Menurut Kalam Hikmah ke 4 , Imam Ibnu Athaillah Askandary :
“Istirahatkan
jiwamu dari pengaturan. Karena apa yang telah ditunaikan oleh selainmu, tak
perlu ditunaikan olehmu.”
Sebagian orang memandang hikmah keempat ini sebagai perlawanan bagi hikmah
terdahulu (hikmah kedua) yaitu “Kehendakmu
untuk tajrid tatkala Allah menempatkanmu pada status asbab, adalah syahwat yang
tersembunyi.” Sebab, hikmah kedua di atas jelas menyeru untuk berbuat,
berusaha, fungsikan sebab-sebab dan perantara yang disediakan Allah.
Tapi pada hikmah 4 ini, Ibnu Atha’illah memberi amaran kita untuk
mengistirahkan hati dan jiwa dari jerih payah usaha. Ibnu Atha’illah menasihati
agar tidak perlu bersusah diri dalam berusaha, sedang Allah telah membuat ia
beristirahat darinya.
Sebetulnya, tidak ada pertentangan pada dua hikmah di atas. Bahkan antara
keduanya ada keserasian dan keterpaduan. Ada perbedaan mendasar antara berusaha
melalui sebab-sebab dan perantara, dan pengaturan dalam hati terkait sebab-sebab
dan perantara itu.
Berusaha melalui sebab-sebab adalah aktiviti badani; seperti pergi ke pasar
untuk berdagang, pergi ke universitas untuk belajar, dll. Adapun “mengatur”
adalah aktiviti fikiran dan ketetapan akal. Artinya seseorang mereka-reka dalam
hatinya, bahwa dengan usaha yang ia lakukan melalui segenap sebab dan perantara
itu ia akan menghasilkan laba dan kesuksesan. Rekaan-rekaan dari hasil akhir
ini ia tanamkan di dalam hatinya.
Perhatikanlah, di sini Ibnu Atha’illah menggunakan ungkapan “arih nafsaka”
(istirahatkan hatimu). Beliau tidak menggunakan ungkapan “arih jismaka”
(istirahatkan tubuhmu), atau “ab‘id jismaka” (hindarkan tubuhmu). Jadi,
“bekerja” muncul dari jasmani, dan ini diperintah. Adapun “mengatur” muncul
dari hati dan pikiran, dan itu yang dilarang. Maka, hikmah ini telah
mengajarkan hal prinsip yang sangat kita butuhkan dalam mengarungi kehidupan
ini.
Misal, kita berangkat ke pasar, lalu bekerja seperti halnya orang lain.
Kita fungsikan segenap sebab, perantara, dan peluang. Lalu jika datang
seseorang bertanya kepadanya: “Apa yang ada di balik semangat Anda dalam
bekerja ini?” Maka ia menjawab: “adalah kewajiban yang diembankan oleh Allah
padaku. Aku memenuhi kewajiban itu sebagaimana mestinya. “Lalu mengenai apa
yang akan diperbuat Allah selepas tertunaikannya kewajiban itu, tentu itu
kembali pada qadha’ Allah. Inilah konsep bekerja dan berkeyakinan Islami yang
dituturkan Ibnu Atha’illah, yaitu bekerja melalui sebab-sebab dan perantara
yang telah ada sesuai aturan syariat, setelah itu menyerahkan sepenuhnya kepada
Allah. Karena memang kita hanya diminta berusaha, sebab sebatas itulah
kapasitas dan kemampuan kita.
Allah tak membebani
kita dgn apa yang tidak kita mampu. Maka Allah melarang kita memikirkan hasil
dari apa yang kita kerjakan.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan