Hamzah al Fansuri Sufi, cendekiawan, budayawan dan
sastrawan terkemuka pada pertengahan abad 16 dan awal abad 17 di kawasan
Melayu-Aceh. Beliau juga dikenal sebagai sosok pelopor dan pembaharu,
intelektual yang berani mengkritik para penguasa. Beliau juga memelopori
penulisan risalah tasawuf secara sistematis dan ilmiah. Di bidang kesusastraan,
Syekh adalah orang pertama yang memperkenalkan syair puisi empat baris dengan
skema akhiran sajak a-a-a-a. Beliau meletakkan dasar puisi dan estetika Melayu
yang kokoh. Pengaruhnya sebagai penyair sufimasih kelihatan jelas hingga abad
20, terutama dalam karya sastrawan Pujangga Baru seperti Sanusi Pane dan Amir
Hamzah. Dalam bidang tasawuf, Syekh Hamzah Fansuri adalah mursyid Tarekat
Qadiriyyah. Ajarannya tentang wahdat al-wujud kelak ditentang keras oleh Syekh
Nuruddin al-Raniri, yang menuduhnya sebagai ulama zindik.
Hamzah Fansuri di dalam Makkah Mencari Tuhan di Bayt
al-Ka’bah
Di Barus ke Qudus terlalu payah
Akhirnya didapat di dalam rumah
Tidak diketahui dengan pasti kapan dan di mana Syekh
Hamzah Fansuri ini dilahirkan. Namun dengan melihat pada nama gelaran di
belakangnya diduga kuat beliau berasal dari Fansur, atau Barus, yang saat itu
merupakankotapelabuhan penting yang kerap dikunjungi para saudagar dan musafir
dari negeri-negeri jauh. Juga tidak diketahui dengan pasti kapan beliau
meninggal. Sebagian sarjana berspekulasi beliau masih hidup hingga zaman Sultan
Iskandar Muda. Semasa hidupnya, Syekh Fansuri menyaksikan pergolakan dan
pertikaian politik istana, hedonisme dan penyimpangan-penyimpangan dalam
pengamalan ajaran Islam. Pada masa Iskandar Muda, masa keemasan Aceh, tasawuf
memang berkembang, tetapi kebanyakan hanya sekedar kegemaran dan “gaya hidup”
tanpa penghayatan dan pengamalan yang mendalam dan benar. Pada masa Iskandar
Muda, hedonisme dan kemewahan jauh lebih leluasa dibanding masa sebelumnya.
Bahkan Sultan melakukan praktik meditasi menyambut datangnya bulan purnama,
sebuah praktik dari tradisi Yoga pranayama. Selain itu banyak penempuh jalan
sufi yang bertindak keterlaluan, bertapa di hutan-hutan. Seperti dalam sebuah
syairnya, beliau mengecam:
Segala muda dan sopan
Segala tua berhuban
Uzlatnya berbulan-bulan
Mencari Tuhan ke dalam hutan
….
Sidan thalib ke dalam hutan
Pergi uzlat berbulan-bulan
Dari muda datang berhuban
Tiada bertemu dengan Tuhan
Bahkan tak lupa Syekh Fansuri juga mengecam dirinya
sendiri, yang barangkali pernah mengerjakan amalan serupa di masa mudanya:
Hamzah sesat di dalam hutan
Pergi uzlat berbulan-bulan
Akan kiblatnya picik dan jawadan
Itulah lambat mendapat Tuhan
Pergi uzlat berbulan-bulan
Dari muda datang berhuban
Tiada bertemu dengan Tuhan
Karya dan ajaran
Prosa dan puisi karya Syekh Fansuri yang masih
tersisa tidak banyak. Adabeberapa karya diduga karya Syekh Fansuri tetapi
diragukan keotentikannya Tetapi setidaknya ada tiga risalah yang dipandang asli
karyanya, yakni Syarab al-Asyiqin, Asrar al-Arifin dan al-Muntahi.
1. Syarah
al-Asyiqin (Minuman Orang Berahi) berisi ringkasan ajaran wahdat al-wujud Syekh
al-Akbar IBN AL-‘ARABI, Shadr al-Din al-Qunawi dan Abd al-Karim al-Jilli, dan
cara mencapai makrifat. Kitab ini terdiri dari tujuh bab – bab 1 sampai 4 menguraikan
tahapan ilmu suluk (syari’at, tarekat, hakekat dan makrifat), bab 5 tentang
tajalli Zat Tuhan Yang Maha Tinggi (asas ontologi ajaran wujudiyyah), bab 6
tentang sifat-sifat Allah, dan bab 7 tentang isyq dan sukr (kemabukan mistik).
Kitab ini ditulis sebagai panduan untuk pemula dalam ilmu suluk. Bab 5, yang
berisi keterangan prinsip wujudiyyah, adalah bab terpenting dalam kitab ini
yang menunjukkan pemikiran wujudiyyah Fansuri – kelak ajaran wahdat al-wujud
ini, yang diteruskan oleh Syekh SYAMSUDDIN SUMATRANI menjadi kontroversi sengit
dan bahkan dikecam habis-habisan oleh Syekh Nuruddin (lihat NURUDDIN RANIRI).
Bab ini adalah ajaran tentang tajalli Tuhan, tentang martabat atau urutan
tajalli Tuhan:
2. Martabat
la ta’ayyun, yakni keadaan di mana Dzat-Nya tak bisa dikenali oleh siapapun,
ghaib mutlak, belum bertajalli. Akal, pembicaraan ilmu dan bahkan makrifat
tidak akan menjangkau-Nya. Bahkan para nabi dan wali pun tidak tahu (hairan).
Maka Nabi berkata: Subhanaka ma’arafnaka haqqa ma’rifataka (Maha Suci Engkau,
tiada kukenal Engkau sebagaimana mestinya Engkau dikenal) dan tafakkaru fi
khalqillahi wa la tafakkaru fi dzatillah(Renungkanlah ciptaan-Nya; jangan kau
pikirkan Dzat-Nya).
3. Martabat
ta’ayyun awal (kenyataan pertama), yang berupa tajalliIlm (Pengetahuan), Wujud
(Eksistensi), Syuhud (Menyaksikan), danNur (Cahaya). Seperti dikatakan Syekh,
karena Ilmu maka Tuhan adalah Alim dan Ma’lum (Mengetahui dan Diketahui);
karena Wujud maka Dia adalah Yang Mengadakan dan Yang ada; karena Syuhud maka
Dia adalah Yang Melihat dan Yang Dilihat; karena Nur maka Dia adalah Yang
Menerangkan (dengan Cahaya-Nya) dan Yang Diterangkan (oleh Cahaya-Nya).
4. Martabat
ta’ayyun tsani (atau ta’ayyun ma’lum), kenyataan kedua, di mana Tuhan menjadi
dikenal. Yang dimaksud dikenal (ma’lum) di sini adalah a’yan tsabithah (entitas
permanen), kenyataan dari segala sesuatu; juga dinamakan suwar al-‘ilmiyyah
(bentuk yang diketahui) atau al-haqiqah al-asyya’ atau hakekat segala sesuatu
di alam semesta, atau ruh idhafi (ruh yang terpaut)
5. Martabat
ta’ayun tsalis (kenyataan ketiga) yakni ruh insan dan makhluk.
6. Martabat
ta’ayyun rabi’ dan khamis, kenyataan keempat dan kelima, yakni penciptaan alam
semesta beserta seluruh makhluk.
7. Kitab
Asrar al-‘Arifin adalah karya prosa Syekh Fansuri yang terpanjang, dan tidak
ada duanya dalam khazanah sastra Melayu. Penulisannya diilhami oleh kitab
Sawanah karya Syekh Ahmad al-Ghazali, Tarjuman al-Asywaq karya Syekh Ibn
‘Arabi, Lam’at karya al-Iraqi, dan Lawa’ih karya Jami. Isinya adalah telaah
Syekh atas puisi ciptaannya sendiri. Dalam kitab ini tampak keluasan ilmunya,
seperti diindikasikan dalam perujukan-perujukannya pada sajak-sajak Syekh Ibn
al-‘Arabi, Farid al-Din Athtar, Jalal al-Din Rumi, Ahmad al-Ghazali, Ayn
al-Qudhat al-Hamadani, ‘Iraqi, Mahmud al-Syabistari, Junaid al-Bahgdadi dan
Jami’ dan juga Mansur Al-Hallaj.
8. Kitab
al-Muntahi merupakan karya paling ringkas tetapi mendalam. Kitab ini secara
garis besar membicarakan tiga persoalan: (1) kejadian alam semesta sebagai
panggung tajalli Tuhan dan Kemahakuasaan-Nya; (2) bagaimana Tuhan
memanifestasikan Diri-Nya dan bagaimana ahli makrifat memandang alam semesta,
serta bab tentang sebab pertama segala kejadian; (3) bagaimana seseorang dapat
kembali ke asalnya, yakni keadaan kanz makhfi (perbendaharaan tersembunyi).
Dalam risalah ini pula Syekh Hamzah Fansuri menunjukkan kepiawaiannya sebagai
penerjemah yang mumpuni. Tetapi kitab ini pula yang menjadi salah satu rujukan
Syekh Nuruddin Raniri untuk mengkafirkan Syekh Hamzah Fansuri.
Menurut seorang peneliti, syair-syair Hamzah Fansuri
yang penuh ajaran tasawuf itu memiliki sejumlah ciri menonjol, yakni:
(1) sajak empat baris dengan skema akhiran AAAA,
atau disebut syair dalam kesusastaran Melayu;
(2) dari struktur batinnya menunjukkan ungkapan
perasaan fana, cinta Tuhan, kemabukan mistik, pengalaman batin dan pengetahuan
tasawuf yang diperoleh melalui ilham an kasyaf;
(3) terdapat banyak kutipan ayat-ayat mutasyabihat
dalam al-Qur’an untuk fungsi religius dan estetis;
(4) terdapat isyarat atau perlambang kesufian
seperti anak dagang, anak jamu, anak datu, anak ratu, orang uryani, faqir,
thalib, asyiq dan lain-lain;
(5) ada ungkapan-ungkapan dan citra yang paradoks,
hal yang lazim dalam sastra sufi;
(6) ada syair yang memiliki kesamaan dengan
baris-baris puisis sufi Parsi, semisal Iraqi. Hafiz, Rumi, Syabistari,
al-Magribi dan Jami dan Athtar;
(7) ada kata atau serapan kata dari Arab dan Jawa,
kutipan Qur’an dan Hadits serta ucapan syathahat dari Sayyidina Ali, Bayazid
al-Bisthami dan al-Hallaj.
Dari sudut pandang estetika, Syekh Hamzah Fansuri
telah melaksanakan tuntutan licentia poetica (kebebasan penyair) secara utuh.
Sajak-sajak Syekh Fansuri mencerminkan proses islamisasi kebudayaan Melayu pada
abad 16. Melalui Syekh Hamzah Fansuri bahasa Melayu naik kedudukannya menjadi
bahasa paling penting di kepulauan Nusantara.
Hamzah Fansuri dan Syair-syair Tasawufnya
Karya
sastrawan sufi Nusantara belum banyak diteliti dan dikaji. Padahal peranan dan
pengaruh mereka sangat besar bagi perkembangan bahasa, kebudayaan dan sastra
Melayu. Lesunya kajian filologi di Indonesia dewasa ini mungkin merupakan salah
satu penyebabnya. Tak mengherankan sebagian besar karya penulis lama Nusantara,
khususnya penulis sufi, masih berupa naskah dan belum cukup banyak yang
dialihaksarakan serta diterbitkan. Lagi pula selama beberapa puluh tahun
belakangan ini, kebijakan pendidikan kita tidak memberi perhatian serius
terhadap pelajaran sejarah kebudayaan dan tradisi intelektual bangsanya
sendiri.
Karya-karya Hamzah Fansuri lebih beruntung. Hampir
semuanya telah dijumpai dalam bentuk transliterasinya. Bahkan sudah muncul pula
beberapa kajian yang cukup luas dan mendalam. Namun masalahnya bukan hanya
apakah ada kajian atau tidak. Selagi ajaran tasawuf sang sufi masih diperdebatkan
dengan sengitnya, selama itu pula peranan dan kedudukannya sebagai tokoh
spiritual dan keagamaan akan tetap diperdebatkan. Begitu pula sumbangannya
terhadap bahasa, kebudayaan dan sastra Melayu.
Tujuan tulisan ini bukanlah untuk menyulut kembali
perdebatan sengit yang telah lama muncul di sekitar pemikiran tasawufnya.
Dengan kesadaran bahwa kepenyairan dan kesufian Hamzah Fansuri tidak dapat
diabaikan, begitu pula
peranannya dalam sejarah intelektual dan kerohanian,
kami akan coba membahas segi-segi khusus dari kepenyairannya.
Sebagai Penyair
Risalah tasawuf Syekh al-Fansuri yang dijumpai ada
tiga, yaitu Syarab al-`Asyiqin (Minuman Orang Berahi), Asrar al-`Arifin
(Rahasia Ahli Makrifat) dan al-Muntahi. Kitabnya Syarab al-`Asyiqin oleh al-
Attas (1970) dianggap sebagai karyanya yang pertama. Di samping itu ia dianggap pula sebagai risalah keilmuan pertama yang ditulis dalam bahasa
Melayu baru. Versinya yang lain diberi judul Zinat al-Muwahhidin (Perhiasan
Ahli Tauhid). Sedangkan syair-syair tasawufnya yang dijumpai tidak kurang dari 32
ikat-ikatan atau untaian. Syair-syairnya
dianggap sebagai “syair Melayu” pertama
yang ditulis dalam bahasa Melayu, yaitu sajak empat baris dengan pola bunyi
akhir a-a-a-a pada setiap barisnya
(al-Attas 1968; Braginsky 1991 dan 1992). Syamsudin al-Sumatrani (w.
1630 M) menyebut sajak-sajak tersebut sebagai ruba`i, yaitu sajak empat baris
dengan dua misra’ (Ali Hasymi 1975) Pada pembacaan pertama terhadap
sajak-sajaknya, akan segera terlihat
beberapa ciri yang menonjol, yang di antaranya kemudian menjadi semacam
konvensi sastra atau puisi Melayu klasik. Pertama, pemakaian penanda
kepengarangan seperti faqir, anak dagang, anak jamu, ‘asyiq dan lain-lain, yang
kesemuanya ditransformasikan dari gagasan sufi tentang peringkat rohani (maqam)
tertinggi di jalan kerohanian atau ilmu suluk.
Kedua, banyak petikan ayat al-Qur’an, Hadis, pepatah
dan kata-kata Arab, yang beberapa di antaranya telah lama dijadikan metafor,
istilah dan citraan konseptual penulis-penulis sufi Arab Persia seperti Bayazid
al-Bisthami, Mansur al-Hallaj, Junaid al-Baghdadi, Imam al-Ghazali, Ibn `Arabi,
Fariduddin al-`Aththar, Jalaluddin
al-Rumi, Fakhrudin `Iraqi dan lain-lain. Tidak kurang 1200 kata-kata Arab dijumpai
dalam 32 ikat-ikatan syair Hamzah Fansuri
(Abdul Hadi W.M. 2001: 219—27). Ini menunjukkan derasnya proses Islamisasi yang untuk pertama kalinya melanda
bahasa, kebudayaan dan sastra Melayu pada abad ke-16 M. Maka pantaslah negeri
Aceh menyandang sebutan Serambi Mekah.
Di antara istilah dan ungkapan dari al-Qur’an dan Hadis yang dijadikan
metafor pinjaman, citraan konseptual dan pusat renungan sufi ialah al-bayt
al-ma`mur (Q 52:4) untuk menyebut Ka’bah dan kalbu; qaba qawsayn awadna (53:9)
= jarak lingkaran dua busur, menggambarkan dekatnya Tuhan dengan manusia; ayna-ma tuwallu fa-tsamma wajh Allah (Q 2:115) = kemana pun kau memandang akan tampak wajah Allah;
kuntu kanzan, dari Hadis Qudsi “Kuntu kanzan makhfiyyan…” = Aku perbendaharan
tersembunyi, merujuk pada alam ketuhanan (`alam al-lahut) ketika Tuhan hendak
melahirkan ciptaan-Nya.
Ketiga, dalam setiap bait terakhir ikat-ikatan syairnya sang sufi selalu
mencantumkan nama diri dan takhallus-nya, yaitu nama julukannya yang
biasanya didasarkan pada nama tempat kelahiran
penyair atau kota di mana dia dibesarka Di situ penyair juga mengungkapkan
tingkat dan bentuk pengalaman kerohanian yang diperolehnya di jalan tasawuf.
Pada saat yang sama semua yang
diungkapkan penyair dalam sajaknya merupakan pengalaman pribadinya. Di sini
penyair benar-benar menekankan pentingnya
individualitas dalam penciptaan
puisi (Teeuw 1994; Abdul Hadi W.M. 2001:136—146).
Keempat, sudah tentu kita jumpai pula tamsil dan
citraan-citraan simbolik atau konseptual yang biasa digunakan penyair-penyair
sufi Arab dan Persia dalam melukiskan
pengalaman dan gagasan kesufian mereka
berkenaan dengan cinta, kemabukan mistikal, fana’, makrifat, tatanan
wujud dan lain-lain. Misalnya tamsil seperti anggur atau arak kemabukan mistik
dan gelas anggur; burung (roh), ikan yang menyatu dengan lautan, yang merujuk
pada persatuan mistik; kekasih, yang lebih sering disebut Mahbub; lautan dan ombak, kapal atau
markab, yang berlayar ke Bandar Tauhid;
bukit rantang atau puncak gunung tempat
seorang`asyiq bertemu dengan Kekasihnya; perjalanan malam menggunakan
obor dan suluh (Muhammad), Kaabah, dan lain sebagainya. Tamsil-tamsil bercorak
Arab-Persia ini ditransformasikan ke
dalam lingkungan budaya dan alam
kehidupan Melayu. Anggur diubah menjadi
arak dan serbat, gelas anggur diubah menjadi takir (tempat makan dari daun
pisang).
Selain itu terdapat cukup banyak tamsil yang diambil
dari alam kehidupan dan budaya Melayu, seperti kayu, kapur barus, perahu dengan perlengkapannya. Tamsil atau
citraan-citraan simbolik ini dijadikan sarana untuk menggambarkan pengalaman
kesufian penyair di sekitar maqam
(peringkat rohani) dan ahwal (keadaan
rohani) yang dicapai seorang
penempuh jalan kerohanian (suluk). Semua itu menunjukkan luasnya pengetahuan penyair atas sastra Arab
dan Persia, serta keakraban penyair
dengan budaya masyarakatnya.
Kelima, karena paduan yang seimbang antara diksi
(pilihan kata), rima dan unsur-unsur puitik lainnya, syair-syair Hamzah Fansuri menciptakan suasana ekstase
(wajd) dalam pembacaannya, tidak kurang seperti suasana yang tercipta pada saat
para sufi melakukan wirid, zikir dan sama’, yaitu konser musik kerohanian yang disertai dengan zikir,
nyanyian dan pembacaan sajak.
Ciri lain dapat ditambahkan. Sebagaimana puisi penyair sufi pada umumnya,
syair-syair Hamzah Fansuri memadukan metafisika, logika dan estetika
secara seimbang (Nasr 1987:129—30). Ini
menunjukkan bahwa pengetahuan intuitif, rasional dan empiris sama-sama penting
perannya dalam penciptaan puisi. Peringkat makna, yang merupakan dimensi batin
sajak, berkaitan dengan metafisika dan etika sufi.
Dalam peringkat makna inilah pesan moral dan
kerohanian syair diletakkan. Peringkat surah (bentuk luar), yang merupakan
dimensi lahirnya, mengacu pada estetika
sufi. Dalam estetikanya penyair sufi memandang bahwa citraan yang diambil dari
alam indrawi dapat dijadikan sebagai
sarana transendensi, yaitu tangga naik menuju alam kerohanian (pengalaman
religius sufistik). Selanjutnya ungkapan
puitik dan citraan-citraan simbolik itu diuntai dalam urutan yang logis.
Agar gambaran dari ciri-ciri tersebut jelas di sini
akan dikemukakan contoh beberapa bait dari ikat-ikatan syair yang dimulai
dengan baris “Thayr al-`uryan unggas sulthani”. Ikat-ikatan ini menggambarkan jiwa seseorang yang telah
faqir, tak memiliki apa-apa selain kedekatan
dengan dan cinta yang mendalam pada Tuhan. Kata al-thayr artinya burung
(kadang-kadang Hamzah Fansuri menggunakan kata unggas, nuri atau burung pingai). Kata al-`uryan, arti
harafiahnya ialah telanjang, maksudnya
jiwa manusia yang tak merasa memiliki apa pun selain keterpautan pada Tuhannya.
Pemakaian tamsil burung bagi jiwa yang telah mengalami penyucian diri
(thadkiya’ al-nafs), pertama-tama seperti dikatakan Braginsky (1993), diilhami
oleh alegori Fariduddin al-`Aththar yang terkenal Mantiq al- Thayr (Musyawarah Burung); yang
kedua ialah Hikayat Nur Muhammad. Nur Muhammad adalah konsep sufi tentang hakikat kejadian yang sering
ditransformasikan secara simbolik dari
cahaya berkilauan dan mutiara menjadi burung pingai, untuk memberi kesan
keindahan dan kepermaiannya yang luar biasa. Gambaran tersebut dijumpai versi Melayu Hikayat
Kejadian Nur Muhammad (Edwar Djamaris 1990:112—117).
Pencapaian burung dalam sajak tersebut dapat
disetarakan dengan pencapaian tiga puluh ekor burung dalam Manthiq al-Thayr
(Musyawarah Burung) karya Fariduddin al-Aththar, yang—setelah melakukan penerbangan jauh dan sukar melalui tujuh wadi
atau lembah (kerohanian)—pada akhirnya
berjumpa dengan Simurgh—raja diraja burung—di puncak bukit Qaf. Simurgh
adalah lambang hakikat ketuhanan dan
juga lambang diri rohani manusia.
Sedangkan puncak bukit adalah lambang
pencapaian tertinggi di jalan kerohanian, yaitu qurb, kekariban dan kedekatan dengan Tuhan (Schimmel 198:421).
Berikut adalah ikat-ikatan XIV (MS Jak. Mal. 83)
sebagaimana yang dimaksud:
Thayr al-`uryan unggas sulthani
Bangsanya nur al-rahmani
Tasbihnya Allah `Subhani’
Gila dan mabuk akan rabbani
Unggas itu
terlalu pingai
Warnanya sempurna
bisai
Rumahnya tiada berbidai
Duduknya da’im di balik tirai
Awwalnya bernama ruhi
Millatnya terlalu
sufi
Tubuhnya terlalu
suci
Mushafnya besar suratnya kufi
Arasy Allah akan pangkalannya
Habib Allah akan taulannya
Bayt Allah akan sangkarannya
Menghadap
Tuhan dengan sopannya
Sufinya bukannya
kain
Fi al-Makkah da’im bermain
`Ilmunya
zahir dan batin
Menyembah Allah terlalu rajin
Kitab Allah dipersandangnya
Ghayb Allah akan tandangnya
`Alam Lahut akan kandangnya
Pada da’irah Hu tempat pandangnya
Dzikr Allah kiri-kanannya
Fikr Allah rupa badannya
Syurbat tawhid akan minumannya
Da’im bertemu dengan
Tuhannya
Suluhnya
terlalu terang
Harinya tiada berpetang
Jalannya terlalu
henang
Barang
mendapat dia terlalu menang
…`Ilmunya
`ilmu yang pertama
Madzhabnya madzhab ternama
Cahayanya cahaya
yang lama
Ke dalam surga
bersama-sama
Ingat-ingat
hai anak dagang
Nafsumu itu
lawan berperang
Anggamu
jadikan sarang
Citamu satu jangan
bercawang
Siang hari hendaknya kau sha’im
Malam hari yogya kau qa’im
Kurangkan makan lagi dan na’im
Nafi dan itsbat jangan kau padam
Tuhan kita yang (em)punya `alam
Menimbul(kan) Hamzah yang sudah karam
`Isyqi-nya jangan
kau padam
Supaya washil
dengan laut dalam
(Catatan kata-kata Arab dan Melayu Lama: Nur
al-rahmani = Cahaya Yang Rahman; Subhani = Maha Terpuji Aku (Bayazid
al-Bisthami); pingai = cemerlang keemasan; bisai = elok, anggun; bidai = tirai
penutup pintu dari rotan; da’im = selalu;
ruhi = roh; millat = aliran agama;
mushhaf = musyaf al-Qur’an; habib Allah = kekasih Tuhan; bayt Allah =
rumah Tuhan; Fi al- Makkah = di negeri Mekkah;
`Alam lahut = alam ketuhanan; da`irah Hu =lingkaran Dia; syurbat tawhid
= minuman tauhid; sha’im = berpuasa; qa’im = salat, maksudnya
salat tahajjud; nafi itsbat = meniadakan
dan mengiyakan, merujuk pada kalimat La
ilaha illa Allah; `isyqi = cinta ilahi; washil =hampir, menyatu, maksudnya menyatu
dengan lautan hakikat wujud).
Perkataan “Cahayanya cahaya yang lama” dapat dirujuk
pada konsep Nur Muhammad atau haqiqat
al-Muhammadiyah, yaitu lambang hakikat
sejati diri manusia, pertama-tama
sebagai makhluk kerohanian dan kedua sebagai khalifah Tuhan di atas bumi dan
sekaligus hamba-Nya. Adapun perkataan
“ilmunya `ilmu yang pertama“ dapat dirujuk pada konsep sufi tentang pengetahuan primordial yang diperoleh manusia
ketika masih berupa roh dan belum
diturunkan sebagai makhluk jasmani (Hari Alastu), sebagaimana dinyatakan
al-Qur’an 7: 172: “A-lastu bi rabbikum? Qalu bala syahidna”, artinya “Bukankah
Aku ini Tuhanmu? Ya, aku bersaksi.” Ini merupakan pengakuan tauhid yang
pertama. Dalam sajaknya penyair
menyebut Tauhid sebagai “suluh yang
terang” dan “jalan yang henang”.
Halangan
terbesar dalam mencapai makna terdalam
tauhid ialah hawa nafsu. Oleh sebab itu penyair menyatakan agar hawa
nafsu dijadikan sebagai lawan berperang. Memerangi hawa nafsu disebut mujahadah atau jihad besar. Cara memeranginya
ialah dengan memperbanyak ibadah dan
melakukan penyucian diri di jalan agama.
Tema pencarian diri dalam syair ini dapat dihubungkan tema yang sama
dalam sajaknya yang lain:
Ketahui hai anak Adam
Engkaulah
haqiqat `alam
‘Isyqi-mu jangan
kau padam
Supaya
dapat berpayung iram
…Campurkan
yang empat alam
Hancurkan di
laut dalam
Syari’at Nabi yang khatam
Kerjakan da’im siang dan malam
“Payung iram” ialah payung kehormatan raja-raja.
Sang Sufi hendak menyatakan bahwa jalan cinta (`isyq) akan membawa seorang ahli suluk mencapai hakikat dirinya dan
dengan demikian mengenal kemuliaan dirinya sebagai hakikat ciptaan. Ini bisa
dirujuk pada pendapat Rumi yang menyatakan bahwa “Cinta merupakan cara paling
tinggi dalam mencapai pengetahuan hakikat, sebab cintalah yang membawa pencinta
menyeberangi keraguan menuju kepastian
(haqq al-yaqin) dan menembus rupa lahir menuju hakikat yang batin” (Reza
Arasteh 1984:80).
Empat alam adalah empat anasir jasmani
manusia, yaitu tanah, air, api
dan udara. Di jalan cinta empat unsur jasmani
ini dilebur dalam lautan wujud kerohanian. Dengan demikian ia menjadi
bagian utuh dari kepribadian kita. Menurut para sufi semakin seseorang itu
mencintai Tuhan, maka semakin taat pula dia menjalankan perintah-Nya. Misalnya sebagaimana dinyatakan sufi abad
ke-8 M, Rabi’ah al-Adawiyah, “Cinta adalah landasan ketaatan kepada Tuhan” ( S.
H. Nadeem 1979:18—9).
Memang, cinta dan pencarian diri—dua gagasan yang
saling berkaitan—merupakan tema penting dalam syair-syair Hamzah Fansuri. Luluhnya diri jasmani (nafsu
lahir) ke dalam diri rohani, merupakan tanda bahwa seorang ahli suluk telah mengenal hakikat dirinya.
Pencapaian semacam itu disebut juga
fana’ (hapus), dan sering disamakan dengan persatuan mistik (unio-mystika),
yaitu menetapnya perasaan bersatu
seorang `asyiq terhadap sang
Mahbub di dalam batinnya. Hamzah Fansuri
menyatakan dengan ungkapan lain
dalam Ikat-ikatan XXVI MS Jak. Mal. 83:
Hamzah Syahr Nawi terlalu hapus
Seperti kayu
sekalian hangus
Asalnya laut tiada berarus
Menjadi kapur di dalam barus
Diri jasmani ditamsilkan sebagai batang kayu, kehangusannya
melambangkan kefanaannya, sedangkan kapur (kamfer) yang merupakan substansi
kayu barus melambangkan diri rohani,
hakikat yang tersembunyi di dalam diri jasmani.
Anak Dagang,
Perahu dan Laut
Tamsil anak dagang sangat banyak dijumpai dalam
sajak-sajak Hamzah Fansuri. Ia terutama berfungsi sebagai penanda kepengarangan
atau kesufian. Sebagai penanda ia sering dipertukarkan dengan penanda lain
seperti faqir dan anak jamu (orang yang bertamu). Alangkah serasinya apabila penanda ini dihubungkan
dengan citraan simbolik perahu dan kapal serta
laut. Pemakaian tamsil anak dagang dan faqir, diambil dari al-Qur’an dan Hadis. Di samping itu ia memiliki konteks sejarah, khususnya
dengan penyebaran agama Islam dan pembentukan kebudayaannya di
Nusantara.
Sebagaimana telah diketahui, agama Islam tersebar dan berkembang pesat di Asia Tenggara bersamaan dengan pesatnya kegiatan perdagangan antar- pulau dan benua, terutama
sejak abad ke-13M setelah berdirinya
kerajaan Samudra Pasai pada 1272 M. Pada mulanya kegiatan tersebut
hanya melibatkan pedagang-pedagang
Muslim Arab dan Persia, tetapi kemudian melibatkan pula banyak pedagang Nusantara yang telah
memeluk agama Islam. Sejak itu berdagang atau merantau jauh
dari kampung halaman untuk melakukan urusan dunia, menjadi “budaya” orang Islam
Nusantara dari Aceh sampai Makassar,
dari Banten sampai Ternate, dari
Malaka sampai Madura dan dari Padang dan Kalimantan sampai pesisir
Jawa.
Kata dagang memang
berarti merantau dan menjadi
orang asing di sebuah negeri. Ia diterjemahkan dari kata Arab gharib (asing)
dan selalu dirujuk pada Hadis, yang
bunyinya, “Kun fi al-dunya ka’annaka gharibun aw ‘abiru sabilin wa `udhdha
nafsahu min ashabi al-qubur” (“Jadilah orang asing atau dagang di dunia ini,
singgahlah sementara dalam perjalananmu, dan ingatlah akan azhab kubur.”) Dalam
syairnya Hamzah Fansuri menulis:
Hadis ini daripada Nabi al-Habib
Qala kun fi al-dunya ka’annaka gharib
Barang
siapa da’im kepada dunia qarib
Manakan dapat
menjadi habib
Kekasih Tuhan dipertentangkan dengan orang yang
mencintai dunia secara berlebihan.
Dagang atau faqir sejati menurut penyair ialah dia yang karib dengan Tuhannya
dan asing serta tak merasa terpaut pada
dunia. Kata gharib, yang oleh penulis Melayu diterjemahkan menjadi dagang,
berarti “Orang atau diri yang asing
terhadap dunia” (al-Attas 1971:8), yaitu seorang ahli suluk yang menyadari bahwa di dunia ini ia adalah orang asing yang
pergi merantau dan singgah sementara untuk mengumpulkan bekal. Kampung halamannya
yang sejati bukan di dunia ini. Imam al-Ghazali dalam Kimiya-i Sa`adah
mengatakan: “Dunia ini adalah sebuah pentas atau pasar yang disinggahi oleh
para musafir dalam perjalanannya menuju
ke negeri lain. Di sini mereka
membekali diri dengan berbagai
bekal agar supaya tujuan perjalanan tercapai” (Mohammad Bagir 1984:39).
Dalam kaitan ini Hamzah Fansuri menulis:
Pada dunia nin jangan kau amin
Lenyap pergi seperti angin
Kuntu kanzan tempat
yang batin
Di sana da’im
yogya kau sakin
Lemak manis
terlalu nyaman
Oleh nafsumu
engkau tertawan
Sakarat al-mawt sukarnya jalan
Lenyap di sana
berkawan-kawan
Hidup dalam dunia upama dagang
Datang musim kita ’kan pulang
La tasta’khiruna sa’atan lagi kan datang
Mencari ma`rifat Allah jangan alang-alang
Catatan: La tasta’khiruna sa`atan (Q 34:30) = tak
dapat ditunda waktunya. Di lihat dari sudut agama anak dagang diberi arti positif oleh penyair.
Ia adalah orang yang menyadari secara mendalam bahwa realitas sebenarnya
kehidupan tidak berada di alam fenomena yang senantiasa berubah, melainkan di dalam
Tuhan yang kekal. Tanda anak dagang sejati ialah cinta dan penyerahannya yang
penuh kepada Tuhan, dan keyakinannya yang teguh terhadap ikhtiar dirinya dalam
mengatasi segala kesukaran hidup.
Sama dengan gagasan dagang adalah gagasan faqir.
Dalam tasawuf ia diartikan sebagai pribadi yang tidak lagi terpaut pada dunia.
Keterpautannya semata-mata pada Tuhan. Ada dua ayat al-Qur’an yang dijadikan
rujukan, yaitu Q 2:268 dan Q 35—15. Dalam Q 2:268, dinyatakan lebih kurang,
“Setan mengancammu dengan ketiadaan milik (al-faqr) dan menyuruhmu
melakukan perbuatan keji. Tetapi Allah
menjanjikan ampunan dan karunia kepadamu dari-Nya sendiri dan Allah mahaluas
pengetahuan-Nya.” Adapun dalam Q 35:15
dinyatakan, “Hai manusia! Kamulah yang memerlukan (fuqara’) Allah.
Sedangkan Allah, Dialah yang maha kaya
lagi maha terpuji.” (Yusuf Ali 1983: 109 dan 1157—8).
Ibn `Arabi, sufi abad ke-12 dari Andalusia,
mengatakan bahwa karena Tuhan mahakaya dan maha-mencukupi (al-ghani), Dia tidak
tergantung pada siapa pun. Sebaliknya manusia yang pada hakikatnya tidak
memiliki apa-apa (al-faqr), maka dia memerlukan (fuqara’) Tuhan. Keberadaan
manusia, menurut tafsir ayat ini, tidak
pernah bebas dari kewujudan Tuhan. Maka perkataan faqir kemudian diartikan kepada seseorang yang benar-benar
terpaut kepada Tuhan, sebagai ganti dari ketidakterpautannya pada dunia ( Dar
1977:61).
Mengikuti pengertian ini Hamzah Fansuri menyatakan bahwa faqir yang sejati ialah Nabi
Muhammad s.a.w. Dalam seluruh aspek
kehidupannya beliau benar-benar hanya tergantung kepada Tuhan. Ini
ditunjukkan pada keteguhan imannya.
Kata sang penyair:
Rasul Allah
itulah yang tiada berlawan
Meninggalkan tha’am (tamak) sungguh pun makan
‘Uzlat dan tunggal
di dalam kawan
Olehnya duduk waktu berjalan
Perkataan ”`Uzlat dan tunggal di dalam kawan” dapat
ditafsirkan bahwa, walaupun Nabi
Muhammad s.a.w. seorang yang gemar berzuhud, tetapi beliau tidak meninggalkan
kewajibannya dalam kegiatan sosial. Sedangkan
perkataan “Olehnya duduk waktu berjalan”
dapat ditafsirkan bahwa
walaupun hatinya hanya terpaut pada
Tuhan, beliau tetap aktif mengerjakan urusan dunia dengan penuh kesungguhan dan
pengabdian. Kata “duduk”, yaitu tidak bergerak atau berjalan, dapat ditafsirkan bahwa keyakinannya kepada Allah s.w.t sangat
teguh. Jika ditafsirkan demikian maka
gagasan faqir tidak dapat disamakan dengan asketisme pasif dan eskapisme.
Dalam kaitan ini penyair menyatakan dalam syairnya:
Dunia nin jangan
kau taruh-taruh
Supaya dekat
mahbub yang jauh
Indah sekali akan galuh-galuh
Ke dalam api pergi berlabuh
Hamzah miskin
hina dan karam
Bermain
mata dengan Rabb al-‘Alam
Selamnya sangat terlalu dalam
Seperti mayat sudah
tertanam
Seorang faqir diumpamakan sebagai galuh-galuh,
serangga seperti laron, yang selalu terpikat pada cahaya dan berani
mengorbankan dirinya dalam api karena keinginannya bersatu atau mendekatkan (qurb) diri dengan cahaya.
Para penyair sufi tidak henti-hentinya menggunakan citraan simbolik ini, karena
seorang faqir adalah seorang yang berani mengurbankan diri untuk
bersatu dengan Cahaya Yang Satu.
Anak dagang juga digambarkan sebagai anak mu’alim
yang tahu jalan. Cintanya yang mendalam dan imannya yang teguh, memberinya pula
pengetahuan diri yang mendalam.
Hamzah Fansuri
menulis:
Kenali dirimu hai anak dagang
Jadikan
markab (kapal) tempat berpulang
Kemudi tinggal jangan kau goyang
Supaya
dapat dekat kau pulang
Fawq al-markab (di geladak kapal) yogya kau jalis(duduk)
Sauhmu da’im baikkan habis
Rubing syari`at yogya kau labis
Supaya
jangan markabmu palis
Jika hendak
engkau menjeling sawang
Ingat-ingat
akan ujung karang
Jabat kemudi jangan
kau mamang
Supaya betul
ke bandar kau datang
Anak mu`allim tahu akan jalan
Da’im berjalan
di laut nyaman
Markabmu tiada berpapan
Olehnya itu tiada berlawan
Dalam syairnya yang lain (ikat-ikatan XVII) tamsil
anak dagang diganti anak jamu:
Dengarkan hai
anak jamu
Unggas itu
sekalian kamu
`Ilmunya
yogya kau ramu
Supaya jadi
mulia adamu
Selanjutnya dalam ikat-ikatan tersebut anak jamu
diumpamakan sebagai unggas yang tinggal dalam kandang syariat dan memiliki berbagai kelengkapan
rohani:
`Ilm al-yaqin nama
`ilmunya
`Ayn al-yaqin hasil tahunya
Haqq al-yaqin akan lakunya
Muhammad nabi asal
gurunya
Syari`at akan
tirainya
Tariqat akan bidainya
Haqiqat akan
ripainya (ripinya)
Ma`rifat akan isainya (isinya)
Jelaslah bahwa yang dimaksud faqir oleh penyair
bukanlah orang miskin biasa dalam artian
papa dan menderita, serta tak
berpengetahuan. Ibn Abu `Ishaq al-Kalabadhi, sufi abad ke-11 M, dalam bukunya
al-Ta`arruf li Madzzhabi ahl al-Tashawwuf mengatakan, “Ibn al-Jalla mengatakan,
‘Kefaqiran ialah bahwa tiada sesuatu pun yang menjadi milikmu, atau jika memang
ada sesuatu, itu tidak boleh menjadi milikmu.’ Perkataan ini mengandung arti
yang sama dengan firman Tuhan, ‘Sedangkan mereka lebih mengutamakan kepentingan
orang banyak, dibanding semata-mata kepentingan mereka sendiri, sekalipun
mereka dalam kesukaran’” (Arberry 1976:118).
Sedangkan Ali Utsman al-Hujwiri dalam Kasyf
al-Mahjub, mengatakan dengan mengutip seorang sufi, “Laysa al-faqr man khala
min al-zad, inna-ma alfaqr man khala min al-murad, yakni “Faqir bukan orang
yang tak punya rezeki/penghasilan, melainkan yang pembawaan dirinya hampa dari
nafsu rendah.” Dia juga mengutip Syekh Ruwaym, “Min na`t al-faqr hifzzhu
sirrihi wa syanatu nafsihi wa ada’u fazi dhatihi’,yakni “Ciri faqir ialah
hatinya terlindung dari kepentingan diri, dan jiwanya terjaga dari kecemaran serta tetap melaksanakan
kewajiban agama.” (Nicholson 1982:35).
Dalam ikat-ikatan XIX Hamzah Fansuri menggambarkan
bahwa seorang faqir merupakan pribadi yang elok sebab telah memfanakan
seluruh potensi dirinya (akal, rasa,
diri jasmani, nyawa) ke dalam tujuan spiritual
kehidupan.
Sidang faqir
empunya kata
Tuhanmu zahir terlalu nyata
Jika sungguh
engkau bermata
Lihatlah
dirimu rata-rata
…
Kekasihmu zahir terlalu terang
Pada kedua `alam
nyata terbentang
Ahl al-Ma`rifa
terlalu menang
Washilnya da’im tiada berselang
Hapuskan
`aqal dan rasamu
Lenyapkan badan
dan nyawamu
Pejamkan hendak kedua matamu
Sana kau lihat permai rupamu
Adamu itu yogya kau serang
Supaya
dapat negeri yang henang
Seperti `Ali tatkala
perang
Melepas Duldul
tiada berkekang
Hamzah miskin
orang`uryani
Seperti Isma`il
jadi qurbani
Bukannya `Ajami lagi `Arabi
Nentiasa washil
dengan Yang Baqi
`Uryan arti harfiahnya ialah telanjang, maksudnya orang yang hatinya tulus. Dalam
bait tersebut Hamzah Fansuri menyamakan
faqir dengan pribadi Nabi Ismail a.s. yang sedia mengurbankan nyawa dan dirinya
dalam memenuhi perintah Tuhan. Seorang
faqir adalah pribadi universal yang tidak terikat lagi oleh warna kulit, ras
dan kebangsaan.
Sejak lama telah muncul anggapan luas bahwa tasawuf
atau tarekat yang diajarkan Hamzah Fansuri
mengabaikan syariat. Namun dalam beberapa bait syairnya Hamzah
Fansuri justru menekankan betapa
pentingnya syariat. Sebagai contoh dalam bait berikut:
Syari`at
Muhammad terlalu `amiq (dalam)
Cahayanya terang
di negeri Bayt al-`athiq
Tandanya
ghalib sempurna thariq (jalan)
Banyaklah kafir menjadi rafiq (kawan)
Bayt al-`athiq itulah bernama Ka`bah
`Ibadat di dalamnya
tiada berhelah
Tempatnya ma`lum
di tanah Mekkah
Akan qiblat Islam menyembah Allah
Dikatakan bahwa syari`at mengandung makna yang dalam
dan di dalamnya membentang jalan yang
sempurna menuju Tuhan. Bahkan menurut para sufi syari`at itu merupakan jalan
besar, sedang tariqat merupakan lorong kecil (Tirmingham 1973, 5).
Pengaruh Puisi Sufi
Sebagai
penyair besar dan pencetus syair, Hamzah Fansuri tidak hanya
mempengaruhi perkembangan sastra Melayu abad ke-17 dan 18 M, tetapi juga
sesudahnya. Syair, sebagai bentuk puisi empat baris berpola bunyi akhir a-a-a-a, sangat digemari oleh penulis Nusantara sampai abad ke-20.
Penanda kepenyairan faqir, dagang dan sejenis juga berkembang menjadi konvensi
sastra Melayu. Bahkan penanda ini tidak hanya dipakai dalam penulisan syair
tasawuf dan keagamaan, tetapi juga dalam syair hikayat, kisah pelipur lara dan
penulisan karya bercorak sejarah. Sebagai contoh ialah bagian
permulaan Syair Perang Makassar, yang ditulis oleh Encik Amin pada akhir abad
ke-17 seusai perang tersebut:
Mohonkan ampun
gharib yang faqir
Menyatakan asma di dalam syair
Maka patik pun berbuat sindir
Kepada negeri asing supaya lahir
Tetapi berbeda dengan penggunaannya dalam
syair-syair Hamzah Fansuri yang memperlihatkan kepercayaan diri yang kuat dan
penuh percaya diri, dalam syair-syair sesudahnya penggunaan tersebut cenderung
disertai nada iba dan getir, serta rasa kurang percaya diri (Koster 1993:93).
Misalnya dalam Syair Negeri Mekah dan Medina (anonim):
Amma ba`du inilah nazam
Tiadalah
faqir berpanjang kalam
Hati yang safi menjadi kelam
Sebab
bercinta siang dan malam
…
Inilah nazam
faqir yang gharib
Dalam percintaan dibawa nasib
(Ibid 95).
Nada mengiba juga terlihat dalam bait-bait permulaan Syair Dagang,
karangan seorang penulis abad ke-17 yang
berasal dari Minangkabau:
Kita di dunia hendaklah jaga
Inilah negeri
tempat berniaga
Carilah dagangan yang banyak harga
Barang yang
laku di negeri surga
Seperti dagang
kita di dunya
Utang piutang miskin dan kaya
Tatkala di akhirat
negeri yang kaya
Di sinilah tempat
menerima dia
Sementara nyawa
belumlah hilang
Carilah dagangan jangan kepalang
Itulah mudik dibawa pulang
Ke dalam akhirat
negeri yang tenang
Bandingkan bait-bait dalam syair Hamzah Fansuri yang menunjukkan kepercayaan diri yang besar dari penulisnya:
Hamzah
Fansuri anak dagang
Da’im bersuhbat dengan hulubalang
Penuh dan
pepak tahu berperang
Barang
kerjanya jangan kau larang
Perubahan nada pada pengucapan penanda anak
dagangmemperlihatkan adanya pergeseran peranan pengarang atau penyair pada
akhir abad ke-17 M, khususnya sejak para sufi mengalami tekanan karena ajaran
mereka dianggap berseberangan dengan faham para fuqaha’ (ahli fiqih). Pada masa
Hamzah Fansuri seorang penulis dan ahli tasawuf memiliki kebebasan cukup besar,
sebab bisa menjadi pemimpin yang mandiri dalam lingkungan masyarakat luas.
Tetapi sesudah itu para penulis Melayu tergantung kepada para pelindungnya,
raja atau bangsawan. Dengan adanya perubahan itu pula maka penekanan terhadap
individualitas dalam penulisan karya sastra, sebagaimana telah dirintis Hamzah
Fansuri pada abad ke-16 dan
murid-muridnya pada abad ke-17 M, menjadi berkurang. Hal ini kentara dengan
jarangnya penyair Melayu pada abad ke-18
mencantumkan nama diri dan takhallus-nya dalam syair-syair yang mereka karang.
Namun pengaruh jejak kepenyairan Hamzah Fansuri
berlanjut hingga abad ke-20, khususnya pada beberapa karya penyair Pujangga
Baru seperti Sanusi Pane dan Amir Hamzah. Dengan munculnya kedua penyair ini
individualitas kembali ditekankan, sebab bagi Pujangga Baru “Mengarang adalah
mengungkapkan gerakan sukma” (Teeuw 1994). Meskipun tidak semua sajak Sanusi Pane memiliki afinitas dengan
karya penyair Melayu klasik, namun sajaknya
”Dibawa Gelombang” (Madah Kelana,
hlm. 16) akan mengingatkan pembaca pada syair Hamzah Fansuri yang juga
menggunakan tamsil perahu:
Alun membawa bidukku pelahan
Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang tidak berkawan
Entah kemana aku tak tahu
Jauh di atas bintang kemilau
Seperti sudah berabad-abad
Dengan damai mereka meninjau
Kehidupan bumi yang kecil amat
Aku bernyanyi dengan suara
Seperti bisikan angin di daun
Suaraku hilang dalam udara
Dalam laut yang beralun-alun
Memang pola bunyi akhir sajak tersebut a-b-a-b seperti pantun, namun puitikanya adalah
puitika syair. Bandingkan dengan bait-bait syair Hamzah Fansuri yang
menggunakan tamsil perahu:
Jika hendak engkau menjeling sawang
Ingat-ingat akan ujung karang
Jabat kemudi jangan kau mamang
Supaya betul ke bandar datang
Anak mu`allim tahu akan jalan
Da’im berlayar di laut nyaman
Markabmu tiada berpapan
Olehnya itu tiada berlawan
Lebih menonjol lagi, tentu saja pengaruh puisi sufi
Melayu terhadap Amir Hamzah, terutama
tamsil-tamsil dan estetika sufistiknya. Di sini akan ditunjukkan salah satu
contoh syair Melayu yang menggunakan citraan simbolik wayang karangan penyair
abad ke-17 Abdul Jamal dan membandingkannya dengan sajak “Sebab Dikau” karangan
penyair abad ke-20 Amir Hamzah. Abdul Jamal, murid Hamzah Fansuri yang
tarkemuka, menulis:
Wahdatitulah bernama bayang-bayang
Di sana nyata wayang dan dalang
Mahbub-nya lingkup pada sekalian padang
Musyahadahdi sana jangan kepalang
Dalam ”Sebab Dikau” Amir Hamzah juga menulis dengan
tamsil yang mirip:
Maka merupa di datar layar
Wayang warna menayang rasa
Kalbu rindu turut menurut
Dua suka esa–mesra–
Aku boneka
engkau boneka
Penghibur dalang
mengatur tembang
Di layar kembang
bertukar pandang
Hanya selagu, sepanjang dendang
Tiada ulasan:
Catat Ulasan