Suatu saat seorang sahabat bertanya kepada Baginda Nabi s.a.w tentang
takdir.
Sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah s.a.w,
aku mengerjakan shalat, shalat yang sedang aku kerjakan itu, adakah urusan yang
sudah rampung dan sudah ditentukan Allah sejak zaman azali ataukah yang
ditakdirkan baru pada saat kejadian itu?”, Rasul s.a.w menjawab: “Bahkan itu
adalah urusan yang sudah rampung dan sudah ditentukan pada zaman azali“. Kemudian
sahabat bertanya lagi: “Lantas apa arti pekerjaan yang aku kerjakan itu?”
Baginda Nabi s.a.w menjawab dengan sabdanya:
“Berbuatlah,
maka sesungguhnya segala sesuatu akan dimudahkan bagi apa yang akan diciptakan
baginya”
Lalu Beliau s.a.w meneruskan: “Apabila dari golongan orang-orang yang akan mendapatkan kebahagiaan,
maka ia dimudahkan untuk berbuat amal kebaikan dan apabila dari golongan yang
akan mendapat kecelakaan ia akan dimudahkan untuk berbuat sesuatu yang
menjadikan sebab celaka”.
Kemudian Beliau s.aw membaca ayat (QS. al-Lail; 92/5-10):
“Adapun yang memberikan dan bertakwa
dan membenarkan kebaikan maka akan Kami mudahkan kepada jalan kemudahan
adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup dan mendustakan
kebaikan maka akan Kami sukarkan dari jalan kemudahan”(QS. al-Lail.92/5-10)
(HR. Muslim)
Apa saja yang sedang dikerjakan oleh seseorang, sesungguhnya itu
merupakan takdir Allah s.w.t yang sudah ditentukan sejak zaman azali. Hadits di
atas merupakan penegasan, jika orang ingin mengetahui takdir Allah untuk
dirinya, hendaknya mereka mencarinya di dalam usaha atau amal.
Apabila ada takdir, berarti mereka akan dimudahkan di dalam jalan kemudahan,
namun jika tidak, berarti mereka akan dimudahkan di dalam jalan kesulitan, dan
jika orang tersebut ingin mendapatkan kemudahkan, maka ia harus menempuh tiga
hal, yakni memberi, bertakwa dan membenarkan kebenaran.
Sungguh, betapa sabda Nabi s.a.w di atas ternyata merupakan konsep dasar
untuk menguak tabir misteri alam takdir yang selama ini seakan-akan hanya
menjadi teka-teki. Konsep tersebut mampu menjadi kunci rahasia untuk membuka
pintu rahasia kehendak Allah yang azaliah.
Bahkan membuka gerbang pertama untuk memasuki kebun-kebun surga yang
dibentangkan di dunia. Dengan memahami bagian dari alam takdir ini, dengan izin
Allah hati seorang hamba selamanya tidak akan menjadi bingung dalam mensikapi
tantangan hidup yang harus dijalani.
Kunci rahasianya ternyata terselip dalam kata ‘usaha’. Konkritnya,
manakala seseorang mempunyai kemauan kuat untuk berbuat kebajikan dan
ditindaklanjuti dengan usaha, apabila kemudian Allah menurunkan pertolongan
baginya sehingga usaha itu dapat dilaksanakan dengan mudah, maka berarti orang
tersebut mendapatkan takdir baik dari-Nya.
Namun sebaliknya, jika manusia tidak mempunyai kehendak baik, hidupnya
hanya diisi dengan kejelekan-kejelekan, bahkan selalu berbuat kejahatan kepada
sesame manusia, maka itulah pertanda bahwa takdir yang berlaku bagi dirinya
adalah takdir jelek.
Meskipun demikian, apabila kemudian ia mau sadar dan bertaubat dengan
taubatan nasuha serta memperbaiki kejelekan-kejelekan itu dengan kabaikan, dan
Allah menerima taubat serta menolongnya untuk melaksanakan kebaikan sehingga
benar-benar ia menjadi orang yang mampu berbuat kebaikan, maka berarti ia telah
kembali mendapatkan takdir baik.
Kalau anda bertanya, seakan-akan takdir itu bergantung kepada kemauan
kita, memang demikianlah adanya, jika tidak percaya silahkan mencoba. Seperti
ketika anda melihat orang melakukan sholat malam dengan tekun dan istiqamah
misalnya, coba lakukan yang seperti itu. Tentunya terlebih dahulu anda harus
mempelajari ilmunya supaya jalan yang anda lalui tidak berbeda dengan jalan
orang tersebut.
Kalau ternyata anda bisa melakukannya berarti takdir untuk anda sama
dengan takdir untuk orang tersebut, kalau ternyata tidak, berarti yang berbeda
memang takdirnya, bukan ilmu dan usahanya. Manusia boleh berusaha, namun Allah
yang akan menentukan keberhasilan usaha itu.
Di balik keberhasilan itulah rahasia takdir disembunyikan. Jadi, meski
“rahasia takdir” itu sudah ditentukan Allah s.w.t sejak zaman azali, namun
pintunya sesungguhnya dapat dibuka manusia sejak di dunia, yakni melalui usaha.
Apabila ada orang hidupnya hanya diam saja. Malas dan tidak mau bekerja,
tidak mau menuntut ilmu dan berusaha, sehingga nasibnya menjadi terlunta-lunta
penuh derita. Dia tertolak di mana-mana karena tidak mempunyai dasar kemampuan
apa-apa. Jika demikian, maka orang tersebut jangan menyalahkan siapa-siapa,
barangkali rahasia takdir jelek itu bermula dari sifat malas yang tidak mampu
dia perangi.
Oleh karena itu, di samping kita harus mampu mengusir sifat malas yang
memang seringkali datang dengan tiba-tiba, kita juga harus mampu menempatkan
diri pada lingkungan yang baik, karena terkadang dari lingkungan baik itu dapat
mencetak karakter manusia. Barangkali dari usaha itu pintu takdir baik tersebut
sedikit demi sedikit akan terbuka bagi kita.
Jadi, ketika kita terlanjur berbuat kejahatan, berarti sejak itu kita
telah menggoreskan catatan untuk terjadinya sebuah proses takdir buruk bagi
kita sendiri. Jika kita tidak berusaha cepat-cepat menghapusnya kembali dengan
melaksanakan taubat kepada Allah sampai bekas-bekas goresan itu benar-benar
bersih dari lembaran kehidupan kita, maka berarti kita telah membiarkan takdir
jelek itu berangsur-angsur akan menghancurkan hidup kita sendiri.
Satu rahasia takdir adalah apa yang telah disampaikan
Rasulullah s.a.w
Diriwayatkan
dari Abdullah bin Mas’ud r.a berkata: Rasulullah s.a.w adalah seorang yang
benar serta dipercaya telah bersabda: Kejadian seseorang itu dikumpulkan di
dalam perut ibunya selama 40 hari. Setelah genap 40 hari yang kedua
terbentuklah segumpal darah. Kemudian setelah genap 40 hari ketiga menjadi
menjadi segumpal daging. Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh
serta memerintahkan menulis empat perkara yaitu ditentukan rizkinya, ajal
kematiannya, amalan serta nasibnya, yaitu akan mendapat kecelakaan atau
kebahagiaan. Maha suci Allah tiada Tuhan selain-Nya.
Seandainya seseorang mengerjakan amal sebagaimana yang dilakukan penghuni
surga sehingga kehidupannya hanya tinggal satu langkah menuju ke surga, tetapi
disebabkan ketentuan takdir yang terdahulu, niscaya dia akan melakukan amalan
sebagaimana yang dilakukan oleh penghuni Neraka sehingga dia memasukinya.
Begitu juga dengan mereka yang melakukan amalan ahli Neraka, disebabkan
ketentuan takdir yang terdahulu niscaya dia akan melakukan amal sebagaimana
yang dilakukan oleh penghuni surga sehingga dia memasukinya.
Di dalam sabdanya di atas, Rasulullah s.a.w menyatakan, bahwa jalan hidup
seseorang sudah ditentukan Allah s.w.t semenjak proses kejadiannya di rahim
ibunya. Yakni sejak malaikat diutus meniupkan ruh kehidupan, sekaligus juga
diutus menulis empat perkara yang akan terjadi dalam kehidupan anak manusia
tersebut. Ditentukan rizkinya, ajal kematiannya, amal perbuatan serta nasib
hidupnya. Menjadi orang yang celaka atau orang yang beruntung.
Rasulullah s.a.w bahkan menegaskan: “Maha suci Allah yang tiada Tuhan selain-Nya. Seandainya seseorang mengerjakan amal kebaikan sebagaimana yang dilakukan oleh penghuni surga sehingga hanya tinggal satu langkah dia menuju ke surga, tetapi disebabkan ketentuan takdir yang terdahulu, niscaya dia akan melakukan amalan kejelekan sebagaimana yang dilakukan oleh penghuni Neraka sehingga mengakibatkan dimasukkan ke neraka, dan begitu pula sebaliknya”.
Dalam kaitan takdir tersebut, ketika suatu saat Nabi Musa a.s bertanya
kepada Nabi Adam a.s atas kekhilafan yang diperbuat oleh Nabi Adam di surga
hingga menyebabkan umat manusia harus menjalani kehidupan di dunia untuk
sementara waktu, Nabi Adam a.s berhujjah kepada Nabi Musa. Allah mengabadikan
dialog tersebut melalui sebuah hadits Nabi, Rasulullah s.a.w bersabda:
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah r.a berkata: “Rasulullah s.a.w bersabda: “Nabi Adam berhujjah
kepada Nabi Musa a.s, Nabi Musa a.s berkata: “Wahai Adam, engkau adalah
bapakku. Engkau telah menyia-nyiakan aku dan engkau keluarkan aku dari surga”.
Nabi Adam menjawab: “Kamu hai Musa. Allah telah memilihmu dengan kalam-Nya.
Allah menulis untukmu dengan tangan-Nya (kuasa). Apakah kamu akan mencela aku
terhadap sesuatu yang telah ditetapkan Allah sejak empat puluh tahun sebelum
aku diciptakan?. Nabi s.a.w bersabda: “Akhirnya Nabi Adam a.s tetap berhujjah
(mengemukakan dalil) dengan Nabi Musa a.s Akhirnya Nabi Adam a.s tetap berhujah
(mengemukakan dalil) dengan Nabi Musa a.s
Jauh sebelum diciptakan, manusia sudah ditentukan oleh Allah —sebagai
qodlo’-Nya—menjadi kholifah-Nya di muka bumi. Allah telah menegaskan hal
tersebut dengan Firman-Nya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”
Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. QS:2/30.
Padahal saat penciptaannya, kehidupan manusia pertama itu oleh
Allah—sebagai qodar-Nya—ditempatkan di surga. Dengan demikian, maka tidak bisa
tidak, Nabi Adam a.s dan istrinya pada saatnya pasti harus turun ke bumi, hal
tersebut karena mengikuti suratan takdir yang sudah ditetapkan sejak zaman
azali.
Adapun penyebab seseorang harus turun dari kebahagiaan menuju
kesengsaraan dan penderitaan panjang, oleh karena Allah tidak berbuat dzolim
kepada hamba-Nya, maka proses kejadian tersebut tentunya harus mengikuti
perbuatan manusia itu sendiri, yakni melalui hak “hurriyatul irodah” (kebebasan
memilih) yang telah diberikan kepadanya.
Artinya, dengan kesadaran penuh (nafsu dan akalnya atau rasional dan
emosional) manusia telah menentukan pilihan hidupnya, namun oleh karena pilihan
hidup itu ternyata salah, maka manusia akan menanggung akibat dari kesalahan
itu. Yang demikian itu sunatullah, sejak sunnah itu ditetapkan tidak akan ada
perubahan lagi untuk selama-lamanya. Sedikitpun Allah s.w.t tidak berbuat
dzalim kepada hamba-Nya.
Kalau kemudian turunnya Nabi Adam a.s dan istrinya Siti Hawa dari surga
ke bumi ternyata akibat perbuatan dosa, meski perbuatan tersebut kemudian
menyebabkan keduanya menerima musibah, namun demikian, kalau dengan penderitaan
itu ternyata manusia mampu mengambil pelajaran sehingga dapat menjadikan
hidupnya lebih baik, dalam arti pengalaman pahit itu menjadikan dirinya dapat
lebih meningkatkan ketakwaan kepada Allah, maka berarti kehilafan tersebut
hakekatnya adalah kebaikan bukan keburukan.
Terlebih apabila ternyata penderitaan hidup akibat kesalahan itu mampu
menempa jiwanya menjadi dewasa dan mapan, maka penderitaan itu bukan musibah
tapi pelatihan atau tarbiyah. Hal itu disebabkan, karena nilai sebuah amal
bergantung kepada hasil akhirnya. Jika hasil akhirnya berupa kebaikan, maka
apapun bentuknya, berarti amal itu adalah kebaikan, kalau hasil akhirnya buruk,
maka apapun bentuknya, berarti amal itu adalah kejelekan.
Sejak di surga sesungguhnya Nabi Adam a.s sudah dibekali oleh Allah
ilmu yang tinggi bahkan lebih tinggi dibanding ilmu yang diberikan kepada
sebagian malaikat. Allah s.w.t menyatakan hal itu dengan firman-Nya:
“Dan
Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman : “Sebutkanlah kepada-Ku
nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!” – Mereka
menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang
telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqoroh(2)31-32).
Ilmu yang pertama itu adalah ilmu teori atau ilmu rasionalitas, namun
ilmu tersebut sesungguhnya belum cukup untuk menjadikan manusia berbuat taat
kepada Tuhannya, ternyata ilmu pengalaman juga harus dimiliki. Dalam kaitan
agama ilmu pengalaman itu disebut ilmu rasa atau ilmu spiritual. Dengan ilmu
spiritual inilah, ilmu teori yang sudah ada diharapkan dapat menghasilkan
kemanfaatan yang optimal bagi manusia.
Yakni meningkatkan kualitas iman sehingga mampu menghasilkan keyakinan
yang kuat untuk mencapai kedewasaan jiwa. Dengan kedua ilmu tersebut manusia
harus mampu menjalani suratan takdir yang sudah ditentukan Allah sejak zaman
azali, baik dari aspek jelek maupun aspek baiknya. Dengan kedua ilmu itu
manusia harus mampu mensiasati nafsu syahwat dan menjaga diri dari setiap
godaan kehidupan, baik dari tipu daya kehidupan duniawi maupun setan.
Barangkali untuk mendapatkan ilmu rasa tersebut, maka Nabi Adam a.s—oleh
suratan takdir hidupnya—memang terlebih dahulu harus mencicipi pahitnya
kehidupan di dunia. Dengan itu supaya kemudian beliau mampu merasakan manisnya
pahala di akhirat, ketika beliau telah dikembalikan lagi di surga.
Penderitaan hidup akibat perbuatan dosa tersebut supaya bisa dijadikan
pembelajaran bagi jiwa sehingga hati manusia menjadi yakin akan hukum-hukum
yang harus ditaati dalam hidupnya. Peristiwa sejarah kemanusiaan tersebut
merupakan contoh pertama dalam lembaran sejarah kehidupan manusia pertama yang
dapat menjadikan pelajaran yang sangat berharga bagi orang yang mampu
memperhatikan dan menelaah serta mengambil pelajaran darinya.
Kalau kemudian Nabi Adam a.s ternyata mampu menjalani awal kehidupannya
di dunia, walau perjalanan itu penuh dengan penderitaan dan kesulitan. Yakni
dengan sendirian mencari lahan yang terbentang luas dan sekaligus membukanya
untuk bercocok tanam. Menanam bibit di tanah garapan dan baru dapat dimakan
hasilnya ketika saat panennya telah tiba. Dan berbagai macam tantangan
kehidupan yang harus dihadapi. Hal itu disebabkan, karena sejatinya Nabi Adam
a.s telah terlebih dahulu mengenali jalan hidup yang harus ditempuh itu.
Yakni, bahwa akibat dosa yang telah diperbuat sehingga manusia harus
diturunkan dari kebahagiaan ke dalam jurang penderitaan, namun dengan itu
manusia harus mengetahui, apabila mereka ingin dikembalikan kepada kebahagian
yang abadi, dimasukkan surga yang dahulu pernah ditinggalkan, maka tidak ada
jalan lain kecuali terlebih dahulu mareka harus mampu bertaubat dari segala
dosa dan kesalahan.
Bahkan tidak culup itu saja, mereka juga harus memperbaiki perilaku,
membangun diri dengan amal bakti, dengan itu supaya tidak kembali terjebak tipu
daya setan yang pernah menurunkannya dari surga.
Jika hal tersebut harus terjadi, maka supaya di dalam lembaran hidup
manusia tidak hanya ada ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup saja, namun juga
karya utama yang dapat dibanggakan di kemudian hari di hadapan Tuhannya. Lalu
Allah menurunkan pelajaran bagi Nabi Adam a.s dengan apa yang telah dinyatakan
di dalam Firman-Nya:
“Kemudian
Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. QS. al-Baqoroh;
2/37.
Nabi Adam a.s kemudian menindaklanjuti pelajaran itu dengan amal bakti
dan taubatan nasuha, Beliau bermunajat dengan kalimat:
“Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”. QS. al-A’raaf; 7/23.
“Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”. QS. al-A’raaf; 7/23.
Untuk meningkatkan kedewasaan jiwa itu ternyata tidak cukup hanya dengan
melahirkan penyesalan dalam hati saja, namun juga harus mampu diaktualisasikan
di dalam amal ibadah kongkrit. Yakni berzikir, bermunajat, memohon ampun dan
bertaubat dengan taubatan nasuha serta memperbaiki diri dari setiap kesalahan
yang sudah diperbuat, sampai Allah yang Maha Pengampun benar-benar menerima
taubat hamba-Nya.
Penerimaan mana yang tanda-tanda dapat dirasakan dalam hati, yaitu dengan
kedamaian dan kesejukan yang meresap dalam sanubari yang mampu mengusir
keraguan sehingga menciptakan gairah baru untuk berbuat amal sholeh dan
pengabdian. Seperti tanah kering karena lama tidak turun hujan, ketika hujan
datang, tidak hanya kesejukan yang dirasakan, namun juga, tanah yang asalnya
tandus itu menjadi subur dan siap tanam.
Inilah pelajaran pertama yang diturunkan Allah Rabbul ‘Alamin kepada umat
manusia. Dari peristiwa yang asalnya sudah ghaib kemudian dinyatakan kembali
dengan Firman-Nya. Diabadikan di dalam kitab suci yang abadi sepanjang masa,
al-Qur’an al-Karim. Yaitu sejarah perjalanan hidup manusia pertama yang di
dalamnya ada mutiara hikmah yang dapat dijadikan pelajaran dasar dan suri
tauladan oleh umat selanjutnya. Dengan itu supaya manusia dapat mengambil
pelajaran darinya.
Mutiara hikmah itu ialah, bahwa manusia memang selamanya tidak akan sepi
dari kesalahan dan dosa. Meski manusia telah memulai hidupnya dengan kesalahan
dan dosa sehingga mengakibatkan duka dan derita, namun apabila dengan
penyesalan yang mendalam ternyata dosa dan kesalahan itu mampu menjadikan sebab
mereka melaksanakan taubatan nasuha yang diterima di sisi Allah serta merubah
kebiasaan buruk, baik karakter maupun perbuatan, menjadi kebaikan dan akhlakul
karimah yang dapat meningkatkan ketakwaan dalam hati, maka disinilah letak
rahasia “mutiara hikmah” yang sangat berharga itu. Mutiara hikmah yang
terpendam itu harsu menjadi pembelajaran hidup yang akan bermanfaat bagi
pendewasaan jiwa manusia.
Walhasil, barangsiapa mampu menelaah dan meneladani peristiwa sejarah
manusia pertama itu, kemudian menerapkannya dalam kehidupan dengan benar dan
arif, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan sebagaimana yang didapatkan
pendahulunya.
Dalam arti bukan dosa dan kesalahannya yang diteladani, namun bagaimana
cara menyikapi dosa-dosa dan kesalahan itu. Dosa dan kesalahan tersebut memang
terkadang suka memaksa manusia untuk mengerjakannya. Karena yang pasti, tidak
selamanya manusia mampu menghindarkan diri dari berbuat kesalahan dan dosa.
Maha Besar Allah dengan segala penciptaan-Nya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan