“Dia
(Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta
kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa).
atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran lalu pengajaran itu memberi manfa’at
kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya.
Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan
pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya.
Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Rabb itu adalah suatu
peringatan, maka barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya.”
(‘Abasa 1-2)
Menurut beberapa orang Ahli tafsir, 7
ayat-ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Ibnu Ummi Maktum.
Abdullah Ibnu Ummi Maktum radhiallâhu ‘anhu
Siapakah dia dan darimana asal-usulnya?
Apakah ia mempunyai kedudukan sosial dalam kabilah Arab atau tengah-tengah kaum
Quraisy? Apakah ia tergolong salah seorang penyair tenar yan suaranya
berkumandang di Suuq ‘Ukazh, mendeklamasikan kepahlawanan dan keutamaan suatu
kabilah, lalu suaranya itu terdengar ke sana kemari, menjadi pembicaraan orang
ramai? Atau, barangkali ia seorang ahli perang yang berani dan pahlawan yang
tak terkalahkan di medan laga, yang dijagokan para penyair dalam syairnya?
Atau, ia termasuk salah seorang tokoh yang berpikiran cerdik dan jenius, suara
dan caranya diterima serta dihargai para tokoh Arab dan penguasanya?
Ibnu Ummi Maktum radhiallaahu ‘anhu
bukanlah salah seorang dari mereka, bahkan namanya pun belum pernah dikenal
orang sebelum Islam. Apalagi orang akan mengindahkan suaranya. Ia seorang awam
di kota Mekah, hidup untuk diri dan bersama dirinya. Suaranya tidak pernah
didengar orang dan rupanya tidak pernah dikenal orang.
Malah, namanya pun ada yang
memperselisihkan. Penduduk kota Madinah berpendapat bahwa namanya adalah
Abdullah Ibnu Ummi Maktum, tetapi orang Iraq berpendapat bahwa namanya adalah
‘Amru bin Ummi Maktum. Walaupun demikian, mereka semua sepakat bahwa nama
ibunya adalah Atikah binti Abdullah bin Ma’ish. Dia adalah putera dari bibi
Khadijah binti Khuwalid.
Matanya buta sejak kecil, penduduk kota
Mekah mengenalnya sebagai seorang yang rajin mencari rezeki dan belajar ilmu
pengetahuan. Meskipun ia seorang tunanetra , namun semangatnya bergelora untuk
belajar dan mengetahui segala yang didengarnya. Ia menggunakan pendengarannya
sebagai pengganti matanya, apa yang didengarnya tidak dilupakan lagi sehingga
ia mampu mengutarakan kembali apa yang pernah didengarnya dengan baik sekali.
Dia mendengar orang-orang mustadh’afin dan
budak-budak (hamba sahaya) di kota Mekah bersembunyi-sembunyi pergi ke Darul
Arqam untuk mendengarkan berita-berita dari langit yang dibawakan Muhammad
al-Amin. Ia merasa bahwa di Mekah terjadi pergolakan yang lain dari biasanya.
Perang urat saraf mulai tampak di permukaan ; wahyu yang disampaikan kepada
Muhammad al-Amin itu menganjurkan persamaan dan persaudaraan antar sesama umat
manusia. Kaum Mustadh’afin dan para hamba sahaya tertarik akan semua seruan
itu, sedangkan tohok-tokoh Quraisy berusaha keras mempertahankan system
kehidupan Jahiliah, tanpa mengindahkan perkembangan zaman dan tuntutan hati nurani
masyarakat umum.
Ibnu Ummi Maktum memutuskan untuk pergi
sendiri ke majelis Ibnul Arqam untuk mendengarkan dan meyakini berita yang
sedang ramai diperbincangkan orang itu. Ia mengambil tongkatnya dan mengayunkan
langkahnya menuju kesana. Ternyata apa yang didengarnya lebih hebat dari apa
yang diberitakan orang; rasanya suara yang didengarnya berhasil membuka pintu
hatinya dan menimbulkan rasa ketenangan serta kedamaian dalam kalbunya. Kini,
ia tidak takut dan gentar terhadap seluruh kekuatan bumi, sesudah ia
mendengarkan kalamullah yang diwahyukan kepada Muhammad al-Amin dengan
perantaraan Malaikat Jibril, untuk mengukuhkan tauhid kepada Allah al-Khaliq,
untuk mempersamakan antar umat manusia, untuk menegakkan keadilan antar
berbagai lapisan masyarakat, dan untuk mengumandangkan rasa persaudaraan serta
kedamaian ke seluruh pelosok dunia yang sedang dilanda kezaliman dan kesesatan.
Ibnu Ummi Maktum mengulurkan tangannya
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan ke-Islamannya, keluar
dari lingkungan Jahiliah, dan masuk kedalam barisan kaum beriman, menyatakan
janji kepada Allah Ta’ala dan kepada Rasul-Nya untuk mengorbankan
segala-segala, termasuk nyawanya demi tegaknya agama Islam. Semangatnya untuk
mengetahui agama itu lebih banyak dan mendalam, tidak tertahankan lagi; di saat
ada kesempatan bertanya, ia mengajukan pertanyaan tentang berbagai persoalan
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam . Apa yang didengarnya dicerna
dan diresapi dengan sebaik-baiknya.
Kaum Quraisy tidak mampu menumpas dakwah
langit itu. Akhirnya, mereka mengubah taktik dengan memperlambat gerak dan
mempersempit penyebarannya dengan mengejar-ngejar dan memaksa para pengikutnya
yang tidak berdaya dan tidak bersenajta. Akhirnya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam . Memberikan izin kepada para pengikutnya pergi berhijrah
dengan membawaserta agamanya. Di antara para Muhajirin itu terdapat Ibnu Ummi
Maktum. Para sejarawan muslim berbeda pendapat tentang sejarah hijrahnya itu.
Ada yang menetapkan bahwa ia hijrah sesudah perang Badar dan tinggal di Darul
Qurra’. Ada pula yang mengatakan bahwa ia hijrah sebelum Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam tiba di Madinah, sebelum perang Badar.
Saya lebih condong
menerima riwayat yang terakhir ini, seperti yang diutarakan Abu Ishaq dari
al-Barra’ bin Azib, ‘Pada waktu itu, orang yang pertama hijrah ke negeri kami
ialah Mush’ab bin Umair dari bani Abdid-Dar bin Qushai. Kami tanyakan kepadanya
, ‘Apa kabar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ?’ Ia menjawab , ‘Beliau
baik-baik saja di Mekah, sedang para sahabat-nya akan segera menyusulku.’
Sesudah itu datang Abdullah Ibnu Ummi Maktum yang tunanetra itu. Kami tanyakan
pula kepadanya, ‘Apa kabar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam .?’ Ia
menjawab ‘Mereka segera akan menyusulku.'”
Ia mulai melakukan tugasnya yang sejak lama
sudah dipersiapkannya dengan mengajukan banyak pertanyaan kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu mengajarkan dasar-dasar agama Islam,
mengajar penduduk kota Madinah menghafal ayat-ayat al-Qur’anul-Karim, dan
menyiapkan hati serta jiwa masyarakat menyambut kedatangan Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wasallam . Tak lama setelah itu, sampailah berita bahwa
Rasulullah akan segera datang di Madinah. Ibnu Ummi Maktum bersama para
penyambut lainnya berderet-deret di tepi jalan menyambut kedatangan kekasih
Allah yang sudah lama tidak terdengar suara dan pelajarannya.
Menurut sebagian perawi, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di rumah Bani an-Najjar. Beliau lalu
membangun masjidnya untuk dijadikan sekolah terbesar bagi generasi yang pernah
dikenal umat manusia, yang mengemban petunjuk dan Kitab Allah. Ibnu Ummi Maktum
senantiasa menyertai kegiatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam . Ia ikut
aktif dalam pembangunan masjidnya, tidak pernah absen dalam mengikuti pelajaran
yang diberikannya, selalu shalat jama’ah di belakang beliau, dan hampir tidak
ada ayat yang turun di Madinah yang tidak diketahuinya. Malah, ia puaskan
telinganya dalam mendengarkan semua sabda Rasulullah dan pengarahan langit yang
dikirimkan Allah Ta’ala kepada hamba-Nya, untuk memancarkan persamaan,
kedamaian, dan keadilan di seluruh jagat raya ini.
Menurut Anas bin Malik radhiallaahu ‘anhu,
“Pada suatu hari, Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam . Disana ada Ibnu ummi Maktum; ia lalu bertanya , ‘Sejak kapan kau
tidak dapat melihat?’
‘Sejak kanak-kanak.’
‘Allah Ta’ala berfirman, ‘Apabila Aku
mengambil indra penglihatan hamba-Ku, tiada imbalan baginya selain surga.”
‘Selamat bagimu, wahai Ibnu Ummi Maktum!
Engkau telah berhasil menjadi sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dan mendapat berita gembira masuk surga, langsung dari malaikat Jibril.'”
Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam menjumpainya, beliau suka berucap, “Selamat datang, wahai orang yang
dititipkan Tuhanku untuk diperlakukan dengan baik!”
Apabila Bilal radhiallaahu ‘anhu tidak ada,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam suka sekali menyuruhnya mengumandangkan
azan shalat lima waktu karena suaranya merdu dan lembut, tetapi kalau Bilal
hadir, ia yang adzan dan Ibnu Ummi Maktum yang iqamat. Pada bulan Ramadhan,
Bilal radhiallaahu ‘anhu azan untuk mengingatkan orang akan waktu makan-minum
sahur, tetapi kalau terdengar azan Ibnu Ummi Maktum, makan-minum harus dihentikan;
itu tanda waktu imsak sudah tiba.
Menurut Abdullah bin Umar radhiallaahu
‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Apabila bilal
azan pada malam hari, maka kalian boleh makan dan minum hingga mendengar
azannya Ibnu Ummi Maktum!”
Ibnu Ummi Maktum termasuk sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang sangat mencintai Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam . Di hatinya, beliau lebih dari sanak keluarga,
bahkan dari diri pribadinya sendiri. Mereka semua, termasuk Ibnu Ummi Maktum,
sanggup menahan derita serta cerca orang terhadap diri dan sanak keluarganya,
bahkan bisa memaafkan hal itu, tetapi tidak bisa menerima dan memaafkan hal itu
bila ditujukan kepada Rasulullah.
Ibnu Ummi Maktum pernah tinggal di rumah
seorang wanita Yahudi, bibi seorang Anshar. Wanita itu baik budi dan melayani
makan-minumnya, tetapi mulutnya tidak pernah diam menyerang orang-orang yang
paling dicintai Ibnu Ummi Maktum. Ia tidak sabar mendengar ejekan dan cercaan
itu. Ia berusaha beberapa kali menegurnya, tetapi teguran dan peringatannya itu
tidak diindahkan. Terpaksalah ia memukulnya. Ternyata pukulan itu mematikan.
Hal ini dilaporkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sesudah ia
dihadapkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya,
“Mengapa kau bertindak demikian?”
“Wahai Rasulullah! Sungguh, ia seorang yang
baik budi terhadap diriku, namun ia senantiasa mencela dan mencerca Allah dan
Rasul-Nya, maka terpaksalah aku memukulnya untuk menghentikannya, namun kiranya
ajalnya sudah sampai.”
“Allah telah menjauhkannya dan ia telah
membatalkan darahnya?????.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
sering mengangkatnya sebagai wakil apabila beliau keluar meninggalkan Madinah
dalam peperangan, umpamanya ketika pergi menyerang Kabilah Banu Sulaim dan
Kabilah Ghathafan. Ia menjadi Imam jamaah dan Khatib shalat Jumat. Begitu pula
ketika Rasulullah pergi berperang ke Uhud, Hamra’al-Asad, Bani an-Nadhir,
Khandaq, Bani Quraizah, Bani Lahyan, al-Ghabah, Dzi Qirad, dan Umrah
al-Hudaibiyah.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
terlibat dalam penyerangan ofensif sebanyak tiga belas kali; beliau selalu
mengangkat Ibnu Ummi Maktum sebagai pejabat untuk menggantikannya di Madinah,
mengimami orang shalat jamaah, dan lain-lain, padahal ia seorang tunanetra,”
demikian ucap asy-Sya’bi.
Ia mengikuti kehidupan sosial dan politik
kaum muslimin, mengikuti kegiatan berbagai perutusan yang pergi dan datang
menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam . Ia sering sekali berpuasa
dan shalat malam. Hampir seluruh masa hidupnya diisi dengan peribadatan atau
ikut berperang dalam kegiatan kaum muslimin. Kemudian, turunlah firman Allah,
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk
(yang tidak terut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang
berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan
orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk
satu derajat…” (Q.,. 4/an-Nisaa': 95)
Jadi, di sana masih terdapat lapangan
peribadahan yang ganjarannya lebih utama dari ganjaran yang mungkin
diperolehnya. Ada suatu taqarrub yang dilakukan orang, yang lebih mendekatkan
orang itu kepada Allah Ta’ala lebih dari dirinya. Ia lalu merintih menangisi
nasibnya kepada Allah Ta’ala, “Ya Allah, Engkau mengujiku dengan kebutaan. Apa
yang dapat aku lakukan selain mengharap rahmatMu yang meliputi segala-galanya.”
Lalu turunlah firman-Nya,.. “yang tidak mempunyai uzur…,” sebagai pelengkap.
Menurut Ibnu Abbas radhiallaahu ‘anhu,
“Ketika firman Allah, ‘Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut
berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yagn berjihad di jalan
Allah dengan harta dan jiwa mereka…,’ diturunkan, Abdullah bin Ummi Maktum yang
buta (tunanetra) itu datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ,
lalu bertanya, ‘Wahi Rasulullah, Allah telah menurunkan keutamaan jihad fi
sabilillah ; seperti yang baginda ketahui, aku ini seorang tunanetra, tidak
bisa ikut berjihad, apakah kepadaku diberi izin tidak ikut berjihad?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
menjawab, ‘Aku belum mendapat keterangan mengenai dirimu dan orang-orang yang
senasib denganmu.’
Ibnu Ummi Maktum lalu menengadahkan
wajahnya dan mengangkat kedua tangannya seraya berseru, ‘Ya Allah, aku memohon
pertimbangan-Mu mengenai pengelihatanku ini.’ Lalu, turunlah ayat, ‘Tidak sama
antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunya uzur
dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka…'”
Izin sudah ia peroleh dari Allah Ta’ala;
apakah ia memanfaatkan izin itu? akan mengikuti pasukan Islam yang menuju ke
al-Qadisiyah. Ia ingin memperoleh ganjaran seorang mujahid. Ia memohon kepada
komandan perang, “Hai kekasih Allah, hai sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wasallam , Hai pahlawan perang, serahkan bendera perang itu kepadaku. Aku
seorang tunanetra, tak mungkin bisa lari. Nanti tempatkanlah aku diantara kedua
pasukan yang berperang.”
Menurut Qotadah, Anas bin Malik
radhiallaahu ‘anhu berkata: “dalam perang al-Qadisiyah, Abdullah bin Ummi
Maktum memegang bendera hitam dan memakai baju besi.”
Ia lalu kembali ke Madinah dan meninggal
dunia di sana. Semoga Allah Ta’ala merahmatinya, .
Sebab turunnya Ayat
Menurut Ibnu Abbas radhiallaahu ‘anhu :
“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang menerima kedatangan
Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal, dan al-Abbas bin Abdul Muththalib, pada waktu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berusaha keras menawarkan Islam kepada
mereka supaya mereka beriman, tiba-tiba datanglah seorang tunanetra yang dikenal
dengan panggilan Abdullan bin Ummi Maktum. Ia minta kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam supaya kepadanya dibacakan ayat-ayat Al-Qur’anul
Karim, “Ya Rasulullah, ajarkan kepadaku apa yang diajarkan Allah kepadamu!”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
lalu mengerutkan mukanya dan memalingkan pandangannya, kesal kepada omongannya.
Ia lalu meneruskan pembicaraannya melayani tamu-tamunya. Sesudah pertemuan itu
usai, beliau terus pergi dan keluarganya meninggalkan tempat itu, kemudian
turunlah ayat, ” ‘Abasa warawalla” .
Sesudah ayat-ayat itu turun, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menghormati Ibnu Ummi Maktum. Kalau ia
datang, selalu ditanyakan,” Apa keperluanmu..? Apa perlu bantuanku?” Kalau ia
hendak pergi, selalulah ditanyakan,” Apakah kau memerlukan sesuatu?”
Seorang miskin yang tunanetra itu datang
menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam seperti biasanya ingin belajar
dan memperdalam agama Allah Ta’ala. Kali ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam sedang sibuk melayani beberapa tokoh Quraisy, dengan harapan kalau
mereka masuk Islam maka akan meringankan tugasnya dan akan memudahkan
perkembangan agama itu karena merekalah yang selalu merintangi perkembangan
Islam dengan harta, kedudukan, dan wibawanya. Mereka berusaha keras
menghalang-halangi orang dari agama Islam dan menyempitkan ruang gerak dakwah
dengan berbagai cara sehingga hampir tidak berkembang di Mekah. Orang-orang di
luar kota Mekah sudah tentu sulit menerima agama baru yang ditentang keras oleh
orang-orang yang paling dekat dengan penganjurnya itu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
menyibukkan diri dengan orang-orang itu bukan demi kepentingan pribadinya, tapi
demi kepentingan pengembangan Islam dan kepentingan kaum muslimin juga. Kalau
mereka masuk Islam maka diharapkan semua rintangan yang membentang di hadapan
para dai dan dakwah Islam bisa disingkirkan. Ibnu Ummi Maktum mengulang-ngulang
harapannya itu sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam makin kesal dan
gusar karena ia telah mengganggu pembicaraannya dengan para tamunya itu. Rasa
benci nampak diwajahnya dengan mengerutkan mukanya dan juga memalingkan
pandangannya.
Disini, Allah berfirman dengan jelas dan tegas, dan mencela sikap
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam seorang yang memiliki akhlak yang luhur.
Firman-Nya,
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling,
karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin
membersihkan dirinya (dari dosa). atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran lalu
pengajaran itu memberi manfa’at kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya
serba cukup, maka kamu melayaninya. (Q.,. ‘Abasa: 1-6)
Sejak itulah, kata ats-Tsauri, kalau
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melihat Ibnu Ummi Maktum datang, beliau
menggelar baju luarnya seraya bersabda, “Selamat datang sahabat, yang kau
dicela Tuhanku karenannya! Apa kau memerlukan sesuatu?”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan