Adab menurut
arti bahasa adalah kesopanan, tingkah laku yang pantas, tingkah laku yang baik,
kehalusan budi dan tata susila. Adab juga bisa berarti pengajaran dan
pendidikan yang baik sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
“Sesungguhnya Allah
‘azawajalla telah mendidikku dengan adab yang baik (dan jadilah
pendidikan adab ku istimewa)” (HR. Ibnu Mas’ud)
Prof. Dr.
Jamaan Nur dalam bukunya “Tasawuf dan Tarekat Naqasyabandiyah Pimpinan Prof.
Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya” memberikan pengertian adab dalam Islam
sebagai tata cara yang baik atau etika dalam melaksanakan suatu pekerjaan, baik
ibadat maupun muamalat. Karena itu ulama menggariskan adab-adab tertentu dalam
melakukan suatu pekerjaan atau melakukan kegiatan sesuai dengan tuntunan
al-Qur’an dan al-Hadist. Adab-adab tertentu itu misalnya adalah adab memberi
salam, adab minta izin memasuki sebuah rumah, adab berjabat tangan, adab hendak
tidur, adab bangun tidur, adab duduk, berbaring dan berjalan, adab bersin dan
menguap, adab makan dan minum, adab masuk Tandas, adab mandi wudhu’, adab
sebelum dan ketika melakukan shalat, adab imam dan makmum, adab menuju mesjid,
adab Jum’at, adab puasa, adab berkumpul, adab berguru, adab bermursyid, adab
berikhwan dan lain-lain.
Imam al-Ghazali
mengatakan adab adalah melatih diri secara zahir dan bathin untuk mencapai
kesucian untuk menjadi sufi. Menurut al-Ghazali ada 2 (dua) tingkatan adab :
- Adab khidmat, yaitu fana dari memandang ibadatnya dan memandang ibadat yang diperbuatnya dapat terlaksana semata-mata berkat izin dan anugerah Allah SWT kepadanya.
- Adab Ahli Hadratul Uluhiyah, yaitu adab orang yang sudah dekat dengan Allah. Adab mereka ini dilakukan sepenuhnya mengikuti adab Rasulullah SAW lahir dan bathin.
Abu Nasr As
Sarraj At Tusi mengadakan ada tiga tingkatan manusia dalam melaksanakan adab
yaitu :
- Adab dunia. Adab mereka pada umumnya adalah kemahiran berbicara, menghapal ilmu pengetahuan dan membuat syair-syair arab.
- Adab Ahli Agama adalah melatih mental dan anggota, memelihara aturan hukum agama dan meninggalkan syahwat.
- Adab Ahli Khususiah (Adab orang sufi Thariqat yang telah mencapai tingkatan tertentu). Adab mereka pada umumnya adalah membersihkan hati (qalb), memelihara waktu, sedikit saja menuruti suara hati sendiri, amat beradab ketika meminta, ingat kepada Allah SWT sepanjang waktu dan selalu berdaya upaya agar dekat kepada Allah SWT (Maqam Qurb)
Berdasarkan
uraian di atas adab merupakan hal yang sangat pokok di dalam menjalani
kehidupan di dunia khusunya di dalam tasawuf. Tharekat Naqsyabandi menempatkan
adab menjadi sesuatu yang amat penting sehingga dimasukkan ke dalam
kurikulumnya yang kita kenal dengan Enam Rukun Thareqat Naqsyabandiyah
yaitu : Ilmu, Adab, Sabar Ridha, Iklas dan Akhlak.
Didalam
ajaran tasawuf, adab kepada guru Mursyid adalah sesuatu yang utama dan pokok,
karena hampir seluruh pengajaran tasawuf itu berisi tantang pembinaan akhlak
manusia menjadi akhlak yang baik, menjadi akhlak yang mulia sebagaimana akhlak
Rasulullah SAW. Seorang murid harus selalu bisa memposisikan (merendahkan) diri
di depan Guru, harus bisa melayani Guru nya dengan sebaik-baiknya.
Abu yazid
al-Bisthami terkenal dengan ketinggian hadapnya. Setiap hari selama
bertahun-tahun Beliau menjadi khadam (pelayan) melayani gurunya sekaligus
mendengarkan nasehat-nasehat yang diberikan gurunya. Suatu hari Guru nya
menyuruh Abu Yazid membuang sampah ke jendela.
“Buang
sampah ini ke jendela”,
dengan
bingung Abu Yazid berkata, “Jendela yang mana guru?”
“Bertahun-tahun
engkau bersamaku, tidak kah engkau tahu kalau di belakangmu itu ada jendela”
Abu Yazid
menjawab, “Guru, bagaimana aku bisa melihat jendela, setiap hari pandanganku
hanya kepada mu semata, tidak ada lain yang kulihat”.
Begitulah
adab syekh Abu Yazid Al-Bisthami kepada gurunya, bertahun-tahun Beliau tidak
pernah memalingkan pandangan dari Guru nya, siang malam yang di ingat hanyalah
gurunya, lalu bagaimana dengan kita yang selalu dengan bangga menyebut diri
sebagai murid seorang Saidi Syekh?
Banyak
pelajaran yang bisa kita ambil dari cerita Abu Yazid. Kalau Abu Yazid tidak
pernah memalingkan pandangan dari guru nya, kalau kita jauh panggang dari api,
ketika Guru sedang memberikan fatwa masih sempat ber-SMS ria, masih sempat
bermain game (kalau ponselnya punya game), masih sempat ketawa ketiwi. Kalau
Abu Yazid tidak pernah tahu dimana letak jendela, kalau kita malah bisa tahu
berapa jumlah jendela dirumah Guru sekalian warna gordennya, mungkin juga kita
tahu jumlah pot bunga di ruangannya.
Kita
bukanlah Syekh Abu Yazid, atau bukan juga Syekh Burhanuddin Ulakan yang mau
masuk kedalam WC (Septictank) mengambil cicin gurunya (Syekh Abdura’auf
as-Singkily/Syiah Kuala) yang jatuh saat buang hajat, kita bukan juga Imam
al-Ghazali yang mau membersihkan kotoran gurunya dengan memakai jenggotnya,
kita bukan juga Sunan Kalijaga yang dengan sabar menjaga tongkat guru nya dalam
waktu yang sangat lama. Kita juga bukan Syekh Abdul Wahab Rokan yang selalu
membersihkan WC guru nya (syekh Sulaiman Zuhdi q.s) dengan memakai tangannya.
Kita
bukanlah Beliau-beliau yang sangat mulia itu yang selalu merendahkan dirinya
dengan serendah-rendahnya dihadapan gurunya. Kita bukan mereka, tapi paling
tidak banyak hal yang bisa dijadikan contoh dari kehidupan mereka agar kita
berhasil dalam ber guru.
Merendahkan
diri dihadapan guru bukanlah tindakan bodoh, akan tetapi merupakan tindakan
mulia. Dalam diri guru tersimpan Nur Ala Nurin yang pada
hakikatnya terbit dari zat dan fi’il Allah SWT yang merupakan zat yang Maha
Positif. Karena Maha Positif maka mendekatinya harus dengan negatif. Kalau kita
dekati yang Maha Positif dengan sikap positif maka rohani kita akan ditendang,
keluar dari Alam Rabbani.
Disaat kita
merendahkan diri dihadapan guru, disaat itu pula Nur Allah mengalir kedalam
diri kita lewat guru, saat itulah kita sangat dekat dengan Tuhan, seluruh badan
bergetar dan air mata pun tanpa terasa mengalir membasahi pipi. Hilang semua
beban-beban yang selama ini memberatkan punggung kita, menyesakkan dada kita,
dan yang bersarang dalam otak kita. Ruh kita terasa terbang melayang
meninggalkan Alam Jabarut melewati Alam Malakut sambil memberikan
salam kepada para malaikat-Nya dan terus menuju ke Alam Rabbani berjumpa
dengan SANG PEMILIK BUMI DAN LANGIT. Pengalaman beberapa orang yang
berhadapan dengan Guru Mursyid yang Kamil Mukamil Khalis Mukhlisin menceritakan
bahwa jiwanya terasa melayang, tenang dan damai, seakan-akan badan tidak berada
di bumi, inilah yang disebut fanabillah, seakan-akan disaat itu Tuhan
hadir dihadapannya dan seakan-akan telah mengalami apa yang disebut dengan Lailatul
Qadar,
Tiada ulasan:
Catat Ulasan