Suatu
ketika, seseorang meminta Sayyidina Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu
‘anhuma agar memintakan perlindungan untuk dirinya kepada Sayyidina
Ali Radhiyallahu
‘anhu. Sayyidina Ali Radhiyallahu ‘anhu pun mengabulkannya.
Setelah tercapai maksudnya, orang itu mengirimkan 40.000 dirham kepada Sayyidina Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhuma karena nazar. Sayyidina Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhuma mengembalikannya, seraya berkata, “Kami tidak menjual kebaikan.” Seseorang juga pernah memberinya hadiah 2.000 dirham karena nazar. Ia langsung membagikannya saat itu juga sampai habis.
Ada seorang pedagang menjual gula dalam jumlah banyak di pasar. Ia sangat sedih karena tidak seorang pun yang membelinya. Melihat keadaan itu, Sayyidina Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhuma menyuruh pelayannya membeli semua gula, kemudian membagikannya kepada orang-orang secara cuma-cuma.
Setiap malam, ia menjamu tamu yang datang ke kabilahnya dan mencukupi semua hajatnya.
Suatu ketka, Sayyidina Zubair Radhiyallahu ‘anhu menyertai suatu peperngan. Ia berwasiat kepada anaknya, Sayyidina Abdullah bin Zubair Radhiyallahu ‘anhuma, “Aku merasa hari ini akan mati syahid. Hendaknya kamu melunasi hutang-hutangku dan menyelesaikan urusan-urusanku.” Setelah berwasiat itu, ia syahid hari itu pula. Ketika Sayyidina Abdullah bin Zubair Radhiyallahu ‘anhuma menghitung seluruh hutang ayahnya, ternyata semua berjumlah 2.200.000 dirham. Ia memiliki hutang yang begitu banyak karena ia terkenal dengan sifat amanahnya, sehingga banyak orang yang menitipkan amanah kepada Sayyidina Zubair Radhiyallahu ‘anhu, tetapi ia selalu berkata kepada orang yang menitipkan itu, “Aku tidak memiliki tempat untuk menyimpan harta. Jadi, titipan kalian akan aku anggap sebagai hutangku kepada kalian. Jika kalian memerlukannya, maka ambillah dariku.” Kemudian ia menggunakan uang itu untuk berinfak.
Sayyidina Zubair Radhiyallahu ‘anhu juga berwasiat kepada Sayyidina Abdullah bin Zubair Radhiyallahu ‘anhuma, “Jika kamu mengalami kesulitan membayar hutangku, mintalah bantuan kepada Tuanku.” Karena Sayyidina Abdullah bin Zubair Radhiyallahu ‘anhuma merasa tidak paham, maka ia bertanya, “Siapakah Tuanmu, ayah?” Ia menjawab, “Allah.” Akhirnya Sayyidina Abdullah bin Zubair Radhiyallahu ‘anhuma dapat melunasi hutang-hutang ayahnya. Sayyidina Abdullah bin Zubair Radhiyallahu ‘anhuma bercerita, “Jika datang suatu kesulitan, aku berdoa, ‘Wahai Tuannya Zubair, masalah ini dan itu belum selesai.’ Kemudian dengan berkah doa itu, masalah-masalah tersebut selesai dengan mudah.”
Selanjutnya ia bercerita, “Suatu ketika, aku berkata kepada Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhuma, ‘Dalam daftar hutang ayahku, engkau berhutang sejuta dirham kepada ayahku.’ Sayyidina Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhuma menjawab, ‘Jika demikian, kapan saja engkau mau, ambillah uangnya!’ Namun, setelah aku teliti kembali catatannya, ternyata aku telah melakukan kesalahan.
Aku segera kembali kepada Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhuma. Aku berkata, ‘Ternyata ayahku yang berhutang kepadamu.’ Sayyidina Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhuma menjawab, ‘Tidak usah dibayar, aku telah menghalalkannya.’ Aku menyahut, ‘Tidak! Aku harus membayarnya.’ Sayyidina Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhuma menjawab, ‘Jika demikian, bayarlah jika ada kemudahan.’ Aku berkata, ‘Ambillah sebidang tanahku sebagai pembayarannya!’
Saat itu, banyak tanah yang aku dapatkan dari rampasan perang. Sayyidina Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhuma berkata, ‘Baiklah, aku menerimanya.’ Padahal aku telah memberinya tanah gersang, bahkan air pun tidak ada, tetapi ia menerimanya begitu saja. Ia berkata kepada hamba sahayanya, ‘Hamparkanlah sajadah di atas tanah ini!’ Setelah hamba sahanyanya menghamparkan sajadahnya, ia mengerjakan shalat dua rakaat dengan sujud yang sangat lama. Selesai shalat, ia menyuruh hamba sahayanya agar menggali tempat shalat tersebut. Ia menggalinya, dan memancarlah sebuah mata air yang sangat deras dari tempat itu.”
Setelah tercapai maksudnya, orang itu mengirimkan 40.000 dirham kepada Sayyidina Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhuma karena nazar. Sayyidina Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhuma mengembalikannya, seraya berkata, “Kami tidak menjual kebaikan.” Seseorang juga pernah memberinya hadiah 2.000 dirham karena nazar. Ia langsung membagikannya saat itu juga sampai habis.
Ada seorang pedagang menjual gula dalam jumlah banyak di pasar. Ia sangat sedih karena tidak seorang pun yang membelinya. Melihat keadaan itu, Sayyidina Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhuma menyuruh pelayannya membeli semua gula, kemudian membagikannya kepada orang-orang secara cuma-cuma.
Setiap malam, ia menjamu tamu yang datang ke kabilahnya dan mencukupi semua hajatnya.
Suatu ketka, Sayyidina Zubair Radhiyallahu ‘anhu menyertai suatu peperngan. Ia berwasiat kepada anaknya, Sayyidina Abdullah bin Zubair Radhiyallahu ‘anhuma, “Aku merasa hari ini akan mati syahid. Hendaknya kamu melunasi hutang-hutangku dan menyelesaikan urusan-urusanku.” Setelah berwasiat itu, ia syahid hari itu pula. Ketika Sayyidina Abdullah bin Zubair Radhiyallahu ‘anhuma menghitung seluruh hutang ayahnya, ternyata semua berjumlah 2.200.000 dirham. Ia memiliki hutang yang begitu banyak karena ia terkenal dengan sifat amanahnya, sehingga banyak orang yang menitipkan amanah kepada Sayyidina Zubair Radhiyallahu ‘anhu, tetapi ia selalu berkata kepada orang yang menitipkan itu, “Aku tidak memiliki tempat untuk menyimpan harta. Jadi, titipan kalian akan aku anggap sebagai hutangku kepada kalian. Jika kalian memerlukannya, maka ambillah dariku.” Kemudian ia menggunakan uang itu untuk berinfak.
Sayyidina Zubair Radhiyallahu ‘anhu juga berwasiat kepada Sayyidina Abdullah bin Zubair Radhiyallahu ‘anhuma, “Jika kamu mengalami kesulitan membayar hutangku, mintalah bantuan kepada Tuanku.” Karena Sayyidina Abdullah bin Zubair Radhiyallahu ‘anhuma merasa tidak paham, maka ia bertanya, “Siapakah Tuanmu, ayah?” Ia menjawab, “Allah.” Akhirnya Sayyidina Abdullah bin Zubair Radhiyallahu ‘anhuma dapat melunasi hutang-hutang ayahnya. Sayyidina Abdullah bin Zubair Radhiyallahu ‘anhuma bercerita, “Jika datang suatu kesulitan, aku berdoa, ‘Wahai Tuannya Zubair, masalah ini dan itu belum selesai.’ Kemudian dengan berkah doa itu, masalah-masalah tersebut selesai dengan mudah.”
Selanjutnya ia bercerita, “Suatu ketika, aku berkata kepada Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhuma, ‘Dalam daftar hutang ayahku, engkau berhutang sejuta dirham kepada ayahku.’ Sayyidina Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhuma menjawab, ‘Jika demikian, kapan saja engkau mau, ambillah uangnya!’ Namun, setelah aku teliti kembali catatannya, ternyata aku telah melakukan kesalahan.
Aku segera kembali kepada Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhuma. Aku berkata, ‘Ternyata ayahku yang berhutang kepadamu.’ Sayyidina Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhuma menjawab, ‘Tidak usah dibayar, aku telah menghalalkannya.’ Aku menyahut, ‘Tidak! Aku harus membayarnya.’ Sayyidina Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhuma menjawab, ‘Jika demikian, bayarlah jika ada kemudahan.’ Aku berkata, ‘Ambillah sebidang tanahku sebagai pembayarannya!’
Saat itu, banyak tanah yang aku dapatkan dari rampasan perang. Sayyidina Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhuma berkata, ‘Baiklah, aku menerimanya.’ Padahal aku telah memberinya tanah gersang, bahkan air pun tidak ada, tetapi ia menerimanya begitu saja. Ia berkata kepada hamba sahayanya, ‘Hamparkanlah sajadah di atas tanah ini!’ Setelah hamba sahanyanya menghamparkan sajadahnya, ia mengerjakan shalat dua rakaat dengan sujud yang sangat lama. Selesai shalat, ia menyuruh hamba sahayanya agar menggali tempat shalat tersebut. Ia menggalinya, dan memancarlah sebuah mata air yang sangat deras dari tempat itu.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan