Yahya bin
Mu'adz mempunyai seorang saudara yang pergi ke Mekkah dan kemudian bertempat
tinggal di dekat Ka'bah. Saudara-nya itu mengirim surat kepada Yahya.
"Ada
tiga hal yang kucita-citakan. Dua di antaranya telah terlaksana. Tinggal satu
lagi yang belum tercapai. Doakanlah kepada Allah semoga Dia berkenan
menyempurnakan keinginanku yang terakhir ini. Keinginanku yang pertama adalah
melewatkan hari-hari tuaku di suatu tempat yang paling suci di atas dunia ini
dan saat ini aku telah berada di tanah suci, suatu tempat termulia dari segala
tempat. Keinginanku yang kedua adalah memiliki seorang hamba untuk merawat
diriku dan menyediakan air untuk bersuci dan kini Allah telah menganugerahkan
seorang hamba perempuan yang baik budinya. Keinginanku yang ketiga adalah untuk
bertemu denganmu sebelum ajalku. Doakanlah kepada Allah, semoga Dia mengabulkan
keinginanku ini".
Yahya
menjawab surat saudaranya itu :
"Berkenaan
dengan isi suratmu bahwa engkau menginginkan tempat terbaik di atas dunia,
hendaklah engkau menjadi yang terbaik di antara semua manusia dan setelah itu
tinggallah di sembarang tempat yang engkau kehendaki. Suatu tempat menjadi
mulia karena orang-orang yang menempatinya, bukan sebaliknya.
Mengenai
keinginanmu akan seorang hamba yang pada saat ini telah engkau dapatkan, jika
engkau adalah seorang manusia yang benar dan berbakti, niscaya engkau tidak
mengambil hamba Allah menjadi hambamu sendiri, karena menghalangi dirinya untuk
mengabdi kepada Allah dan membuatnya sibuk untuk mengabdi kepadamu. Engkau
sendirilah yang harus menjadi hamba. Engkau ingin menjadi seorang yang
dipertuan padahal yang patut dipertuan hanya-lah Allah. Menghambakan diri
adalah kewajiban manusia. Seorang hamba Allah haruslah menjadi seorang hamba.
Jika seorang hamba Allah menghasratkan kedudukan yang hanya pantas dimiliki
Allah, maka ia tak obahnya Fir aun.
Terakhir
sekali, tentang keinginanmu bertemu denganku, sesungguhnya jika engkau
benar-benar memikirkan Allah, niscaya kau takkan teringat kepadaku. Karena itu,
mengabdilah kepada Allah sehingga sedikit pun tiada ingatan kepada saudaramu di
dalam pikiranmu. Dalam pengabdian itu kita harus rela untuk mengorbankan putera
sendiri; apalagi seorang saudara! Jika engkau telah menemukan Dia, apakah
artinya aku bagimu? Jika engkau belum menemukan Dia, apakah paedah yang dapat
kau petik dari perjumpaan kita?".
Tiada ulasan:
Catat Ulasan