Ridha
berasal dari kata radhiyah yang memiliki arti “rela” dan “menerima dengan suci
hati”. Sedangkan menurut istilah, ridha berkaitan dengan perkara keimanan yang
terbagi menjadi dua macam, yaitu :
1.Ridha hamba terhadap hukum Allah.
ORang yang ridha terhadap hukum Allah akan senantiasa menjalankan perintah Allah dengan ikhlas, selalu bersyukur dan menjauhi segala yang dibenci Allah swt.
2.Ridha Allah terhadap hamba-Nya.
Jika Allah swt. meridhai hamba-Nya, Ia akan memberikan tambahan kenikmatan, pahala dan meninggikan derajat hamba-Nya tersebut.
1.Ridha hamba terhadap hukum Allah.
ORang yang ridha terhadap hukum Allah akan senantiasa menjalankan perintah Allah dengan ikhlas, selalu bersyukur dan menjauhi segala yang dibenci Allah swt.
2.Ridha Allah terhadap hamba-Nya.
Jika Allah swt. meridhai hamba-Nya, Ia akan memberikan tambahan kenikmatan, pahala dan meninggikan derajat hamba-Nya tersebut.
Ridha adalah
puncak daripada kecintaan yang diperoleh seorang salik selepas menjalani proses
‘ubudiyyah yang panjang kepada Allah SWT. Rida merupakan anugerah kebaikan yang
diberikan Tuhan atas hambaNya daripada usahanya yang maksima dalam pengabdian
dan munajat. Rida juga merupakan manifestasi amal soleh sehingga memperoleh
pahala daripada kebaikannya tersebut.
Allah
berfirman yang bermaksud:
“Dan keredhaan Allah adalah lebih besar.” (QS.At-Taubah:72)
”Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.” (QS 98: 8).
“Hai jiwa yang tenang kembali kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam syurgaKu.”(QS.Al-Fajr:27-30)
“Dan keredhaan Allah adalah lebih besar.” (QS.At-Taubah:72)
”Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.” (QS 98: 8).
“Hai jiwa yang tenang kembali kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam syurgaKu.”(QS.Al-Fajr:27-30)
Bagi
al-Ghazali kelebihan rida Allah SWT merupakan manifestasi daripada keredhaan
hamba. Rida terikat dengan nilai penyerahan diri kepada Tuhan yang bergantung
kepada usaha manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya agar sentiasa dekat
dengan Tuhannya.
Syaikh Abu
`Ali al-Daqqaq menyatakan bahawa seorang salik tidak merasa terbeban dengan
hukum dan qadar Allah Ta’ala. Adalah suatu kewajiban bagi seorang untuk
rela di atas ketentuan dan qadar Ilahi sesuai khittah yang ditetapkan syari’at.
Rida pada prinsipnya adalah kehormatan tertinggi bagi seorang individu sehingga
ia dengan sengaja membuka dirinya kepada kebahagiaan di dalam menjalani
kehidupan di dunia yang fana’ ini.
Ibn Khatib
mengatakan: “ridha adalah tenangnya hati dengan ketetapan (takdir) Allah Ta’ala
dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah Ta’ala.”
Dalam hadits
atha’, Ibnu Abbas berkata: Ketika Rasulullah SAW menemui sahabat – sahabat
Anshor, Beliau bersabda: ”apakah kamu orang – orang mukmin?” , lalu mereka
diam, maka berkatalah Umar : “ Ya, Rasulullah”. Beliau SAW bersabda lagi: “
apakah tanda keimananmu?”, mereka berkata: “ kami bersyukur menghadapi
kelapangan, bersabar menghadapi bencana, dan ridha dengan qada’ ketentuan
Allah”, kemudian Nabi SAW bersabda lagi:”Orang- orang mukmin yang benar, demi
Tuhan Ka’bah”.
Dalam hadits diatas diterangkan dengan jelas bahwa ridha merupakan tanda dari keimanan seseorang, ridha adalah suatu maqam mulia karena didalamnya terhimpun tawakal dan sabar.
Dalam hadits diatas diterangkan dengan jelas bahwa ridha merupakan tanda dari keimanan seseorang, ridha adalah suatu maqam mulia karena didalamnya terhimpun tawakal dan sabar.
Ridha tidak
berarti menerima begitu saja cobaan yang diberikan oleh Allah swt. Walaupun
dalam pengertiannya, ridha berarti menerima apa yang diberikan Allah dengan
sabar dan ikhlas, bukan berarti tanpa ada keinginan maupun usaha untuk mengubah
situasi yang telah terjadi menjadi lebih baik lagi.
Mereka yang
ridha, dapat merasakan hikmah dan kebaikan Dzat yang mendatangkan ujian. Mereka
tidak berburuk sangka kepadaNya. Disaat yang lain menghayati betapa Dia Maha
Agung, Maha Mulia dan Maha Sempurna. Mereka bahkan dapat menikmati musibah yang
menimpanya, karena mereka tahu bahwa musibah itu datangnya dari Dzat yang
dicintainya.
Ketika
sesuatu yang tidak diinginkan datang menimpa, kita dituntut untuk ridha. Hal
ini berarti kita meyakini bahwa apa yang telah menimpa kita itu adalah takdir
yang telah Allah tetapkan, namun kita tetap dituntut untuk berusaha.
Allah berfirman, ”Sesungguhnya Allah
tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri.” (QS 13: 11).
Ridha
berbeda dari sabar dan pasrah
Sabar berarti menahan diri dari amarah dan kekesalan ketika merasa sakit sambil berharap derita itu segera hilang. Pasrah adalah menerima segala ketetapan Allah, tanpa ada ikhtiar untuk mengubahnya sedikitpun. Ridha berbeda dari keduanya dan ridha merupakan salah satu sifat yang diutamakan (dimuliakan) oleh Allah swt.
Sabar berarti menahan diri dari amarah dan kekesalan ketika merasa sakit sambil berharap derita itu segera hilang. Pasrah adalah menerima segala ketetapan Allah, tanpa ada ikhtiar untuk mengubahnya sedikitpun. Ridha berbeda dari keduanya dan ridha merupakan salah satu sifat yang diutamakan (dimuliakan) oleh Allah swt.
Anas bin
malik meriwayatkan dari Nabi saw, beliau bersabda : “Sesungguhnya jika Allah
menyayangi suatu kaum maka Dia akan menguji mereka, barangsiapa yang ridha maka
baginya kerdihaan Allah dan siapa yang marah maka baginya murka Allah s.w.t.”
Keutamaan
Ridha juga telah tercantum dalam Al-Quran
Jika mereka
sungguh-sungguh rida dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada
mereka, dan berkata: “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada
kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya
kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah”, (tentulah yang demikian
itu lebih baik bagi mereka). (QS 9:59)
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang
menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau
anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah
orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan
menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan
dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,
mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas
terhadap (limpahan rahmat) -Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. (QS
58:22)
Ridha
menurut Rabi’ah al-Adawiyah mengatakan:”kapan seorang hamba menjadi orang
yg ridha? lalu Rabi’ah menjawab, ”Bila kegembiraanya waktu ditimpa bencana sama
dengan kegembiraanya dikala mendapat karunia”.
Pangkal dari
segala ridha adalah akad.artinya ,keabsahan akad itu tergantung keridhaan pihak
pihak yg berkad.untuk itu suatu akad bila dilakukan dengan terpaksa makan
akadnya tidak sah seperti sabda Rasul saw:”Umatku tidak diminta pertanggung
jawabanya jika mereka tersalah,terlupa ,dan terpaksa{HR al-Baihaqi dan Ibnu
Majah}.
Mereka yang
ridha adalah yang dapat menghayati hikmah dan kebaikan Dzat yang mendatangkan ujian.
Mereka tidak berburuk sangka kepadaNya. Disaat yang lain menghayati betapa Dia
Maha Agung, Maha Mulia dan Maha Sempurna. Ia terhanyut dalam persaksianya atas
semua itu, sehingga ia tidak lagi merasakan derita. Hanya saja, Cuma mereka
yang benar-benar bermaârifah dan bermahabbah saja yang dapat mencapai tingkatan
ini. Mereka bahkan dapat menikmati musibah yang menimpanya, karena mereka tahu
bahwa musibah itu datangnya dari Dzat yang dicintainya.
Sabar
berbeda dengan ridha. Sabar adalah menahan diri dari amarah dan kekesalan
ketika merasa sakit sambil berharap derita itu segera hilang. Sementara ridha
adalah berlapang dada atas ketetapan Allah swt dan membiarkan keberadaan rasa
sakit, walaupun ia merasakannya. Keridhaannya meringankan deritanya. Karena hatinya
dipenuhi oleh ruh yakin dan ma’rifah. Bila ridha semakin kuat, ia mampu menepis
seluruh rasa sakit dan derita.
Ibnu Mas’ud
berkata, sesunguhnya Allah swt dengan keadilan dan ilmuNya menjadikan
kesejahteraan dan kegembiraan pada yakin dan ridha, serta menjadikan kesusahan
dan kesedihan pada keraguan dan kekesalan dan kemurkaan.
Allah berfirman : Barangsiapa beriman kepada
Allah, niscaya Dia akan menunjuki hatinya. (at-Taghabun : 11)
Berkenaan dengan ayat
diatas, Alqamah berkata, Ini tentang musibah yang menimpa seseorang yang
mengerti bahwa musibah itu datang dari Allah, lalu ia pasrah kepada Allah dan
ridha. Maka sungguh akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik
(An-Nahl : 97)
Abu
Mu’awiyah al-Aswar menjelaskan maksud kehidupan yang baik adalah ridha dan
qana’ah.
Suatu ketika Ali bin Abi Thalib mendapati ‘Ady bin Hatim tengah bersedih. Beliau bertanya, Mengapa kamu bermuram durja? Ady menjawab, Apa tidak boleh, sedangkan dua anakku baru saja terbunuh, pun mataku baru saja tercungkil? Ali bertutur, Wahai Ady, barang siapa ridha terhadap ketetapan Allah maka sesungguhnya ketetapan Allah itu tetap terjadi dan amalan orang itu pun terhapus.
Suatu ketika Ali bin Abi Thalib mendapati ‘Ady bin Hatim tengah bersedih. Beliau bertanya, Mengapa kamu bermuram durja? Ady menjawab, Apa tidak boleh, sedangkan dua anakku baru saja terbunuh, pun mataku baru saja tercungkil? Ali bertutur, Wahai Ady, barang siapa ridha terhadap ketetapan Allah maka sesungguhnya ketetapan Allah itu tetap terjadi dan amalan orang itu pun terhapus.
Adalah Abu
Darda mengunjungi seseorang yang menjelang ajal sambil memuji Allah swt. Abu
Darda berujar, Anda benar. Sesungguhnya jika Allah menetapkan sesuatu Dia
senang jika diridhai.
Hasan al-Bashri berkata, Barangsiapa ridha terhadap bagiannya, Allah akan meluaskan dan memberkahinya. Begitu pula sebaliknya.
Umar bin Abdul Aziz berkata, Aku tidak memiliki kebahagiaan selain menerima apa yang ditakdirkan bagiku. Dan beliau pernah ditanya, Dan apa yang paling anda senangi?, beliau menjawab, Semua yang ditetapkan oleh Allah.
Abdul wahid bin Zaid berkata, Ridha adalah pintu Allah yang terbesar, surga dunia dan tempat istirahatnya para ahli ibadah.
Sebagian ulama berkata, Diakhirat nanti tidak ada derajat yang lebih tinggi daripada yang dimiliki oleh orang-orang yang ridha kepada Allah dalam segala situasi. Maka barangsiapa dianugerahi ridha sungguh ia telah mendapat derajat yang paling utama.
Hasan al-Bashri berkata, Barangsiapa ridha terhadap bagiannya, Allah akan meluaskan dan memberkahinya. Begitu pula sebaliknya.
Umar bin Abdul Aziz berkata, Aku tidak memiliki kebahagiaan selain menerima apa yang ditakdirkan bagiku. Dan beliau pernah ditanya, Dan apa yang paling anda senangi?, beliau menjawab, Semua yang ditetapkan oleh Allah.
Abdul wahid bin Zaid berkata, Ridha adalah pintu Allah yang terbesar, surga dunia dan tempat istirahatnya para ahli ibadah.
Sebagian ulama berkata, Diakhirat nanti tidak ada derajat yang lebih tinggi daripada yang dimiliki oleh orang-orang yang ridha kepada Allah dalam segala situasi. Maka barangsiapa dianugerahi ridha sungguh ia telah mendapat derajat yang paling utama.
Riḍa dalam
pandangan Ibn ‘Ata’illah adalah penerimaan secara total terhadap ketentuan dan
kepastian Allah. Hal ini didasarkan pada QS. al-Mā’idah ayat 119: (Allah riḍa
terhadap mereka, dan mereka ridha kepada Allah), dan juga sabda Rasulullah
SAW.: (Orang yang merasakan [manisnya] iman adalah orang yang ridha kepada
Allah).
Maqam ridha
bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha salik sendiri. Akan tetapi ridha
adalah anugerah yang diberikan Allah. Jika maqam ridha sudah ada dalam diri
sālik, maka sudah pasti maqām tawakkal juga akan terwujud. Oleh karena itu, ada
hubungan yang erat antara maqām ridha dan maqām tawakkal. Orang yang ridha
terhadap ketentuan dan kepastian Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai
penuntun dalam segala urusannya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya, dan yakin
bahwa Dia akan menentukan yang terbaik bagi dirinya.
Maqām
tawakkal akan membangkitkan kepercayaan yang sempurna bahwa segala sesuatu ada
dalam kekuasaan Allah. Sebagaimana termaktub dalam QS. Hūd ayat 123: (…kepada-Nya lah segala urusan dikembalikan, maka
sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya).
Sebagaimana
maqām-maqām lainnya, maqām ridha dan tawakkal tidak akan benar jika tanpa
menanggalkan angan-angan. Ibn ‘Aţā’illah menyatakan bahwa angan-angan itu
bertentangan dengan tawakkal, karena barangsiapa telah berpasrah kepada Allah,
dia akan menjadikan Allah sebagai penuntunnya, dia akan berpegang teguh
kepada-Nya atas segala urusannya, dan jika sudah demikian tiadalah bagi dirinya
segala bentuk angan-angan.
“Perencanaan
(tadbīr) juga bertentangan dengan maqam tawakkal karena seorang yang
bertawakkal kepada Allah adalah orang yang menyerahkan kendali dirinya
kepada-Nya, dan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya. Barangsiapa
telah menetapi semua hal tersebut, maka tiada lagi perencanaan baginya, dan dia
berpasrah terhadap perjalanan takdir. Peniadaan perencanaan (isqaţ tadbīr) juga
terkait dengan maqām tawakkal dan ridha, hal ini jelas, karena seorang yang
ridha maka cukup baginya perencanaan Allah atasnya. Maka bagaimana mungkin dia
menjadi perencana bersama Allah, sedangkan dia telah rela dengan
perencanan-Nya. Apakah engkau tidak tahu bahwa cahaya ridha telah membasuh hati
dengan curahan perencanan-Nya. Dengan demikian, orang yang ridha terhadap Allah
telah dianugrahkan baginya cahaya ridha atas keputusan-Nya, maka tiada lagi
baginya perencanaan bersama Allah…”
Hikmah ridha
kepada qadhā’ dan qadar, antara lain dapat menghilangkan keruwetan dan
kesusahan. Musibah yang diperoleh seseorang, jika dihadapi/dengan pikiran yang
lapang dan dengan bekerja yang sungguh-sungguh di sanalah seseorang akan
mendapatkan jalan dan petunjuk yang lebih berguna, daripada dihadapi dengan
meratapi kesusahan-kesusahan itu, yang tidak ada berkesudahan.
Dasar ridha
akan qadhā’ dan qadar, ialah firman Allah dalam al-Qur’an:
“Orang-orang (yang mu’min) jika mereka mendapat sesuatu bencana berkatalah mereka “Bahwasanya kami ini kepunyaan Allah, dan kami (semua) pasti kembali lagi kepada-Nya.”
“Orang-orang (yang mu’min) jika mereka mendapat sesuatu bencana berkatalah mereka “Bahwasanya kami ini kepunyaan Allah, dan kami (semua) pasti kembali lagi kepada-Nya.”
Jika
seseorang ditimpa bencana hendaklah dia ridha, hatinya tidak boleh mendongkol.
Ridha dengan qadhā’ ialah menerima segala kejadian yang menimpa diri seseorang,
dengan rasa senang hati dan lapang dada.
Meridhai qadhā’ dan qadar, karena ditimpa bencana atau menderita sesuatu, sangat disukai oleh agama. Tetapi sekali-kali tiada dibenarkan seseorang meridhai kekufuran dan kemaksiatan.
Meridhai qadhā’ dan qadar, karena ditimpa bencana atau menderita sesuatu, sangat disukai oleh agama. Tetapi sekali-kali tiada dibenarkan seseorang meridhai kekufuran dan kemaksiatan.
Ridha dengan
taqdir Allah adalah suatu perangai yang terpuji dan mulia serta membiasakan
jiwa menyerahkan diri atas keputusan Allah, juga dapat mendapatkan hiburan yang
sempurna di kala menderita segala bencana. Dialah obat yang sangat mujarab untuk
menolak penyakit gelap mata hati. Dengan ridha atas segala ketetapan Allah,
hidup seseorang menjadi tenteram dan tidak gelisah.
Seseorang
wajib berkeyakinan, bahwa bencana yang menimpa seseorang, adakalanya juga
merupakan cobaan bagi seorang hamba, untuk lebih suka mengoreksi segala amal
perbuatan pada masa-masa yang lampau, agar seseorang dapat mengubah dan
memperbaiki jejak langkah dan perbuatannya pada masa-masa yang akan datang.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan