Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali
Seandainya ada yang bertanya, bukankah Nabi s.a.w.
pernah bersabda:
“Hendaklah anda hidup dengan berjama‘ah. Sebab,
tangan (pertolongan) Allah diberikan kepada jama‘ah. Dan sesungguhnya setan itu
adalah serigala bagi manusia seperti serigala selalu mengincar kambing. Ia akan
memangsa kambing yang menyendiri dan jauh dari kawan-kawannya.”
إ“Sesungguhnya setan itu senantiasa
menyertai orang yang sendirian, sementara terhadap yang berduaan (berkelompok)
semakin menjauh.”
Ketahuilah bahwa hadis-hadis tersebut memang benar
adanya, tetapi di samping itu juga ada hadis:ا
“Tinggallah di rumah, uruslah diri anda sendiri dan
tinggallah urusan umum.”
Melalui hadis tersebut, Nabi s.aw. memerintahkan
ummatnya agar ber-‘uzlah dan menyendiri pada zaman yang sudah rusak.
Kedua hadis tersebut tidak mungkin saling
bertentangan. Karena itu, kita harus menggabungkan dua hadis tersebut dengan
daya dan pertolongan Allah.
Aku berpendapat, bahwa sabda Rasūlullāh
s.a.w. “‘Alaikum bil-jamā‘ah” tersebut mengandung
tiga kemungkinan, yaitu:
Pertama: Yakni, perkumpulan (jamā‘ah) tersebut dimaksudkan
dalam masalah agama dan hukum. Sebab, ummat Islam tidak akan berkumpul dalam
kesesatan. Maka menyimpang dari ijma‘ dan hukum yang menjadi pegangan sebagian
besar umat serta menjauhkan dia dari mereka, adalah sebuah tindakan yang batil
dan sesat.
Kedua: Hendaklah anda ikut bergabung dengan jamā‘ah, agar tidak putus
hubungan kelompok kaum mukmin dalam shalat Jum‘at, jamā‘ah – bersama mereka dan yang
semisalnya. Sebab, berkumpul dalam hal-hal tersebut menjadi kekuatan agama dan
kesempurnaan Islam, dan menggelisahkan orang-orang kafir serta orang yang
menyeleweng dari kebenaran. Dan perkumpulan semacam itu penuh dengan berkah dan
rahmat Allah.
Oleh karena itu, aku berpendapat bahwa orang yang
menyendiri dari masyarakat itu seharusnya tetap bergaul dengan masyarakat dalam
masalah-masalah kebaikan. Dan hendaklah menjauhi mereka dalam bergaul menjalin
kemitraan dan berebut berbagai urusan dunia, karena di dalamnya terkandung
bahaya yang dapat merusak agama.
Ketiga: Perintah bergaul bersama orang banyak,
sebagaimana disebutkan dalam hadis tersebut, bila kondisinya normal dan bukan
di zaman fitnah, bagi orang yang lemah agamanya. Sedangkan orang yang waspada
dan kuat dalam memegang teguh agama Allah, jika menemukan zaman fitnah yang
telah diperingatkan Rasūlullāh
kepada umatnya dan memerintahkan mereka ‘uzlah di zaman itu, maka ‘uzlah adalah lebih
utama, karena bergaul dengan masyarakat yang sudah rusak dan penuh dengan
fitnah bisa menimbulkan marabahaya. Tetapi ia tidak boleh memutuskan hubungan
dengan komunitas kaum muslimin dan aktivitas kebaikan secara umum. Jika suatu
saat ia menghendaki menyendiri dan mengasingkan diri dari manusia (‘uzlah),
maka hendaklah ia mengambil tempat di puncak gunung atau tengah-tengah padang
luas. Itu pun jika ia melihat adanya kemaslahatan bagi agamanya.
Selanjutnya, aku katakan bahwa orang semacam ini di
mana pun ia berada, tentu diberi kemudahan oleh Allah s.w.t. untuk menghadiri
shalat jama‘ah dan shalat Jum‘at, juga pertemuan-pertemuan keislaman lainnya.
Jadi pergaulan dalam Islam, mempunyai kedudukan tersendiri di sisi Allah,
meskipun manusia telah berubah dan menjadi rusak.
Demikianlah, sebagaimana yang pernah aku dengar
tentang keadaan para wali abdal. Mereka selalu menghadiri
perkumpulan-perkumpulan Islam di mana saja. Mereka pergi ke mana saja mereka
mau di penjuru dunia manapun. Karena bagi mereka dunia itu hanyalah sekadar
satu langkah kaki.
Di dalam hadis-hadis disebutkan, bahwa bumi ini
dilipat bagi mereka – sehingga mereka dapat dengan mudah dan leluasa menjangkau
ke mana saja mereka mau – untuk saling memberi penghormatan. Mereka dikaruniai
bermacam-macam kebajikan dan kekeramatan. Berbahagialah mereka yang mendapatkan
karunia Allah semacam itu. Dan semoga Allah berkenan menjadikan kesabaran bagi
orang yang tidak memikirkan bagaimana harus keluar mengasingkan diri. Dan
semoga Allah menolong orang yang mencari namun belum kesampaian maksudnya,
seperti kita.
Aku gubah beberapa bait syair yang menggambarkan
tentang kondisi diriku:
“Para
pencari dan penuntut cita-cita
telah
berhasil meraih apa yang dicita-cita
para
kekasih telah menemukan kekasih yang dicintainya.
Tinggal
aku, terombang-ambing kebingungan
Di
tapal batas antara sampai dan belum
aku
berharap terus merapat dan dekat
kepada
Allah dengan perantara perkara
yang
menjauhkan diriku dari-Nya,
ini
suatu keadaan yang mustahil
menurut
orang yang berakal.
Oh,
berilah kami seteguk minuman dari-Mu
yang
dapat melenyapkan kebingungan
dan
lentera penunjuk jalan yang benar
Wahai
Dzat yang mengobati penyakit
Wahai
Dzat yang menyembuhkan luka
Wahai
Dzat yang menyelamatkanku
dari
berbagai musibah dan bahaya.
Aku
tidak tahu dengan apa aku mengobati penyakitku
atau
dengan apa aku bisa beruntung pada hari hisab.”
Demikianlah sedikit cuplikan tentang diriku, kita
kembali kepada pokok masalah, yakni ‘uzlah. Jika ada yang bertanya, bukankah
Rasūlullāh s.a.w. pernah
bersabda:
“Kerahiban (ketekunan ibadah dengan penuh ketakutan
kepada Allah) dari ummatku adalah duduk (beri‘tikaf) di dalam masjid,”
Hadis ini mengandung larangan terhadap menyendiri
mengasingkan diri dari manusia.
Ketahuilah, bahwa perintah bergaul dengan banyak
manusia sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasūlullāh
s.a.w. itu berlaku pada selain pada zaman fitnah, sebagaimana telah kami
sebutkan di atas. Dan juga, meskipun seseorang duduk di dalam masjid tetapi
tidak bergaul bersama manusia dan tidak mencampuri urusan mereka, sehingga
dapat dikatakan dirinya bergaul bersama masyarakat, tetapi sebenarnya ia
menyendiri. Inilah yang dimaksud dengan ‘uzlah dan menyendiri dalam
keteranganku, bukan ‘uzlah dan menyendiri dengan badan dan tempat. Fahamilah
ini, semoga Allah merahmati anda.
Dalam kontek ini, Ibrāhīm
bin Adham berkata: “Menyendirilah
anda meskipun secara lahir berkumpul bersama manusia, bersama Tuhan terasa
nyaman dan bersama manusia terasa kasar dan merana.”
Jika ditanyakan, apa pendapat anda mengenai
madrasah-madrasah para ulama akhirat, pondok-pondok para ahli tashawwuf yang
menempuh jalan akhirat dan menetap di pondok-pondok itu?
Ketahuilah cara ibadah yang dilakukan oleh para ahli
tashawwuf yang demikian itu merupakan cara yang lebih utama, menurut kebanyakan
para ahli ilmu dan ijtihad. Sebab, yang demikian itu mengandung dua makna dan
faedah sekaligus, yaitu:
1. ‘Uzlah, mengasingkan diri dari manusia dan tidak
bergaul serta mencampuri urusan mereka.
2. Tetap bisa bergabung bersama mereka dalam
keperluan mengerjakan shalat Jum‘at, shalat berjamā‘ah dan berbagai bentuk
aktivitas yang menjadi syiar Islam.
Sehingga dengan begitu, tercapailah keselamatan yang
dimaksudkan di dalam ‘uzlah dan mengasingkan diri, juga dapat berbuat
kebaikan-kebaikan untuk kaum muslimin, secara umum. Lebih dari itu, orang-orang
masih bisa menjadikannya sebagai panutan, ngalap berkah dan meminta nasehat.
Maka menetap di pondok merupakan cara paling tepat, sebaik-baik keadaan dan
jalan paling selamat untuk mencapai tujuan akhirat.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan