Nama Imam Ibnu Jarir Ath-Thobary tentunya sudah tidak asing lagi di telinga kaum muslimin. Terutama bagi mereka yang berkonsentrasi untuk mendalami ilmu agama. Beliau adalah seorang sejarawan dan pemikir muslim dari Persia, lahir di daerah Amol, Tabaristan (sebelah selatan Laut Kaspia). Nama lengkapnya adalah Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali ath-Thabari.
Kitab
tafsir Ath-Thabari adalah salah satu buah karya tulis beliau yang sangat
popular.
Tafrir
Ath-Thabari menjadi salah satu rujukan utama dalam ilmu tafsir Al-Qur’an.
Selain ahli di bidang tafsir beliau juga ahli di bidang sejarah. Buktinya
adalah sebuah kitab karangan beliau yang berjudul Tarikh ar-Rusul wa
al-Muluk (Sejarah Para Nabi dan Raja), atau lebih dikenal sebagai
Tarikh ath-Thabari. Kitab ini berisi sejarah dunia hingga tahun 915, dan
terkenal karena keakuratannya dalam menuliskan sejarah Arab dan Muslim.
Sebelum
Imam ath-Thabari dikenal banyak orang sebagai ulama yang pakar di berbagai
disiplin ilmu. Imam Ibnu Jarir muda ternyata menyimpan sebuah kisah yang unik
dan inspiratif yang terselip di antara lembaran kehidupannya. Imam Ibnu Jarir
Ath-Thabari pernah menyaksikan suatu peristiwa yang sangat menyentuh nuraninya
dan selalu membekas dalam ingatannya.
Ketika
itu imam ath-thabari sedang menunaikan ibadah haji di Makkah.
Kemudian
beliau menyaksikan ada seorang pria dari khurasan yang berteriak di
jalanan,”Wahai para jama’ah haji dan penduduk Mekah,baik yang hadir maupun yang
tidak, saya kehilangan kantong yang berisi 1000 dinar.
Barang
siapa yang bisa mengembalikannya kepada saya, maka Allah akan membalasnya
dengan kebaikan, menjauhkan dari api neraka, memberinya rezeki dan kesenangan
di hari pembalasan.”
Tidak
disangka tiba-tiba datang seorang pria Arab yang tua dan miskin dengan baju
yang lusuh mendekati pria dari khuarasan tersebut, lalu berkata,”Wahai orang
Khuarasan, kota ini sangat keras, hari-hari haji terbatas, musim haji sudah
ditentukan, pintu untuk membuat keuntungan telah ditutup, maka biasa saja uang
anda jatuh ke tengan orang miskin yang membutuhkannya.Barangkali
yang menemukan mau mengembalikan bila Anda mau berbagi sedikit? Orang Khurasan
itu mengatakan,”Berapa banyak yang ia mau?”Orang tua itu mengatakan,”Barang
kali seper sepuluhnya (100 dinar).”Namun ternyata orang Khurasan itu enggan
untuk memberikannya.
Dalam
hati Imam ath-Thabari, ia menduga bahwa orang tua miskin itulah yang menemukan
uang itu. Maka Imam ath-Thabari berinisiatif untuk mengikuti orang tua itu
sampai rumahnya secara diam-diam. Firasat beliau ternyata terbukti benar.
Setelah tiba di rumahnya pria tua itu menemui istrinya yang bernama Lubabah dan
menceritakan pertemuannya dengan sang pemikik uang. ia mengadu pada istrinya
bahwa sang pemilik uang ternyata tidak mau memberikan hadiah kepada orang yang
menemukan uangnya. Padahal ia ingin segera mengembalikan uang itu karena takut
kepada Allah dan takut dosanya dilipatgandakan.
Kemudian
istrinya berkata,”Wahai suamiku, kita telah berjuang dan menderita kemiskinan
selama 50 tahun terahir. Engkau memiliki 4 anak perempuan, 2 saudara perempuan,
ibuku, diriku, dan engkau, semuanya sembilan. Jangan berikan uang itu ke
pemiliknya; beri kami makan karena kami sedang kelaparan, pakaian kami pun
telah usang. Engkau tahu, kondisi kita lebih buruk dari yang lain. Bisa jadi
Allah yang maha perkasa, akan membuatmu kaya dengan itu dan kau bisa
mengembalikan uang itu setelah memberi makan anak-anak. Atau, Allah akan
membayar hutang-hutangmu pada hari ketika seluruh kerajaan kembali kepada
Allah.”
Dia
berkata kepada istrinya,”Apakah saya akan memakan barang haram setelah 86
tahun menahan darinya, dan membakar tubuh ini dengan api setelah saya bersabar
dengan kemiskinan ini, kemudian mendapat kemurkaan Allah?! Tidak, Demi Allah,
saya tidak akan melakukannya!”
Ucapan
inilah yang membuat Imam at-Thabari menjadi begitu takjub kepada keimanan pria
tua tersebut. Karena ucapannya mengisaratkan akan keimanannya yang kuat kepada
Allah. Disaat kemiskinan begitu mencekiknya, kelaparan begitu menyiksanya namun
itu semua tidak menggoyahkan sedikitpun rasa takutnya kepada Allah dan hari
Pembalasan.
Esok
harinya,orang Khurasan yang kehilangan uang kemarin berteriak di kerumunan
orang untuk mengumumkan uangnya yang hilang. Kemudian Ibnu Jarir at-Thabari
meliahat pria tua yang kemudian diketahui bernama Abu Ghayath kembali
mendatangi orang Khurasan itu. Abu Ghayath berkata padanya,”Wahai orang
Khurasan, saya telah memberitahumu kemarin bahwa tanah kami gersang. Jadi,
berilah hadiah kepada orang yang menemukan uang itu agar ia tidak tergoda
melanggar hukum-hukum Allah. Saya telah menyarankan kepada anda untuk membayar
si penemu 100 dinar, tapi anda menolak. Jika uangmu jatuh ke tangan orang
yang takut kepada Allah Yang Maha Perkasa, kau cukup memberinya 10 dinar saja,
bukan 100 dinar.”Namun ternyata orang Khurasan itu tetap enggan memberikan upah
kepada si penemu.
Beberapa
saat kemudian orang-orang pun bubar. Kemudian Abu Ghayath kembali menemui orang
Khurasan itu untuk yang kesekian kalinya. Kemudian ia berkata padanya dengan
nada yang sangat memelas,”Wahai orang Khurasan, saya berkata pada anda
kemarin uantuk memberi si penemu 100 dinar, namun anda menolak. Lalu saya
menyarankan Anda untuk memberinya 10 dinar, Anda pun menolaknya juga. Jadi, berilah
si penemu satu dinar saja, sehingga ia dapat membeli barang-berang yang ia
butuhkan, serta dapat memberi makan kepada istri dan anak-anaknya yang
kelaparan!”
Orang
Khurasan itu masih tetap pada jawabanya yang semula,”Saya tidak akan
melakukannya. Saya akan mengadu kepada Allah pada hari aku bertemu dengannya.
Cukuplah Allah bagiku dan Dia-lah sebaik-baik dzat yang dipercaya.” Abu Ghayath
pun marah,”Ambil uang Anda biar saya bisa tidur mala mini. Karena menemukan
uang itu, hidupku tidak tenang!” bentaknya.
Setelah
itu, Abu Ghayath pergi bersama orang Khurasan itu. Imam at-Thabari terus
mengikuti mereka, hingga sampailah mereka di rumah Abu Ghayath. Kemudian ia
menggali lubang di tanah dan mengeluarkan kantong berisi uang tersebut,
lalu menyerahkan kepada si pemilik uang.
Orang
Khurasan itu menerima uangnya dengan wajah yang sumringah. Setelah berterima
kasih kepada Abu Ghayath dan mendo’akannya ia pun bermaksud pergi, tapi ketika
sampai di pintu rumah ia berbalik dan berkata,”Wahai orang tua, ayahku telah meninggal--semoga
Allah mengampuninya. Ia meninggalkan 3.000 dinar dan berpesan agar mengambil
sepertiga dari uang ini (1.000 dinar) dan berikan kepada seseorang yang sangat
membutuhkannya.
Oleh
karena itu, saya ikat uang itu dalam kantong sehingga saya dapat memberikannya
kepada orang yang layak menerima. Demi Allah, saya tidak melihat seorang pun
sejak meninggalkan Khurasan sampai sekarang, yang lebih layak selain Anda. Oleh
karena itu, ambilah 1.000 dinar ini. Semoga Dia memberimu pahala yang besar atas
iman yang kau jaga serta kesabaran dalam kemiskinan.” Kemudian orang Khurasan
itu menyerahkan kantong berisi uang itu kepada Abu Ghayath dan setelah itu ia
pun pergi.Abu Ghayath menerima uang itu sembari menangis sendu dan berdo’a
kepada Allah,”Semoga Engkau memberkati pemilik uang dalam kuburnya dan Semoga
Engkau memberkati putranya”.
Peristiwa
ini sungguh begitu menyentuh Imam ath-Thabari. Bagaimana seorang yang miskin
namun sangat takut kepada Allah. Disaat ia bisa menggunakan uang yang ia
temukan itu untuk keperluan keluarganya namun karena tidak ingin memakan barang
yang bukan haknya ia tidak melakukannya. Ia ikhlas memerima apa yang Allah
berikan padanya sebagai jatah rizkinya.
Namun
kisahnya tidak berhenti disini.
Ketika
imam at-Thabari hendak beranjak pergi, ternyata pria tua itu menghampirinya
kemudian menariknya. Ia meminta Imam ath-thabari untuk duduk. Ia berkata,”Saya
melihat Anda mengikuti saya sejak hari pertama. Anda telah mengetahui kondisi
kami kemarin dan hari ini. Saya telah mendengar bahwa Nabi bersabda,’Jika
kamu mendapat rahmat dari Allah, tanpa mengemis atau meminta maka terimalah dan
jangan kau menolaknya’ Jadi ini adalah hadiah dari Allah untuk semua orang
yang hadir.”
Pria tua
itu kemudian memanggil anak perempuan, saudara perempuan, istr dan ibunya.
Mereka semua kemudian duduk. Ia pun menyuruh Imam at-Thabari yang saat itu
belum terkenal untuk duduk. Semuanya ada 10 orang. Dia membuka kantong dan
berujar,”Bentangkan pakaian di atas kaki kalian!” ia pun membagikan uang dalam
kantong tersebut secara bergilir dinar demi dinar. Ia selalu berkata,”Ini
adalah dinar.” Ia terus membagikannya hingga kantong itu kosong. Setiap orang
mendapatkan 100 dinar. Sukacita memenuhi hati imam at-Thabari karena melihat
kebahagiaan yang terpancar dari keluarga tersebut , yang sangat mensyukuri
setiap dinarnya.
Ketika
Imam at-Thabari ingin pulang, orang tua itu berkata,”Wahai anak muda, semoga
engkau diberkahi. Pergunakan uang ini untuk membeli sesuatu yang halal. Engkau
tahu bahwa diriku biasa bangun untuk shalat subuh dengan kemeja basah ini.
Setelah selesai, saya bergantian dengan anakku agar bisa shalat satu per satu.
Lalu, saya akan pergi bekerja antara waktu Dhuhur dan Ashar, kemudian pulang
pada sore hari membawa rizki dari Allah berupa kurma dan potongan roti kering.
Ketika saya bekerja, kemeja itu dipakai putri saya untuk shalat Dhuhur dan
Ashar. Begitu pun dengan shalat Maghrib dan Isya’. Kami sekeluarga tidak pernah
bermimpi untuk melihat uang ini. Semoga Allah membimbing kita untuk memanfaatkan
dinar ini uantuk kebaikan. Semoga Allah juga memberkahi pemilik uang dalam
kuburnya dan memperbanyak pahala baginya.”
Imam
at-Thabari pun mengucapkan selamat tinggal kepadanya, dan mengambil 100 dinar
yang diberikan untuknya. Ia pun menggunakan uang tersebut untuk menulis
berbagai disiplin ilmuselama dua tahun. Ia mempergunakannya untuk membeli
kertas dan membayar sewa rumah. Setela 16 berlalu, ia kembali ke Mekah dan
bertanya tentang orang tua yang dulu pernah memberinya uang. ia pun mendapat
kabar ternyata orang tua itu sudah meninggal beberapa bulan setelah peristiwa
itu. Istrinya meninggal, bersama dengan ibu dan kedua saudara perempuannya.
Satu-satunya yang tersisa hanyalah anak-anak perempuannya. Saya pun bertanya
tentang mereka. Ternyata mereka masing-masing telah menikah dengan raja dan
pangeran. Ketika ia mengunjungi mereka, mereka pun menghormatinya dan
memperlakukannya dengan baik.
Kisah ini
akan terus menjadi pelajaran bagi mereka yang mau mengambil pelajaran. Bahwa
Allah tidak akan mentelantarkan hambanya yang bertakwa dan takut pada-Nya.
Bahkan Allah menjanjikan bagi mereka jalan keluar dari setiap kesulitan dan
limpahan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka. Allah berfirman dalam
Al-Qur’an,
"Barangsiapa bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. (3 )Dan memberinya rezeki
dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Qs.At-Thalaq:
2-3)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan