mulai pagi harinya sama pergi dalam keadaan khimash, artinya kosong perutnya, sebab
lapar, sedangkan pada akhir siang, yakni pada sore harinya sama kembali dalam keadaan
bithaan, artinya perutnya penuh sebab kenyang. Inilah tanda tawakkalnya burung pada Allah.
“Andaikata engkau sekalian itu suka bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-
benarnya tawakkal, niscayalah Dia akan memberikan rezeki padamu sekalian sebagaimana
Dia memberikan rezeki kepada burung. Pagi-pagi burung-burung berperut kosong dan sore-
sore kembali dengan perut penuh berisi.
Diriwayatkan oleh Imam Termidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan.
Adapun makna Hadis itu ialah bahwa burung-burung itu pada permulaan hari siang,
yakni mulai pagi harinya sama pergi dalam keadaan khimash, artinya kosong perutnya, sebab
lapar, sedangkan pada akhir siang, yakni pada sore harinya sama kembali dalam keadaan
bithaan, artinya perutnya penuh sebab kenyang. Inilah tanda tawakkalnya burung pada Allah.
80. Ketujuh:
Dari Abu ‘Umarah, yaitu Albara’ bin ‘Azib radhiallahu ‘anhuma, katanya:
“Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Hai Fulan, jikalau engkau bertempat di tempat tidurmu – maksudnya jikalau hendak
tidur – maka katakanlah – doa yang artinya:
“Ya Allah, saya menyerahkan diriku padaMu, saya menghadapkan mukaku padaMu,
saya menyerahkan urusanku padaMu, saya menempatkan punggungku padaMu, karena
loba akan pahalaMu dan takut siksaMu, tiada tempat bersembunyi dan tiada pula tempat
keselamatan kecuali kepadaMu. Saya beriman kepada kitab yang Engkau turunkan serta
kepada Nabi yang Engkau rasulkan.
Sesungguhnya engkau – hai Fulan, jikalau engkau mati pada malam harimu itu, maka
engkau akan mati menetapi kefithrahan – agama Islam -dan jikalau engkau masih dapat
berpagi-pagi, – masih tetap hidup sampai pagi harinya, maka engkau dapat memperoleh
kebaikan.” (Muttafaq ‘alaih) Disebutkan pula dalam kedua kitab shahih – Bukhari dan Muslim, dari Albara’,
katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda kepada-ku: “Jikalau engkau mendatangi tempat
pembaringanmu – maksudnya hendak tidur, maka berwudhu’lah sebagaimana berwudhu’mu
untuk bersembahyang, kemudian berbaringlah atas lambung kananmu, kemudian
ucapkanlah…….” Lalu diuraikannya sebagaimana yang tertera di atas, selanjutnya pada
penutupnya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Jadikanlah ucapan tersebut di atas itu sebagai
penghabisan sesuatu yang engkau ucapkan – maksudnya sehabis berdoa di atas, jangan lagi
berkata yang lain-lain.”
“Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Hai Fulan, jikalau engkau bertempat di tempat tidurmu – maksudnya jikalau hendak
tidur – maka katakanlah – doa yang artinya:
“Ya Allah, saya menyerahkan diriku padaMu, saya menghadapkan mukaku padaMu,
saya menyerahkan urusanku padaMu, saya menempatkan punggungku padaMu, karena
loba akan pahalaMu dan takut siksaMu, tiada tempat bersembunyi dan tiada pula tempat
keselamatan kecuali kepadaMu. Saya beriman kepada kitab yang Engkau turunkan serta
kepada Nabi yang Engkau rasulkan.
Sesungguhnya engkau – hai Fulan, jikalau engkau mati pada malam harimu itu, maka
engkau akan mati menetapi kefithrahan – agama Islam -dan jikalau engkau masih dapat
berpagi-pagi, – masih tetap hidup sampai pagi harinya, maka engkau dapat memperoleh
kebaikan.” (Muttafaq ‘alaih) Disebutkan pula dalam kedua kitab shahih – Bukhari dan Muslim, dari Albara’,
katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda kepada-ku: “Jikalau engkau mendatangi tempat
pembaringanmu – maksudnya hendak tidur, maka berwudhu’lah sebagaimana berwudhu’mu
untuk bersembahyang, kemudian berbaringlah atas lambung kananmu, kemudian
ucapkanlah…….” Lalu diuraikannya sebagaimana yang tertera di atas, selanjutnya pada
penutupnya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Jadikanlah ucapan tersebut di atas itu sebagai
penghabisan sesuatu yang engkau ucapkan – maksudnya sehabis berdoa di atas, jangan lagi
berkata yang lain-lain.”
81.
Kedelapan: Dari Abu Bakar ash-Shiddiq, yaitu Abdullah bin Usman bin ‘Amir bin
‘Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghalibal-Qurasyi at-
Taimi r.a., ia dan ayahnya, juga ibunya semuanya adalah termasuk golongan para sahabat
radhiallahu ‘anhum, katanya: “Saya melihat pada kaki kaum musyrikin sedang kita berada
dalam guha dan orang-orang tersebut tepat di atas kepala kita, lalu saya berkata: “Ya
Rasulullah, andaikata seorang dari mereka itu melihat ke bawah kakinya, pasti mereka akan
dapat melihat tempat kita ini.” Beliau s.a.w. lalu bersabda:
“Apakah yang engkau sangka itu, hai Abu Bakar bahwa kita ini hanya berdua saja.
Allah adalah yang ketiga dari kita ini – maksudnya senantiasa melindungi kita.” (Muttafaq
‘alaih)
‘Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghalibal-Qurasyi at-
Taimi r.a., ia dan ayahnya, juga ibunya semuanya adalah termasuk golongan para sahabat
radhiallahu ‘anhum, katanya: “Saya melihat pada kaki kaum musyrikin sedang kita berada
dalam guha dan orang-orang tersebut tepat di atas kepala kita, lalu saya berkata: “Ya
Rasulullah, andaikata seorang dari mereka itu melihat ke bawah kakinya, pasti mereka akan
dapat melihat tempat kita ini.” Beliau s.a.w. lalu bersabda:
“Apakah yang engkau sangka itu, hai Abu Bakar bahwa kita ini hanya berdua saja.
Allah adalah yang ketiga dari kita ini – maksudnya senantiasa melindungi kita.” (Muttafaq
‘alaih)
82.
Kesembilan: Dari Ummul Mu’minin Ummu Salamah dan namanya sendiri adalah
Hindun binti Abu Umayyahyaitu Hudzaifah al-Makhzumiyah radhiallahu ‘anha bahwasanya
Nabi s.a.w. itu apabila keluar dari rumahnya, bersabda – yang artinya:
“Dengan menyebut nama Allah, saya bertawakkal kepada Allah.”
“Ya Allah, sesungguhnya saya mohon perlindungan kepadaMu kalau-kalau saya
sampai tersesat atau disesatkan, tergelincir – dari kebenaran – atau digelincirkan, menganiaya
atau dianiaya, menjadi bodoh – tidak mengerti sesuatu – ataupun dianggap bodoh oleh orang
lain atas diriku.”
Hadis shahih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Termidzi dan lain-lainnya dengan
sanad-sanad yang shahih. Termidzi berkata bahwa ini adalah Hadis hasan shahih. Hadis di
atas adalah menurut lafaznya Imam Abu Dawud.
Hindun binti Abu Umayyahyaitu Hudzaifah al-Makhzumiyah radhiallahu ‘anha bahwasanya
Nabi s.a.w. itu apabila keluar dari rumahnya, bersabda – yang artinya:
“Dengan menyebut nama Allah, saya bertawakkal kepada Allah.”
“Ya Allah, sesungguhnya saya mohon perlindungan kepadaMu kalau-kalau saya
sampai tersesat atau disesatkan, tergelincir – dari kebenaran – atau digelincirkan, menganiaya
atau dianiaya, menjadi bodoh – tidak mengerti sesuatu – ataupun dianggap bodoh oleh orang
lain atas diriku.”
Hadis shahih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Termidzi dan lain-lainnya dengan
sanad-sanad yang shahih. Termidzi berkata bahwa ini adalah Hadis hasan shahih. Hadis di
atas adalah menurut lafaznya Imam Abu Dawud.
83.
Kesepuluh: Dari Anas r.a. katanya Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Barangsiapa yang mengucapkan, yakni ketika keluar dari rumahnya: Bismillah,
tawakkaltu ‘alallah wala haula wala quwwata illabitlah – artinya: Dengan menyebut nama Allah, saya bertawakkal kepada Allah dan tiada daya serta tiada kekuatan melainkan dengan
pertolongan Allah, maka kepada orang itu dikatakanlah: “Engkau telah diberi petunjuk, telah
pula dicukupi keperluanmu, jika telah drberi penjagaan. Syaitanpun menyingkirlah dari
orang tersebut.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Termidzi dan Nasa’i serta lain-lainnya. Termidzi
mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan. Abu Dawud menambahkan lalu berkata: “Bahwa
syaitan yang satu berkata kepada syaitan lainnya: “Bagaimana engkau dapat menggoda
orang yang telah diberi petunjuk telah dicukupi dan telah pula diberi penjagaan.”
84. Kesebelas: Dari Anas r.a., katanya: “Ada dua orang bersaudara pada zaman Nabi
s.a.w. salah seorang dari keduanya itu datang kepada Nabi s.a.w., yang lainnya lagi bekerja.
Orang yang bekerja ini mengadu kepada Nabi s.a.w. mengenai saudaranya -yang
menganggur itu – lalu beliau s.a.w. bersabda:
“Barangkali engkau diberi rezeki – oleh Allah – itu adalah dengan sebab adanya
saudaramu – yang engkau beri pertolongan makan dan lain-lain itu.”
Diriwayatkan oleh Termidzi dengan isnad shahih atas syarat Muslim.
“Barangsiapa yang mengucapkan, yakni ketika keluar dari rumahnya: Bismillah,
tawakkaltu ‘alallah wala haula wala quwwata illabitlah – artinya: Dengan menyebut nama Allah, saya bertawakkal kepada Allah dan tiada daya serta tiada kekuatan melainkan dengan
pertolongan Allah, maka kepada orang itu dikatakanlah: “Engkau telah diberi petunjuk, telah
pula dicukupi keperluanmu, jika telah drberi penjagaan. Syaitanpun menyingkirlah dari
orang tersebut.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Termidzi dan Nasa’i serta lain-lainnya. Termidzi
mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan. Abu Dawud menambahkan lalu berkata: “Bahwa
syaitan yang satu berkata kepada syaitan lainnya: “Bagaimana engkau dapat menggoda
orang yang telah diberi petunjuk telah dicukupi dan telah pula diberi penjagaan.”
84. Kesebelas: Dari Anas r.a., katanya: “Ada dua orang bersaudara pada zaman Nabi
s.a.w. salah seorang dari keduanya itu datang kepada Nabi s.a.w., yang lainnya lagi bekerja.
Orang yang bekerja ini mengadu kepada Nabi s.a.w. mengenai saudaranya -yang
menganggur itu – lalu beliau s.a.w. bersabda:
“Barangkali engkau diberi rezeki – oleh Allah – itu adalah dengan sebab adanya
saudaramu – yang engkau beri pertolongan makan dan lain-lain itu.”
Diriwayatkan oleh Termidzi dengan isnad shahih atas syarat Muslim.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan