PENYEBAR
TAREKAT QADIRIYYAH PERTENGAHAN ABAD KE 16 DAN AWAL KE 17
Hamzah Fansuri adalah seorang tokoh intelektual dan
kerohanian terkemuka pada zamannya. Dia dilahirkan di tanah Fansuri atau Barus
dan diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 dan 17 M. Sejak akhir abad
ke-16 M tanah kelahirannya masuk ke dalam wilayah ke Kerajaan Aceh Darussalam.
Menurut Ali Hasymi (1984), bersama saudaranya, Ali Fansuri, dia mendirikan
sebuah dayah (pesantren) besar di daerah Singkil, tidak jauh dari tempat kelahirannya.
Mula-mula Hamzah Fansuri mempelajari tasawuf setelah
menjadi anggota tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani
dan dalam tarekat ini pula dia dibai’at.Setelah mengembara ke berbagai pusat
Islam seperti Baghdad, Mekkah, Medinah dan Yerusalem, dia kembali ke tanah
airnya serta mengembangkan ajaran tasawuf sendiri. Ajaran tasawuf yang
dikembangkannya banyak dipengaruhi pemikiran wujudiyah Ibn `Arabi, Sadrudin
al-Qunawi dan Fakhrudin `Iraqi. Sedangkan karangan-karangan sastranya banyak dipengaruhi
Fariduddin al-Aththar, Jalaluddin al-Rumi dan Abdur Rahman al-Jami.
Jika benar Syekh al-Fansuri wafat pada 1630 atau
1636 M, sebagaimana diduga beberapa sarjana, berarti dia menyaksikan mekarnya
Aceh Darussalam sebagai kerajaan Islam besar di Asia Tenggara di bawah
pemerintahan dua rajanya yang masyhur, Sultan Sayyid al-Mukammil (1590—1603 M)
dan Iskandar Muda (1607—1636 M). Ketika
itu Aceh Darussalam menjadi pusat penulisan
kitab keagamaan, ilmu pengetahuan dan sastra. Bahasa Melayu memainkan peranan penting sebagai bahasa komunikasi intelektual
mendampingi peranan bahasa Arab.
Syeikh Hamzah al-Fansuri, namanya di Nusantara di
kalangan Ulama dan Sarjana penyelidik keislaman tak asing lagi. Hampir semua
penulis sejarah Islam mencatat bahwa Syeikh Hamzah Fansuri dan muridnya syeikh
Syamsuddin Sumatrani adalah termasuk tokoh sufi yang sefaham dengan al-Hallaj.
Faham hulul, ittihad, mahabbah dan lain-lain.
Syeikh Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan,
ulama tasawuf, dan budayawan terkemuka yang diperkirakan hidup antara
pertengahan abad ke-16 sampai awal abad ke-17. Nama gelar atau takhallus yang
tercantum di belakang nama kecilnya memperlihatkan bahwa pendekar puisi dan
ilmu suluk ini berasal dari Fansur, sebutan orang-orang Arab terhadap Barus,
sekarang sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara kota
Sibolga dan Singkel. Sampai abad ke-16 kota ini merupakan pelabuhan dagang
penting yang dikunjungi para saudagar dan musafir dari negeri-negeri jauh.
Sayang sekali bukti-bukti tertulis yang dinyatakan
kapan sebenarnya Syeikh Hamzah Fansuri lahir dan wafat, ada pendapat yang
menemukan makam beliau di Ujong Pancu Aceh, ada juga di subulussalam aceh, dan
ada juga pendapat, makam Hamzah ada di Babul Ma'la, yakni komplek mpemakaman
"elit" di Makkah. ia dibaringkan dalam satu komplek besama dengan
Khatijah, Aishay, Fatimah dan keluarga nabi dan sahabatnya yang lain. ini
disebabkan kebesaran dan pengaruhnya di Arab pada masa itu (abat XV).
Dari syair dan dari namanya sendiri sudah sekian
lama berdominasi di Fansur, dekat Singkel, sehingga mereka dan turunan mereka
pantas digelari Fansur. Konon saudara Hamzah Fansuri bernama Ali Fansuri, ayah
dari Abdur Rauf Singkel Fansuri. Pada ahli cenderung memahami dari syair bahwa
Hamzah Fansuri lahir di tanah Syahrmawi, tapi tidak ada kesepakatan mereka
dalam mengidentifikasikan tanah Syahrmawi itu. Ada petunjuk tanah Aceh sendiri
ada yang menunjuk tanah Siam, dan bahkan ada sarjana yang menunjuk negeri
Persia sebagai tanah yang di Aceh oleh nama Syamawi.
Kiranya namanya di Nusantara di kalangan ulama dan
sarjana penyelidik keislaman tak asing lagi. Hampir semua penulis sejarah Islam
mencatat bahwa Syeikh Hamzah Fansuri dan muridnya Syeikh Syamsuddin Sumatrani
adalah dengan al-Hallaj, faham hulul, ittihad, mahabbah dan lain-lain adalah
seirama. Syeikh Hamzah Fansuri diakui seorang pujangga Islam yang sangat
populer di zamannya, sehingga kini namanya menghiasi lembaran-lembaran sejarah
kesusasteraan Melayu dan Indonesia. Namanya tercatat sebagai tokoh kaliber
besar dalam perkembangan Islam di nusantara dari abadnya hingga ke abad kini.
Dalam buku-buku sejarah mengenai Aceh namanya selalu diuraikan dengan panjang
Karya-karyanya
Hamzah Fansuri menghasilkan karya tulis yang banyak,
akan tetapi karya-karya tulisnya itu bersama karya-karya tulis Syamsuddin
Sumatrani, dibinasakan (dibakar) berdasarkan perintah Sultan Iskandar Sani atau
anjuran Huruddin al-Riniri, mufti dan penasehat agama di Istana Sultan tersebut
Di antara syair-syair Syeikh Hamzah Fansuri
terkumpul dalam buku-buku yang terkenal, dalam kesusasteraan Melayu / Indonesia
tercatat buku-buku syairnya antara lain :
Syair Burung Pingai
Syair Dagang
Syair Pungguk
Syair Sidang Faqir
Syair Ikan Tongkol
Syair Perahu
Karangan-karangan Syeikh Hamzah Fansuri yang
berbentuk kitab ilmiah antara lain :
Asfarul ‘arifin fi bayaani ‘ilmis suluki wa tauhid
Syarbul ‘asyiqiin
Al-Muhtadi
Ruba’i Hamzah al-Fansuri
Dan lain-lain
Puisi-puisi penyair sufi biasanya tidak lengkap
tanpa disertai tanda-tanda kesufian seperti, faqir, asyiq dan lain sebagainya.
Tanda serupa ini kita jumpai di dalam sajak-sajak Hamzah Fansuri. Di antara
tanda kesufian yang banyak ditemukan di dalam syair-syair Hamzah Fansuri ialah
anak dagang, anak jamu, anak datu, anak ratu, orang uryani, ungkas quddusi, dan
kadang-kadang digunakan dengan nama pribadinya seperti Hamzah Miskin, Hamzah
Gharib dan lain-lain.
Ungkapan
Salah satu ciri penting yang melekat pada
karya-karya penyair mistik atau sufistik sejak dahulu ialah ungkapan-ungkapan
yang mengandung paradoks, dalam tradisi sufi bentuk-bentuk ungkapan paradoks
muncul pertama kali dalam ucapan-ucapan teofani (yathiyat) bayazid, al-Hallaj,
al-Miffaru, Ibn ‘Arabi dan lain-lain. Di dalam syair-syairnya Hamzah Fansuri
sering menampilkan ucapan-ucapan syathyat bayazid dan al-Hallaj, dua wira sufi
yang diteladaninya. Ucapan-ucapan terkenal kedua sufi itu ialah “subhani!”
(terpujilah daku) dan “Ana al-Haqq” (aku ialah kebenaran kreatif). Selain
berfungsi memadatkan pengucapan puitik, kutipan ucapan syathiyat ini memberikan
suasana ekstase atau kegairahan mistik dan juga untuk mengukuhkan tafsir
sufistik penyair terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan hadits qudsi yang terdapat di
dalam bait-bait sebelumnya, misalnya di dalam ikatan-ikatan yang menggambarkan
pengalaman fana penyair.
Sabda
rusul Allah Nabi kamu
Lama’a
Allah sekali waqtu
Hamba
dan Tuhan menjadi satu
Inilah
‘arif bernama tahu
Kata
Bayazid terlalu ali
Subhani
maa’zamasha’ni
Inilah
ilmu sempurna fani
Jadi
senama dengan hayy al Baqi
Kata
mansur penghulu asyiq
aitu
juga empunyai nathiq
Kata
ini siapa la’iq
Mengatakan
diri akulah khaliq
Dengarkan
dirimu hai orang yang kamil
Jangan
menuntut ilmu yang bathil
Tiada
bermanfaat kata yang jahil
Ana’al
haqq mansur itulah washil
Hamzah
Fansuri terlalu karam
Ke
dalam laut yang maha dalam
Berhenti
angin ombaknya padam
Menjadi
sultan pada kedua laman
Di bidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra
Syeikh Hamzah Fansuri telah pula mempelopori penerapan metode takwil atau
hermeneutika keruhanian, kepiawaian Syeikh Hamzah Fansuri di bidang
hermeneutika terlihat di dalam Asrar al-‘arifin (rahasia ahli makrifat), sebuah
risalah tasawuf klasik paling berbobot yang pernah dihasilkan oleh ahli tasawuf
nusantara, disitu Syeikh Hamzah Fansuri memberi tafsir dan takwil atas puisinya
sendiri, dengan analisis yang tajam dan dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup
metafisika, teologi, logika, epistemologi dan estetika. Asrar bukan saja
merupakan salah satu risalah tasawuf paling orisinal yang pernah ditulis di
dalam bahasa Melayu, tetapi juga merupakan kitab keagamaan klasik yang paling
jernih dan cemerlang bahasanya dengan memberi takwil terhadap syair-syairnya
sendiri Syeikh Hamzah Fansuri berhasil menyusun sebuah risalah tasawuf yang
dalam isinya dan luas cakrawala permasalahannya
Ajaran
Wujudiyah
Peranan penting Syeikh Hamzah Fansuri dalam sejarah
pemikiran dunia Melayu Nusantara bukan saja karena gagasan tasawufnya, tetapi
puisinya yang mencerminkan pergulatan penyair menghadapi realitas zaman dan
pengembaraan spiritualnya. Salah satu karya penting dari Syeikh Hamzah Fansuri
adalah Zinat al-Wahidin yang ditulis pada akhir abad ke-16 ketika perdebatan
sengit antara faham wahdatul wujud sedang berlangsung dengan tegang di
Sumatera. Teks ini diyakini oleh para peneliti sebagai kitab keilmuan pertama
yang ditulis dalam bahasa Melayu. Syeikh Hamzah Fansuri juga dikenal sebagai
seorang pelopor dan pembaharu melalui karya-karya Rubba al-Muhakkikina, Syair
Perahu dan Syair Dagang. Kritiknya yang tajam terhadap perilaku politik dan
moral raja-raja, para bangsawan dan orang-orang kaya menempatkannya sebagai
seorang intelektual yang berani pada zamannya
Sebagai seorang tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri pernah
memperlihatkan dalam karya-karyanya bahwa Syeikh mempunyai hubungan dengan
tasawuf yang berkembang di India pada abad ke-16 dan 17. Syeikh Hamzah Fansuri
langsung mengaitkan dirinya dengan ajaran para sufi Arab dan Persia sebelum
abad ke-16. Bayazid dan al-Hallaj merupakan tokoh idola Syeikh Hamzah Fansuri
di dalam cinta (‘isyq) dan ma’rifat, dipihak lain Syeikh sering mengutip
pernyataan dan syair-syair Ibnu ‘Arabi serta Iraqi untuk menopang pemikiran
kesufiannya. Hubungan Syekh Hamzah Fansuri dengan para penulis jarang sekali
memperoleh perhatian para sarjana tasawuf di Indonesia. Padahal selain Ibnu
‘Arabi pemikir sufi yang banyak memberi warna pada pemikiran wujudiyah. Syeikh
ialah Fakhruddin Iraqi. Seringnya Syeikh menyebut dan mengutip lama’at lama’at
karya Iraqi, memperlihatkan adanya perhatian istimewa antara pandangannya
dengan pandangan Iraqi
Yang selalu disangga oleh orang tentang ajaran
Hamzah Fansuri ialah karena faham “wahdatul wujud”, “hulul”, “ittihad”
karenanya terlalu mudah orang-orang mengecapnya sebagai seorang zindiq, sesat,
kafir, dan sebagainya. Ada orang yang menyangka bahwa beliau adalah pengikut
faham syi’ah, ada juga yang mempercayai bahwa ia adalah bermadzab syafi’i di
bidang fiqih, dalam pegangan tasawuf, beliau pengikut thariqat Qadiriyah yang
dibangsakan kepada Syeikh Abdul Qodir Jailani
Walaupun pemikiran wujudiyah telah berakar lama di
dalam pemikiran para sufi sebelum abad ke13 seperti Hallaj, Imam al-Ghazali dan
Ibn ‘Arabi, namun pemakaian istilah wahdatul wujud sebagaimana kita kenal
sekarang ini bukan berasal dari Ibn ‘Arabi, istilah tersebut mula-mula
dikemukakan oleh Qunawi setelah melakukan tafsir yang mendalam atas karya-karya
Ibn ‘Arabi. Istilah Wahdatul Wujud (dari mana istilah wahdatul wujud berasal)
dikemukakan untuk menyatakan bahwa keesaan Tuhan (tauhid) tidak bertentangan
dengan gagasan tentang penampakan pengetahuannya yang berbagai di alam fenomena
(alam al-khalq). Tuhan sebagai dzat mutlak satu-satunya di dalam keesaannya
memang tanpa sekutu dan bandingan, dan karenanya Tuhan adalah transenden
(tanzih). Tetapi karena dia menampakkan wajah-Nya serta ayat-ayat-Nya di
seluruh alam semesta dan di dalam diri manusia, maka Dia memiliki kehadiran
spiritual di alam kejadian. Kalau tidak demikian maka dia bukan yang zakir dan
yang batin, sebagaimana al-Qur’an mengatakan, dan kehampirannya kepada manusia
tidak akan lebih dekat dari urat leher manusia sendiri. Karena manifestasi pengetahuannya
berbagai-bagai dan memiliki penampakan zakir dan batin, maka di samping
transenden dia juga immanen (tashbih). Dasar-dasar gagasan wujudiyah semacam
inilah yang dikembangkan Iraqi.
Dikatakan bahwa Rahman merupakan perhimpunan
sekalian ibarat, artinya hakikat dari sekalian ma’lumat (yang diketahui) yakni
segala ciptaan-Nya. Tanpa rahman-Nya tak mungkin segala sesuatu itu memperoleh
kewujudan, dan itulah sebabnya dikatakan bahwa wujud rahman-Nya merupakan
hakikat segala barang ciptaan. Menurut Ibn ‘Arabi, sebelum bermulanya
penciptaan, di dalam kesendiriannya Tuhan merenung dan melihat (syuhud) ke
dalam dirinya dan tampaklah pengetahuannya yang tak terhingga dan masih
merupakan perbendaharaan tersembunyi (kanz makhfi), di dorong oleh cintanya terbitlah
kehendaknya untuk dikenal, maka dia menciptakan dan dengan demikian dia
dikenal. Ciptaan-Nya adalah pemakluman (ma’lumat) dari pengetahuannya yang
melalui mereka Dia dikenal.
Zinat
al-Wahidin
Kitab ini agaknya merupakan ringkasan ajaran
wahdatul wujud yang telah diasakan oleh Ibn ‘Arabi, Sadruddin Qunawi, Fakhrudin
Iraqi dan Abdul Karim al-Jilli. Di dalamnya diuraikan pula cara-cara mencapai
makrifat menurut disiplin keruhanian tarekat Qadariyah. Ini tidak sukar
dibuktikan karena di dalam syairnya Syeikh Hamzah Fansuri menyatakan bahwa
telah dibaitkan di dalam tarekat tersebut di Shahr Nawi dan sekembalinya dari
Makkah, Yerussalem, Baghdad, dan Gujarat, Syeikh bertambah masyhur sebagai ahli
tasawuf dan guru keruhanian. Kitab ini disusun di dalam tujuh bab.
Bab V ini merupakan bab penting, sebab di dalamnya
Hamzah Fansuri menguraikan prinsip-prinsip antologi wujudiyah, yaitu mengenai
tajalli zat Tuhan. Hamzah Fansuri menerjemahkan tajalli sebagai ‘kenyataan’ dan
penunjukkan, maksudnya penampakan pengetahuan Tuhan melalui penciptaan alam
semesta dan isinya. Penciptaan secara menurun tersusun dari lima martabat,
yaitu dari atas ke bawah, dari yang tertinggi ke yang terendah sesuai peringkat
keruhanian dan luas sempit sifatnya, dari yang umum kepada yang khusus. Zat
Tuhan disebut lata’ayyun, yakni tiada nyata. Di sebut lata’ayyun karena akal
pikiran, perkataan, pengetahuan dan makrifat manusia tidak akan sampai
kepadanya. Pandangan ini didasarkan pada hadits Nabi “tafakkaru fi
khalq-i’l-laah-i wa laa tafakkaruu fii dzaat-i’l-laah” (pikirkan apa saja yang
diciptakan Tuhan tetapi jangan pikirkan tentang zatnya.
Walaupun zat tuhan itu lata’ayyun namun dia ingin
dikenal, maka dia mencipta alam semesta dengan maksud agar dirinya dikenal
“kehendak supaya dikenal” inilah yang merupakan permulaan tajalli Ilahi.
Sesudah tajalli dilakukan maka dia dinamakan ta’ayyun yang berarti “nyata”.
Keadaan ta’ayyun inilah yang dapat dicapai oleh pikiran, pengetahuan dan
makrifat.
Ta’ayyun
zat Tuhan terbagi ke dalam empat martabat :
Ta’ayyun awwal, kenyataan Tuhan dalam peringkat
pertama yang terdiri dari ilm (pengetahuan), wujud (ada), syuhud (melihat /
menyaksikan) dan nur (cahaya). Dengan adanya pengetahuan maka dengan sendirinya
Tuhan itu Alim (mengetahui atau maha tahu) dan ma’lum (yang diketahui). Karena
dia itu wujud maka dengan sendirinya dia ialah yang mengada, yang mengadakan
atau yang ada, karena cahaya maka dengan sendirinya dia adalah yang menerangkan
(dengan cahayanya) dan yang diterangkan (oleh cahayanya).
Ta’ayyun tsani (dikenal juga dengan ta’ayyun
ma’lum), kenyataan Tuhan dalam peringkat kedua, yakni kenyataan menjadi yang
dikenal atau diketahui. Pengetahuan atau ilmu Tuhan menyatakan diri dalam
bentuk yang dikenal atau yang diketahui, pengetahuan yang dikenal disebut
al-ayan al-tsabitah, yakni kenyataan segala sesuatu. Al-A’yan al-tsabitah juga
disebut Suwar al-Ilmiyah, yakni bentuk yang dikenal, atau al-haqiqah al-asyya,
yakni hakikat segala sesuatu di alam semesta dan ruh idlafi, yakni ruh yang
terpaut.
Ta’ayyun tsalits, kenyataan Tuhan dalam peringkat
ketiga ialah ruh manusia dan makhluk-makhluk.
Ta’ayyun rabi’ dan khamis, kenyataan Tuhan dalam
peringkat keempat dan kelima adalah penciptaan alam semesta, makhluk-makhluk,
termasuk manusia, penciptaan ini tiada berkesudahan dan tiada berhingga, ila
mala nihayat-a lah-u.
Hamzah Fansuri menerjemahkan perkataan wajh sebagai
zat, yaitu at yang telah ber-ta’ayyun. Adapun Tuhan itu mutlak, karena itu Ibn
Arabi menyebut dia sebagai wajib al-wujud, yaitu wujud yang Qa’im sendirinya,
sedangkan alam semesta disebut sebagai mumkin al-wujud, wujud yang mungkin atau
nisbi karena adanya tergantung kepada wujud mutlak yaitu wajib al-wujud. Hamzah
Fansuri memang mengikuti Ibn ‘Arabi, yang mengatakan bahwa wujud mutlak sebagai
sebab hakiki dari segala kejadian merupakan wujud yang keberadaannya mutlak
diperlukan, wajib al-wujud li dzatih.
Menurut Hamzah Fansuri alam semesta dan isinya
berasal dari Allah, bukan dari ‘tiada’ pulang kepada ‘tiada’, tapi dari ada
pulang kepada ada. Dengan ‘ada’ yang dimaksudkan ialah ‘pengetahuan’ atau ilmu
Tuhan. Dia mengutip ayat al-Qur’an untuk menopang pendapatnya “innamaa amruhuu
idzaa araada syai’an an yaquululahnu kunfa-yakuun” (sesungguhnya tatkala Dia
berkehendak kepada sesuatu maka dia pun berkata, “jadilah kau!” maka segala
sesuatu itu pun menjadi [tercipta
Dengan menganalisis secara cermat istilah dan konsep
kunci semacam itu, serta istilah dan konsep dalam bahasa Melayu dan melakukan
perbandingan dengan istilah-istilah yang sama dengan bahasa Arab, Yunani,
Persia, dan Sansekerta dalam karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri dan tokoh-tokoh
lain yang serupa, dan periodesasi proses Islamisasi dan intensifikasi pandangan
dunia Islam di kalangan masyarakat Melayu Indonesia melalui metafisika tasawuf,
guna membumikan solusinya tersebut. Al-Attas menyediakan landasan teoritis dan
langkah praktis. Pada daratan teoritis, ia dengan brilliant merekontruksi
konsep metafisika, epistemologi, dan filsafat pendidikan Islam dengan merujuk
pada tradisi pemikiran Islam dalam bidang kalam, filsafat, dan tasawuf.
Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri merupakan awal
kelahiran literatur Islam dalam bahasa Melayu, selain itu ia tercatat sebagai
orang pertama kali memperkenalkan puisi dalam bentuk syair ke dalam sastra
Melayu.
Beliau juga ulama pertama yang membawa Aceh atau
Asia Tenggara ke faham Wahdatul Wujud (kesatuan wujud) yang berasal dari Ibn
Arabi. Hamzah Fansuri memang sering menunjukkan tasybih (kemiripan) antara
Tuhan dengan alam ciptaan-Nya, tetapi ia tidak lupa menunjukkan Tanzih
perbedaan esensial, antara keduanya. Oleh karena itu tidaklah tepat pagam
wahdatul wujud Syeikh Hamzah Fansuri ini divonis sesat atau divonis sebagai
paham pantheisme, seperti yang dipahami sebagian ahli atau ulama.
Syeikh Hamzah Fansuri adalah seorang ahli bahasa.
Bahasa yang dikuasainya adalah bahasa Arab, bahasa Farsi, dan bahasa Melayu.
Dan bahwa beliau menulis kitab-kitab tasawufnya memakai kitab-kitab bahasa Arab
dan Farsi sebagai buku telaahnya. Keahliannya di bidang bahasa adalah hasil
dari pengembaraannya yang jauh, dia pernah sampai ke berbagai negeri di Timur tengah
utamanya Makkah dan Madinah. Negeri-negeri Nusantara yang pernah di jalaninya
seperti Pahang, Kedah, Banten dan Jawa. Pengembaraannya adalah pengembaraan
jasad dan rohani.
Jalan
Sufi adalah Jalan Menemukan Jati Diri
Menurut Syeikh Hamzah Fansuri, seseorang yang hendak
memasuki jalan sufi, jalan spiritual, jalan untuk bertemu Tuhan yang abdi,
haruslah memulai perjalanannya dengan mengenal Jati Dirinya terlebih dahulu.
Simaklah syair yang ditulis beliau berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian I
di bait 1:
“Sidang
Faqir empunya kata,
Tuhanmu
Zahir terlalu nyata.
Jika
sungguh engkau bermata,
lihatlah
dirimu rata-rata”.
Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, kehadiran Tuhan itu
sangatlah Maha Nyata (Zahir). Karena itu sang sufi, atau disebut sebagai Faqir,
adalah orang yang telah meninggalkan keterikatannya pada segala sesuatu di luar
dirinya, dan memulai perjalanan ruhaninya dengan “melihat” atau mengenali
dirinya sendiri setiap saat.
Selanjutnya Syeikh Hamzah Fansuri menegaskan bahwa
untuk mengenal Jati Diri, seorang sufi harus memulai dengan suatu metode
tafakur tertentu, suatu latihan tertentu. Suatu metode atau latihan yang
sebenarnya juga banyak digunakan oleh berbagai aliran mistik keagamaan atau
spiritual di berbagai belahan dunia, yang lebih dikenal dengan istilah
meditasi. Selama ini pengertian meditasi atau tafakur sering disalahtafsirkan
hanya sebagai latihan pernapasan, atau berzikir, atau merapal mantra. Tetapi
Syeikh Hamzah Fansuri menjelaskan dengan tepat esensi dari tafakur atau
meditasi atau latihan sufi di dalam syair berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada
bagian I di bait 9:
“Hapuskan
akal dan rasamu,
lenyapkan
badan dan nyawamu.
Pejamkan
hendak kedua matamu,
di
sana kaulihat permai rupamu”.
