Jiwa manusia sendiri memang memiliki
dua sisi.
Satu sisi menuju alam ruh (alam
tinggi, alamu’ a’la) dan sisi lain menuju alam bawah (rendah, alam materi) di mana dia
diperintah agar memelihara dua sisi yang saling berseberangan ini. Dari sisi
yang menuju alam tinggi ia mirip dengan malaikat dalam berbagai keutamaan dan
ketekunan beribadat kepada Tuhannya.
Sedangkan sisi yang menuju alam
bawah membuatnya
mampu berinteraksi dengan alam bawah yang terformulasi dari unsur materi (alam khalq).
Penguasaan jiwa terhadap alam materi tersebut adalah melalui tubuh fisik
(jism).
Berbagai
alam tersebut memiliki tuntutannya masing-masing, yang sering saling bertolak
belakang.
Inilah yang
membuat jiwa manusia cenderung bingung dalam menjalani kehidupannya di dunia.
Masing-masing ingin dipenuhi secara adil sesuai dengan hukum keadilan Tuhan.
Karena itu
agar manusia pada akhirnya tetap dapat- cenderung pada sisi yang tinggi, maka
Allah memperkuatnya dengan akal agar dapat menerima apa yang disampaikan dari
para malaikat dan Rasul-Nya, di samping juga sanggup memahami apa yang
dikehendaki Tuhannya. Inilah kebijakan Tuhan (hikmah Ilahiyyah) yang
menjadikan manusia itu istimewa.
Dua sisi
tersebut kemudian membuat jiwa (an-nafs) memiliki dua kekuatan dasar,
yaitu amaliah dan ilmiah.
Kekuatan amaliah terkait dengan sisi yang menuju
alam bawah yang sebagian besar bersifat inderawi,sedang kekuatan ilmiah terkait dengan sisi
yang menuju alam atas karena dari sisi inilah turunnya pengetahuan yang tak
terbatas.
Terkait
dengan hal tersebut, jiwa hewani sesungguhnya adalah mewakili jiwa pada sisi
yang menghadap alam bawah di mana dengan jiwa hewani tersebut manusia dan
binatang dapat menghasilkan dan mensistemkan suatu gerakan atau perbuatan.
Hanya saja
pada binatang, mereka bergerak dan berbuat tanpa pengetahuan tentang sisi
bagian atas sehingga binatang tidak mengerti tentang apa yang menjadi dasar
gerakan (perbuatan) mereka.
Perbuatan
dan karya cipta mereka sepenuhnya dilakukan atas dasar wahyu yang diterima dari
Allah swt.
“Dan Rabbmu mewahyukan kepada seekor
lebah: Buatlah sarang-sarang di gunung-gunung, di pohon, dan di tempat-tempat
yang dibikin (manusia).” (An-Nahl [16]: 68)
Sementara
manusia bergerak dan berbuat atas dasar pengetahuan yang didapatnya.
Bila sisi
jiwa yang menghadap alam atas mampu menerima pengetahuan-Nya, maka dia akan
berbuat dan berkarya atas dasar ilmu-ilmu tinggi itu.
Bila tidak,
maka manusia juga akan tetap berbuat, tapi atas dasar ilmu-ilmu rendah
(pengetahuan duniawi).
Karena itu
Al-Qur’an sering menyindir mereka yang tak memiliki pengetahuan tentang
alam-alam atas sebagai tak ubahnya dengan binatang, bahkan lebih rendah dari
itu. Mereka tidak mengenal malaikat dan Tuhan penciptanya, tapi sangat mengenal
dunianya.
“Atau apakah engkau mengira bahwa
kebanyakan mereka (mampu) mendengar atau menggunakan ‘aqlnya?. Mereka
itu tiada lain bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesatlah jalan mereka.”
(QS. Al-Furqan:44).
Manusia
dikatakan lebih sesat dari binatang karena meski binatang tak memiliki
pengetahuan tentang alam-alam atas namun binatang berada dalam ketaatan yang
mutlak kepada Sang Penciptanya.
Mereka
mendengar, melihat dan mengetahui kehendak Allah SWT atas diri mereka.
Mereka tak
akan pernah bergerak kecuali atas dasar ilmu Allah SWT yang sudah tercatat
dalam suatu kitab, di mana Dia tak akan keliru atau lupa.
Sedangkan
manusia yang tak berpengetahuan tentang alam-alam atas, maka mereka justru
terputus dari ketaatan kepada kehendak Allah SWT karena dengan apa mereka
memahami kehendak Allah SWT atas diri mereka? Kalaupun mereka membangun suatu
‘ketaatan’, maka itu adalah atas dasar persangkaan yang dibangun di bawah
kendalian hawa nafsu dan syahwat.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan