Sebelum
melanjutkan tentang Imam Junaid, perlu disebutkan satu Sufi yang juga sangat
memengaruhi ajaran Tasawuf. beliau adalah Imam
Harits al-Muhasibi. Imam Harits adalah sufi pertama yg secara sistematis
menulis tentang “Psikologi Sufistik.” Gelar Muhasibi disematkan karena beliau
terkenal dengan ketekunannya dalam bermuhasabah, mentafakuri dan
memperhitungkan amal dan kondisi kejiwaannya sendiri. Beliau dikaruniai kemampuan
mengetahui gerak-gerik hati dan tipuan-tipuan nafsu dan setan; salah satu
karamahnya yg termashyur adalah jari-jarinya mampu mengetahui apakah suatu
makanan/minuman itu haram atau tidak. Karamah ini diperoleh lantaran beliau
sangat berhati-hati dalam bertindak. Analisis Imam Harits al-Muhasibi tentang
sifat Riya’ dan Takabbur menjadi dasar bagi para sufi generasi selanjutnya,
termasuk kelak Hujjatul Islam Imam Abu
Hamid al-Ghazali.
Dari belahan
kawasan lain, dari Tirmidz, muncul
pula legenda Tasawuf, Imam al-Hakim
al-Tirmidhi, yg ajarannya memengaruhi sufi besar generasi selanjutnya, Syekh Akbar ibn Al-Arabi al-Hatimi. Salah
satu kitab karangan Imam Hakim al-Tirmidhi yg menjadi rujukan untuk
perbincangan masalah Kewalian dan Hirarki Wali Allah adalah berjudul “Khatam
al-Awliya.” Imam Hakim al-Turmudhi juga menulis tafsir Qur’an dari perspektif
hakikat. Gelar al-Hakim diperoleh karena beliau sangat menguasai filsafat
Yunani dan filsafat Islam.
Kembali ke
Baghdad, di sana telah muncul tokoh yang berpengaruh, Imam Junayd al-Bagdadi, seorang ulama sufi kelahiran Iran (Persia).
Imam Junayd kecerdasannya sangat luar biasa, dan karomahnya tak terhitung.
Sebagian Sufi memuji beliau dengan mengatakan, “Seandainya akal itu punya wujud
insan, maka Junaydlah wujudnya.”
Sisi penting
dari ketokohan Syekh Junayd adalah sisi “ketenangan”-nya, yg bertolak belakang
dengan “kemabukan” seperti yang ditampakkan oleh Syekh Abu Yazid al-Bisthami,
Dzun Nun, dan Rabi’ah. Syekh Junaid mendirikan semacam ‘pesantren’ dan beliau
menjadi rujukan ulama, orang awam dan bahkan penguasa. Junayd pula yang dengan
tegas menyatakan bahwa mengajarkan pengalaman mistis/ruhani, atau
hakikat-makrifat, adalah berbahaya jika ajaran ini disampaikan secara terbuka
untuk orang awam. Maka Sykeh Junaid termasuk golongan Sufi yang ahli dalam
memperhalus seni bicara melalui isyarat dan perlambang yg sebagian besar hanya
bisa dipahami oleh orang yang telah mencapai maqam tertentu. Berdasarkan
pendapatnya yg memilih berhati-hati dalam mengemukakan ajaran Tasawuf ini, maka
kelak Syekh Junaid terpaksa “bertentangan” dengan salah satu muridnya yang
paling terkenal dalam sejarah Islam, Husain ibn Mansur al-Hallaj.
Rakan
sezaman syekh Junayd yang terkenal adalah Syekh
Ruwaym. Ini adalah sufi yang mewakili sisi lain dari Tasawuf. Syekh Ruwaym
tidak menampakkan perilaku zuhud atau ketawakalan yang menonjol. Beliau adalah
tergolong orang kaya raya. Dengan kata lain, belau menyembunyikan kewalian atau
kesufiannya dalam jubah orang kaya. Tokoh lain yg semasa dengannya adalah Syekh Abu Husain al-Nuri, murid dari
Syekh Sari as-Saqati. Syekh Nuri meneruskan tradisi Rabiah al-Adawiyah. Syekh
Nuri mengatakan bahwa cinta persaudaraan merupakan wujud dari kebenaran dan
kefakiran yang hakiki, atau dengan kata lain ia lebih mengutamakan orang lain
ketimbang dirinya sendiri (ajaran ini kelak dikembangkan lebih lanjut oleh sufi
generasi selanjutnya, melalui konsep futuwwah atau kekesatriaan ruhani). Karya
Nuri yg terkenal adalah Maqamat al-Qulub, atau “Maqam Hati.” Ajaran cinta Nuri
sebagian tak disukai oleh Imam Junayd karena dipandang terlalu berlebihan dalam
gaya ungkapnya. Nuri sempat dipenjara karena dituduh zindiq karena puis-puisi
cinta Ilahiahnya yang berkobar-kobar. Selama di penjara beliau bertemu dengan
Wali Allah tersembunyi lainnya, Sumnun
al-Muhibb. Sumnum dipuji oleh penulis sufi lainnya generasi selanjutnya
(seperti Hujwiri dan Attar). Imam
Hujwiri mengataka, “Sumnun mengikuti mazhab istimewa dalam cinta dan
berpendapat bahwa cinta merupakan akar dan landasan menuju Tuhan.” Bahkan
Sumnun berpendapat bahwa cinta lebih tinggi ketimbang makrifat, dan persoalan
ini masih menjadi subyek yg diperbincangkan dan diperdebatkan sampai sekarang.
Sumnun mengatakan bahwa cinta selalu terkait dengan derita. Ketika ditanya,
mengapa demikian, Sumnun menjawab: “Supaya tak setiap orang awam bisa
mengatakan Cinta, sebab kebanyakan orang awam akan lari menjauh ketika melihat
penderitaan.”
Garis
tradisi Cinta dari Rabiah dan Sumnun ini tampaknya mengalir langsung ke dalam
ajaran salah satu sufi agung legendaris, paling kontroversial, SYEKH HUSAIN IBN MANSHUR AL-HALLAJ,
sang Syuhada iInta Ilahi. Kisah tragis Al-Hallaj, yang juga murid dari Abu Amir al-Makki dan juga murid dari Junayd al-Baghdad ini, telah mempesona
banyak sufi, orang awam, ilmuwan, bahkan orientalis. Salah satu orientalis yang
konon masuk ISlam karena memelajari kehidupan al-Hallaj adalah Louis Massignon.
Louis Massignon mempersembahkan seluruh sisa hidupnya, selama 30 tahun lebih,
khusus untuk mendalami hidup dan ajaran Syekh Manshur al-Hallaj. Massignon
menyusun 4 jilid buku riwayat al-Hallaj, yang masing-masing tebalnya
“ngudubilah setan.” Massignon pula yang menerjemahkan dan menyunting kitab
al-Hallaj yg paling sulit, TAWASIN, ke dalam bahasa Prancis dan Inggris. Dalam
kitab Tawasin inilah terdapat ungkapan yang paling masyhur: ANA AL-HAQQ.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan