Kata Sheikh Ibn Athaillah
As Sakandari R.A yang bermaksud :
“Semangat yang kuat
tidak akan boleh menembus pagar-pagar takdir”
Hikmah ini merupakan catatan akhir dan penyempurna bagi hikmah sebelumnya.
Pada hikmah ketiga ini terkandung jawaban bagi pertanyaan yang masih tersangkut
di fikiran akan hikmah sebelumnya. Tapi sebelum menguraikan hikmah ketiga ini,
penting sebelumnya untuk menjelaskan tentang qadha’ dan qadar.
Qadha’ adalah ilmu azali Allah terhadap segala apa yang akan terjadi di
masa depan. Qadar adalah terjadinya segala sesuatu, sesuai dengan ilmu azali
Allah terhadapnya.
Jadi, pengetahuan Allah terhadap peristiwa-peristiwa alam sebelum ia
terjadi disebut qadha’.
Jika peristiwa itu sudah terjadi (dan terjadinya pasti sesuai dengan
pengetahuan Allah), maka disebut qadar.
Qadha’, yang ketika terjadi beralih nama jadi qadar, ada yang murni hak
Allah tanpa ada peran dari kehendak manusia sama sekali. Seperti musibah;
kematian, sakit, bencana alam; gempa bumi, tanah longsor, badai topan dan
banjir, dll.
Ada juga qadha’ yang terwujud dengan ciptaan Allah, tapi sebagai akibat
dari kehendak manusia. Seperti pekerjaan- pekerjaan yang muncul dari kemauan
manusia sendiri; berdagang, bertani, bersosial, salat, puasa, haji, dll.
So, apa hubungan hikmah ketiga ini dengan penjelasan tersebut? Berikut
jawabannya:
Misal ada orang menekuni suatu sebab dari sebab-sebab (perantara)
memperoleh rezeki. Ternyata pekerjaan itu tidak sesuai syariat. Jika ada orang
memperingatkan agar meninggalkan pekerjaan itu karena tidak sesuai syariat,
mungkin ia menentang dan berkata: “Bahwa mencari rezeki itu disyariatkan dan
merupakan tuntutan.
Dan bahwa Allah membenci hamba yang menganggur.” Boleh jadi pula ia akan
berkata: “Allah menempatkan aku pada status asbab. Karena itu aku harus
bekerja.”
Jawaban dari kejanggalan di atas tertuang dalam kalam hikmah ketiga yang
menjadi penyempurna dari hikmah kedua sebelumnya, yaitu
“Semangat yang kuat tidak akan dapat menembus pagar-pagar takdir”
Maksudnya, ketika Anda tenggelam dalam sarana-sarana rezeki yang tidak
sesuai syariat, maka Anda harus segera meninggalkannya. Jika syetan berkata
pada Anda: “Pekerjaan ini adalah sarana yang diperuntukkan Allah padamu untuk
sumber rezekimu. “Jika kamu menyumbat saluran rezekimu, maka dari mana kau bisa
memperoleh gantinya?” Katakanlah pada syetan itu: dari mana kamu tahu jika
profesi itu adalah sumber hakiki dari kenikmatan dan kehidupanku?
Bukankah Allah berfirman “Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki
Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.”? Jadi, rezeki yang akan menghampiri
Anda telah tertulis dalam ilmu Allah; ia telah masuk dalam qadha’-Nya.
Rezeki tidak akan datang kepada Anda melainkan yang telah tertulis untuk
Anda dalam ilmu-Nya yang tersembunyi dari kita. Inilah qadar Allah yang akan
pasti berkesesuaian dengan qadha’-Nya.
Adapun usaha keras Anda tak lebih dari sekadar ‘pelayan’ bagi rezeki yang
telah tertulis dalam qadha’ Allah dan ketetapan-Nya. Katakan pada syetan yang
mengganggu Anda: jika Allah telah menuliskan nasibku sebagai orang yang kaya
dengan rezeki melimpah pasti apa yang telah ditetapkan Allah untukku itu pasti
akan mengikutiku, apapun pekerjaan dan profesiku.
Sebaliknya jika Allah menetapkan bahwa aku hanya akan mendapatkan sedikit
rezeki dan harta yang terbatas tentu bagianku akan tetap sedikit sebagaimana
yang telah ditetapkan oleh Allah itu, kendati aku berusaha keras.
Hal demikian karana “semangat yang kuat tidak akan dapat menembus
pagar-pagar takdir”.
Semoga kini Anda boleh memahami kaitan antara hikmah ketiga ini dengan
hikmah yang sebelumnya. Tapi boleh jadi selanjutnya sementara orang timbul
pertanyaan susulan : “jika demikian, maka apa gunanya kita bekerja, jika usaha
kita pada hakikatnya tidak boleh menembus pagar-pagar takdir?” “apa gunanya
berkelana sampai ke ujung dunia, bekerja keras mencari rezeki?” Jawabannya
adalah, bahwa berkait perantara rezeki yang ada di alam ini, Anda berada pada
salah satu dari dua keadaan.
Keadaan pertama, ketika seluruh sebab dan perantara untuk memperoleh rezeki
jauh dari jangkauan Anda tak terjangkau oleh semangat dan usaha keras Anda.
Dengan demikian, Anda sedang berada pada posisi tajrId.
Dalam posisi seperti ini, yang diminta dari Anda adalah pasrah dan
menunggu. Sedangkan banyaknya ragam perantara atau usaha yang tidak baik hukumnya
sama saja dengan tidak ada jalan usaha.
Keadaan kedua, ketika seluruh perantara untuk peroleh rezeki yang sesuai
syariah melimpah di hadapan Anda. Jika demikian, maka langkah terbaik adalah
memanfaatkan peluang, sebab dan perantara tersebut namun bukan karena ia
(pekerjaan, sebab-sebab, sarana itu) punya kemampuan atau reaksi untuk
mempengaruhi qadha’ dan qadar Allah.
Tapi karena tatkala Allah memberi anda sebab-sebab dan peluang-peluang,
berarti Allah memerintahkan Anda untuk memanfaatkannya. Tapi kita harus yakin
bahwa yang memberi pengaruh pada hasil usaha bukan sebab-sebab dan perantara
itu, tapi kehendak dan ketetapan Allah.
Maka, kita bekerja karena perintah Allah, namun harus yakin bahwa kita ini
bergantung pada Allah, bukan pada pekerjaan itu. So jika pekerjaan kita tidak
halal, berarti itu tidak sesuai perintah. Rezeki kita bersumber dari Allah,
bukan dari pekerjaan.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan