Oleh Syeikh Abdul Wahhab As-Sya'rani
(Tokoh Sufi Mesir)
MENGHINDARAI RIYA’
Orang yang ingin mencapai Tuhan
harus menghindarkan diri dari riya'.
"Riya adalah racun yang mematikan dan melebur pahala",
kata Ibrahim Al-
Matbuli. Riya mensia-siakan pahala amal dan mematikan hati.
Termasuk tanda-tanda riya, adalah
menganggap enak dalam melakukan
ibadah. Ini bertentangan dengan
watak asli manusia. Manusia, pada umumnya,
tidak akan menganggap enak dalam
melakukan ibadah, kecuali bila perbuatan
tersebut sesuai dengan seleranya.
Bila tidak, pelaksanaan ibadah akan terasa
sangat berat.Termasuk riya'
adalah melakukan amal untuk Allah tapi --masih--
dikerjakan dengan tujuan-tujuan
lain.
Abdul Qodir Ad-Dasthuthi, "Murnikantujuan
amalmu hanya kepada Allah). Jangan
ringankan masalah ini
dengan membaurkannya bersama hasrat-hasrat nafsumu. Bila tidak, amal ibadahmu
akanrusak".
Pendorong amal perbuatan manusia
biasanya ada dua; kepentingan dunia
dan akherat. Ini sesungguhnya
juga termasuk jalan menuju riya yang sangat sulit
dihindarikan. Bila kepentingan
akherat mengalahkan kepentingan duniawi,
berarti amalnya masih bercampur
dengan riya. Namun, sebahagian ulama
menyatakan, kepentingan akherat
yang mengalahkan kepentingan duniawi masih
sama artinya pekerjaan yang
melulu didorong oleh kepentingan duniawi. Ertinya,
amal tersebut tidak termaafkan;
tidak diterima.
Contoh perbuatan yang didorong
kepentingan ukhrowi dan duniawi.
Misalnya, seseorang punya
kepentingan dengan pembesar. Kebetulan pembesar
tersebut melakukan sholat jamaah
di suatu masjid pada barisan terdepan. Orang
itupun melakukan jamaah di masjid
yang sama dan pada barisan terdepan.
Niatnya, selain untuk memenuhi
kewajiban, juga agar kepentingannya dengan
pembesar tersebut dapat tercapai.
Jelas, niat ibadahnya bukan
sedekar untuk Tuhan; masih ada tujuan tujuan
lain. Bahkan tujuan lain yang
bersifat duniawi justru tampak lebih
dominan. Karena itu, para ulama
menyatakan, mentauhidkan niat adalah wajib,
agar manusia tidak terpengaruh;
boleh menyatukan fikiran dan hatinya hanya
untuk berhubungan kepada Tuhan.
Contoh lain, orang yang melakukan
ibadah agar dapat dekat kepada Tuhan.
Ini seperti melakukan pekerjaan
yang bertujuan untuk mencari upah. Ini juga
termasuk riya yang sangat halus.
Sedemikian, sehingga para ulama menyatakan,
penyakit ibadah ini sangat sulit
dirasakan. Terkadang ada orang yang telah
melakukan ibadah demikian lama
dan mencapai kedudukan di sisi Tuhan. Akan
tetapi, kemudian ditolak,
"Kembalilah! Kamu bukan termasuk ahli ibadah".
Sesungguhnya, ibadah yang benar adalah melakukan amal perbuatan
semata-mata
hanya untuk memenuhi perintah dan hak-hak Allah swt.
Contoh lain dari riya adalah
orang yang mengaku punya kedudukan
tertentu di sisi Tuhan, padahal
ia sebenarnya belum mencapai derajat itu. Atau,
telah mencapai derajat yang
dikatakan namun belum boleh diberitahukan.
Pengakuan ini akan mendatangkan
siksaan dan menghalangi orang tersebut dari
kedudukan yang diklaimnya.
Selamanya, ia tidak akan bisa mencapai derajat yang
dikatakan.
Yang lain lagi adalah merasa
senang bila amalnya dapat dilihat orang.
Perasaan ini adalah penyakit yang
sangat berbahaya. Menurut Abu Hasan As-
Syadzili, amal yang disertai perasaan senang seperti ini tidak
bisa menambah
kedudukannya di sisi Tuhan, melainkan justru mendatangkan murka
dan semakin
menjauhkan dari-Nya.
Persoalan ini jarang disadari dan
dimengerti oleh manusia. Karena itu, para
ulama mewajibkan seseorang untuk
senantiasa merahasiakan amal perbuatan
baiknya, sehingga ia kuat dan
siap untuk melakukan perbuatan dengan ikhlas.
Terkadang memang ada seseorang
yang melakukan perbuatan tertentu sehingga
dia dipuji masyarakat; dan dia
tidak menghendaki pujian itu. Dengan itu, ia
mengira bahwa dirinya sudah
termasuk orang yang ikhlas. Maka, hal inipun
termasuk juga riya'.
Atau, ada orang yang menolak
pemberian demi menjaga kehormatan
dirinya. Dia kemudian dipuji
masyarakat. Ia sendiri tidak menghendaki pujian itu,
tetapi kemudian memperhatikannya.
Maka perbuatan inipun kembali kepada riya',
walau pada asalnya tidak ada
maksud demikian.
Contoh model riya lain yang samar
adalah meninggalkan amal ibadah
karena manusia. Fudail ibn Iyadh
berkata;
“Meninggalkan amal karena manusia adalah riya dan melakukan amal
karena
manusia adalah syirik. Apa yang dinamakan ahlas adalah kamu
menjaga dari
keduanya".
Maksudnya, orang yang hendak
melakukan ibadah kemudian diurungkan
karena khawatir pujian manusia,
maka itu termasuk riya’. Sebab, ia berarti telah
meninggalkan sesuatu karena
manusia; bukan karena Allah. Akan tetapi, bila
meninggalkan ibadah tersebut
untuk kemudian melakukannya di tempat yang sepi
agar tidak diketahui orang maka
itu adalah lebih baik. Namun, untuk ibadah ibadah
wajib, atau bila orang yang
bersangkutan termasuk pembesar atau pemuka
masyarakat yang selalu diikuti,
maka hal itu lebih baik dilakukan secara terang terangan.
Contoh lain dari riya adalah
menceritakan kebaikan-kebaikan dimasa lalu,
tanpa ada maksud-maksud tertentu
yang boleh dibenarkan menurut agama.
Sesungguhnya, mengungkap kembali
kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukan
dimasa lalu tanpa ada tujuan yang
boleh dibenarkan, boleh merubah amal tersebut
dalam bentuk riya.
Ali al-Khowash menyatakan, jangan
sampai seseorang mengungkit-ungkit
kembali atau menceritakan amal
baik yang pernah dilakukan. Sebab, hal itu sama
artinya dengan riya. Ia boleh
melebur pahala amalnya yang telah lalu. Namun,
kesalahan ini bisa dipulihkan;
dengan taubat. Bila seseorang bertaubat dengan
benar dan sungguh-sungguh, maka
amal yang telah dilakukan akan kembali
menjadi amal yang sah, dengan
kehendak Allah.
Termasuk bentuk riya lain yang
amat samar adalah menghentikan senda
gurau yang diperbolehkan agama,
karena munculnya orang yang disegani.
Fudail ibn Iyadh berkata, "Seandainya
dikabarkan padaku bahwa seorang pemimpin
tinggi akan datang, kemudian aku merapikan rambut dan jenggotku,
sungguh aku
takut bahwa hal itu akan menyebabkan aku ditulis sebagai orang
yang munafiq".
Karena itu, hendaknya seseorang
tidak menghentikan senda-guraunya yang
diperbolehkan agama hanya karena
masuknya orang yang disegani, kecuali dengan
niat baik. Sesungguhnya,
terbukanya rahasia seseorang ditangan pemimpin atau
orang yang disegani adalah lebih
baik daripada berlaku munafiq.
Yang termasuk riya halus yang
lain lagi, adalah menundukkan kepala dan
berlaku khusyuk karena munculnya
seseorang.
Ali Al-Khowash berkata,
"Bila seorang pemimpin datang dan kalian sedang bertasbih,
maka jangan
kamu teruskan bacaan tasbihmu kecuali dengan niat baik.
Hati-hatilah, jangan
bersendagurau melupakan Allah, tetapi buru-buru membaca tasbih
begitu
seseorang yang disegani muncul. Tanpa didasari niat baik, maka
perbuatan seperti
itu justru akan menghancurkan semua amal perbuatan".
Tiada ulasan:
Catat Ulasan