Syeikh Hamzah Fansuri dengan sangat jelas menyatakan
bahwa setiap tafakur atau metode latihan sufi apa pun harus dimulai dengan
“hapuskan akal dan rasamu”, yang berarti suatu cara untuk menuju kepada kondisi
“No-Mind”, kondisi berada dalam Kesadaran Murni atau Kesadaran Ilahi. Untuk
mencapai kondisi “No-Mind” tersebut, maka seorang sufi harus “lenyapkan badan
dan nyawamu”, yang berarti melepaskan keterikatan terhadap tubuh dan berbagai
pemikiran atau nafsu (nyawa). Setelah itu, barulah sang sufi memejamkan kedua
mata inderawinya, untuk mengaktifkan “mata-ruhaninya”, guna melihat rupa dari
Jati Dirinya yang senantiasa berada dalam kondisi permai, kondisi “bahagia yang
abadi”. Inilah sesungguhnya inti dari tafakur atau meditasi menurut Syeikh
Hamzah Fansuri.
Selanjutnya Syeikh Hamzah Fansuri mengisahkan
pengalamannya mencari dan menemukan Tuhan, menemukan Allah yang lebih dekat
dari urat lehernya sendiri, menemukan Jati Dirinya sendiri. Simak syair
berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian 3 di bait 14:
“Hamzah
Fansuri di dalam Mekkah,
mencari
Tuhan di Bait Al-Ka’bah.
Dari
Barus ke Qudus terlalu payah,
akhirnya
dijumpa di dalam Rumah”.
Sebagai seorang Guru Sufi atau Murshid, Syeikh
Hamzah Fansuri memang mendidik para muridnya berdasarkan pengalaman pribadinya
sendiri. Seorang Murshid hanya membagi pesan atau memberi contoh berdasarkan
pengalaman yang pernah dilakoninya. Begitu pula dengan Syeikh Hamzah Fansuri,
beliau dengan jujur mengungkapkan bahwa selama ini ia telah bersusah payah
mencari Tuhan di luar dirinya, hal ini disimbolkan dengan Ka’bah atau pun Qudus
(nama mesjid di Yerusalem tempat kiblat sholat pertama umat Islam sebelum
Ka’bah di Mekkah). Proses pencarian Tuhan di luar dirinya tersebut telah
membawanya mengembara ke mana-mana meninggalkan kampung halamannya yang bernama
Barus di Aceh. Tetapi, akhirnya beliau tersadar, bahwa Tuhan yang selama ini
dicarinya di luar diri, ternyata “dijumpa” di dalam “Rumah”, di dalam dirinya
sendiri. Proses “perjumpaan” dengan Tuhan di dalam dirinya sendiri ini telah mengakhiri
“pencarian” yang meletihkan dari seorang Hamzah Fansuri, sehingga beliau layak
disebut sebagai seorang Syeikh, seorang Guru Sufi, seorang Murshid yang
mendidik para muridnya berdasarkan pengalaman pribadinya sendiri.
Bagi seorang sufi sejati, penemuan Tuhan sebagai
Jati Dirinya sendiri akan membuat hidupnya benar-benar bebas dari segala
keterikatan apa pun, ia berada dalam “Kemiskinan Ilahiah”, kemiskinan yang
membebaskannya dari segala kemelekatan pada kesementaraan benda-benda, pada
ilusi dunia yang tercipta dari pikirannya sendiri. Ia bersiap sedia
mengurbankan dirinya demi melayani Kehendak Ilahi. Ia tidak lagi tersekat-sekat
dalam pandangan sempit kesukuan atau fanatisme agama, karena ia telah menyadari
bahwa keberadaannya yang sementara selalu berada dalam Keberadaan Sang Maha
Abadi. Ia sadar bahwa fungsinya di dalam dunia hanyalah menjadi perantara atau
pembawa pesan dari Keabadian, dari Allah yang senantiasa bersemayam dalam
hatinya. Itulah yang diungkapkan oleh Syeikh Hamzah Fansuri, yang saya kutip
secara bebas, di dalam syair yang berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian 1 di
bait 11:
“Hamzah
miskin orang terbebaskan,
seperti
Nabi Ismail menjadi qurban.
Fansuri
bukannya Persia lagi Arabi,
selalu
menjadi perantara dengan yang Baqi”.
Kesatuan
Hamba dan Tuhan di dalam Kasih
Pandangan kesufian Hamzah Fansuri memang sangat
universal. Bagi Hamzah Fansuri, ketika seorang manusia mencari hakekat Tuhan di
dalam dirinya, maka ia pasti akan menemukan bahwa Tuhan dan hamba tiadalah
berbeda. Simak salah satu bait dari “Syair Perahu” yang ditulis oleh Beliau:
“La
Ilaha Il Allah itu kesudahan kata,
Tauhid
ma’rifat semata-mata,
Hapuskan
kehendak sekalian perkara,
Hamba
dan Tuhan tiada berbeda.”
Saya pikir, ungkapan Syeikh Hamzah Fansuri ini
sangat berani pada masanya. Beliau dengan berani mengungkapkan hijab atau tirai
yang menutupi pandangan sempit atau ketidaksadaran umat Islam pada masa itu.
“La Ilaha Il Allah itu kesudahan kata,” benar sekali pandangan Syeikh Hamzah
Fansuri dalam syair ini. Kalimat tauhid yang menjadi inti ajaran Islam ini, La
Ilaha Il Allah, Tiada Tuhan Selain Allah, adalah sesungguhnya akhir dari setiap
perkataan, akhir dari pikiran, akhir dari segalah ilusi, untuk menuju keadaan:
“Tauhid ma’rifat semata-mata,” suatu keadaan ketika seluruh pikiran dan
pengalaman telah terlampaui, suatu Keadaan Murni yang dikenal dengan istilah
“No-Mind”.
Namun, tentu saja, untuk mencapai Keadaan Murni ini,
seorang sufi harus mampu untuk “hapuskan kehendak sekalian perkara,” untuk
melampaui setiap kehendak yang masih terikat kepada berbagai perkara yang
digerakkan oleh nafsu-nafsu rendah, oleh kepicikan pikiran yang egoistik,
sehingga tercapailah suatu kondisi ketika “Hamba dan Tuhan tiada berbeda.”
Inilah sesungguhnya makna dari tauhid, makna dari ungkapan La Ilaha Il Allah,
Tiada Tuhan Selain Allah, yaitu suatu Keadaan Murni ketika seluruh kehendak
telah terlampaui, maka hamba dan Tuhan tiada berbeda. Namun, dalam hal apa
hamba dan Tuhan itu tiada berbeda?
Mari kita simak pandangan Syeikh Hamzah Fansuri yang
lain dalam kutipan berikut ini dari buku Zinat Al Wahidin (Tentang Keesaan
Allah) pada Bab Kelima:
“……..Alam ini seperti ombak. Keadaan Allah seperti
Laut. Sungguh pun ombak lain daripada laut, pada hakikatnya tiada lain daripada
laut.
“Nabi Muhammad pernah bersabda: Allah menjadikan
Adam atas RupaNya………….
“Selain itu Rasullah juga pernah bersbada: Allah
menjadikan Adam atas Rupa-Rahman. Karena Rahman disebutkan sebagai Laut, maka
Adam disebutkan sebagai buih…………..”
Berdasarkan uraian dalam bukunya di atas, dapatlah
disimpulkan pandangan Syeikh Hamzah Fansuri tentang ketauhidan universal punya
dasar yang cukup kokoh dalam ajaran Islam berdasarkan sabda Rasul Muhammad SAW
sendiri. Syeikh Hamzah Fansuri menggunakan satu permisalan yang sudah cukup
dikenal di dalam ajaran sufi dan mistikisme di dunia, yaitu ombak dan laut.
Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, alam dan segala isinya ini merupakan “Gerak Ilahi”
yang termanifestasi, dan ia ibaratkan sebagai ombak dari lautan. Sedangkan
“Keadaan Allah”, suatu kondisi ketika manusia mengalami Kesadaran Ilahiah atau
Kesadaran Murni, seperti lautan itu sendiri. Ombak hanyalah bentuk lain dari
laut. Pada hakekatnya, ombak dan laut itu satu bentuk, yaitu air.
Syeikh Hamzah Fansuri dengan pengetahuannya yang luas
dan mendalam juga menambahkan kutipan dari sabda Rasul yang mungkin tidak cukup
populer di kalangan umat Islam saat ini. Di dalam hadis itu diungkapkan bahwa
Allah juga menjadikan Adam menurut Rupa Rahman (Yang Maha Pengasih). Bagi
Syeikh Hamzah Fansuri, wujud “Lautan Ilahiah” itu adalah sifat Yang Maha
Pengasih, adalah “Kasih” itu sendiri. Maka, sesuai dengan sabda Rasul, jika
Allah adalah Kasih itu sendiri, sudah tentu Manusia adalah buih dari Kasih itu
sendiri. Inilah inti dari ajaran kesufian dari Syeikh Hamzah Fansuri, yaitu:
Tauhid-Kasih, bahwa hakekat manusia dan seluruh alam ini adalah Kasih.
Dalam hal apa hamba dan Tuhan tiada berbeda? Menurut
Syeikh Hamzah Fansuri, Tuhan dan Hamba tiada berbeda dalam perwujudannya
sebagai Kasih. Kemudian Syeikh Hamzah Fansuri memperluas definisi Cinta Ilahi
ini menjadi “pelayanan tanpa pamrih” kepada sesama manusia dan mahlukNya.
Seperti kutipan berikut dalam kitab yang sama: “Barangsiapa cinta akan Allah,
maka hendaknya ia melakukan kebaktian pula.”
Kesesuain
Ajaran Syeikh Hamzah Fansuri
Pesan-pesan yang dibawa Syeikh Hamzah Fansuri masih
sangat relevan dengan kondisi kehidupan beragama di Indonesia saat ini. Syeikh
Hamzah Fansuri sangat menekankan agar manusia selalu beusaha untuk menemukan
Jati Diri yang Ilahi di dalam diri manusia sendiri. Jati Diri manusia itu
sesungguhnya “berada” dengan kenyataan yang sama, kesatuan umat manusia dan
seluruh mahluk-Nya di dalam Kasih. Seperti yang terungkap dalam terjemahan
bebas saya atas salah satu syairnya yang berjudul “Minuman Para Pencinta” pada
bagian 5 di bait 3 berikut ini:
“Rahman itulah yang
bernama semesta,
Keadaan Tuhan yang wajib
disembah dan dipuja.
Kenyataan Islam,
Nasrani, dan Yahudi sebenarnya sama:
dari Rahman itulah
sekalian menjadi nyata.”
Coba kita bayangkan, seorang sufi dan ulama pada
abad ke 17 di Aceh telah memiliki pandangan “Tauhid-Kasih” seperti ini. Kalau
pandangan Syeikh Hamzah Fansuri ini disebarluaskan di dunia Islam saat ini,
maka selesailah berbagai pertentangan atas nama agama yang disebabkan oleh
fanatisme sempit. Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, hakikat semua agama itu sama,
yaitu sifat Rahman dari Allah, sifat Yang Maha Pengasih dari Allah, atau bisa
juga disebut Allah sebagai Yang Maha Kasih itu sendiri. Karena Kasih itu
sendiri menjelma manjadi semesta, maka Allah dan wujudNya sebagai Kasih itu
pula sesungguhnya yang wajib disembah dan dipuja oleh semua agama. Esensi agama
Islam adalah Kasih. Esensi agama Nasrani adalah Kasih. Esensi agama Yahudi
adalah Kasih. Jadi, apa gunanya melakukan peperangan atas nama agama?
Demikianlah kira-kira menurut pemahaman saya tentang pesan Syeikh Hamzah
Fansuri dalam salah satu syairnya tersebut.
Tetapi, sungguh sangat ironi, jika saat ini yang
terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Pertikaian atas nama agama justru
semakin berkembang di Indonesia. Makin lama justru makin menajam. Segelintir
orang yang mengklaim dirinya sebagai ahli agama justru menebarkan bibit
permusuhan antar agama di kalangan umatnya. Toleransi antar umat beragama yang
dikembangkan selama ini, sekarang menjadi toleransi semu. Toleransi ditafsirkan
seperti suatu masa jeda perdamaian, untuk bersiap-siap kembali berperang.
Sebagai contoh yang terjadi di Indonesia, paham
pertikaian politis dan ekonomis yang dibalut sebagai pertikaian antara agama
Islam dengan Yahudi di negara-negara Timur Tengah dan Arab, saat ini telah
diekspor ke umat Islam di Indonesia. Tiba-tiba saja, saat ini begitu banyak
umat Islam di Indonesia yang begitu membenci orang Yahudi, tanpa tahu sejarah
politik dan ekonomi yang mendasari pertikaian di negara-negara Timur Tengah dan
Arab. Kita telah terkena propaganda dari kaum fanatisme sempit untuk memecah
belah bangsa Indonesia. Kebencian yang sangat tidak sehat ini, sekarang
berkembang lebih jauh kepada umat beragama yang lainnya, seperti agama Nasrani,
Buddha atau Hindu. Begitu juga sebaliknya. Sungguh sangat memprihatinkan
perkembangan kehidupan beragama di Indonesia pada saat ini. Jika kita sebagai
bangsa tidak segera sadar, maka kita berada dalam satu situasi kritis menuju pertikaian
antar umat beragama yang lebih luas.
Akankah kita sudi mengimpor peperangan berlatar
politik dan ekonomi yang dibumbui istilah “perang agama” di Timur Tengah dan
Arab ke tubuh Ibu Pertiwi yang tercinta ini? Lantas apa solusinya? Coba kembali
kita tengok pesan Syeikh Hamzah Fansuri dalam salah satu syairnya yang berjudul
“Burung Pingai” pada bagian 4 di bait 12:
“Ilmunya ilmu yang
pertama,
mazhabnya mazhab
ternama,
cahayanya cahaya yang
lama,
ke dalam surga
bersama-sama.”
Di dalam syair ini, Syeikh Hamzah Fansuri membuat
permisalan Jati Dirinya sebagai “Unggas Ruhani” yang bernama Burung Pingai
(Burung Yang Berkilau Keemasan). Di dalam syair yang terdiri dari empat bagian
ini, Syeikh Hamzah Fansuri tetap menekankan pada soal Rahman, atau Kasih. Bagi
Syeikh Hamzah Fansuri ilmu tentang Kasih ini adalah ilmu yang pertama. Mazhab
atau aliran keagamaannya atau jalan kesufiannya juga adalah “Mazhab Kasih”.
Cahaya sebagai simbol Kesadaran Murni juga adalah cahaya yang lama telah ada
sejak pencipataan manusia yaitu “Cahaya Kasih”. Jadi, kesimpulan Syeikh Hamzah
Fansuri, jika ilmu dan agama atau kesadaran manusia selalu didasari oleh Kasih,
maka sudah pasti surga atau “keadaan bahagia abadi” akan terwujud. Namun, surga
itu milik bersama, milik semua umat manusia, tanpa membedakan suku atau agama,
pandangan politik atau ideologinya, status sosial atau jumlah hartanya. Bagi
Syeikh Hamzah Fansuri, surga atau keadaan bahagia abadi itu adalah hak dasar
setiap manusia yang telah menyatu dengan Kasih, dengan Allah itu sendiri.
Semoga ajaran “Sang Sufi Cinta” dari tanah Aceh ini
bisa bergema kembali di bumi nusantara, khususnya di bumi Nangroe Aceh
Darussalam. Dan marilah kita sebagai bangsa Indonesia berjuang bersama
mewujudkan “Surga-Kasih” dari Syeikh Hamzah Fansuri di negeri Ibu Pertiwi ini.
Semoga Kebahagiaan Ilahi selalu menyinari bangsa Indonesia dan seluruh umat
manusia beserta seluruh mahluk-Nya. .
Tiada ulasan:
Catat Ulasan