Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali
Dengan memohon kepada Allah agar kita diberi taufiq untuk selalu taat kepada-Nya, selanjutnya hendaklah anda mengasingkan diri, menjauhi makhluk.
Ada dua alasan mengapa harus mengambil sikap semacam itu, yaitu:
Pertama: Makhluk dapat membuat anda sibuk dan repot karenanya, sehingga melupakan ibadah kepada Allah.
Sebagaimana dikisahkan,
bahwa ada sebagian ulama ada yang berkata: “Aku pernah melewati sekelompok
pemanah. Ada seseorang yang duduk menjauh dari kelompok pemanah itu. Aku
bermaksud mengajaknya berbincang-bincang, tetapi ia berkata: “Berzikir kepada
Allah lebih aku sukai daripada berbincang-bincang dengan anda.” Aku bertanya:
“Anda menyendiri menjauh dari teman-teman anda?” Ia menjawab: “Aku tidak
sendiri, aku bersama Tuhanku dan dua malaikat yang selalu menyertaiku.” Aku bertanya:
“Siapakah yang unggul di antara mereka?” Ia menjawab: “Yang mendapatkan ampunan
Allah.” Aku bertanya lagi: “Manakah jalan menuju kepada Allah?” Ia
mengisyaratkan tangannya ke atas langit, lalu ia berdiri meninggalkan aku,
seraya berkata: “Ya Allah, kebanyakan makhluk-Mu lupa kepada-Mu.”
Dengan demikian, maka makhluk dapat membuat anda sibuk
berurusan dengan mereka dan lupa beribadah kepada Allah. Bahkan, sebagai
penghalang anda untuk beribadah atau menyeret dan mencampakkan anda ke dalam
kejahatan dan kebinasaan.
Sebagaimana dikatakan oleh Ḥātim al-Asham: “Aku
mengharapkan manusia mengerjakan lima perkara, namun aku tidak mendapatkannya.
1). Aku mengharapkan agar mereka taat kepada Allah dan zuhud
terhadap dunia, tetapi mereka tidak mau mengerjakannya.”
(2). Lalu aku berkata: “Kalau begitu, bantulah aku dalam
ketaatan dan kezuhudan.” Namun mereka juga tidak mau membantu.
(3). Maka aku pun berkata: “Jika kalian tidak mau juga, maka
ridalah kepadaku jika aku berbuat taat dan zuhud.” Mereka tetap tidak mau juga.
(4). Maka aku pun berkata: “Kalau begitu, janganlah kalian
mencegahku bila aku hendak taat dan zuhud.” Mereka tetap saja mencegahku.
(5). Maka aku berkata: “Baiklah, janganlah kalian mengajakku
kepada jalan yang tidak diridai Allah dan jangan memusuhiku jika aku tidak
mengikuti jalan kalian.”
Ternyata mereka tidak bersedih juga. Maka aku tinggalkan
mereka dan aku urus diriku sendiri.”
Ketahuilah, wahai saudaraku seagama, sesungguhnya Nabi Muḥammad s.a.w. pernah menggambarkan
masa ‘uzlah (mengasingkan diri) dan menerangkan sifat-sifatnya,
juga menerangkan sifat orang yang ‘uzlah
lalu beliau memerintahkan untuk mengasingkan diri (menyendiri) pada masa ‘uzlah itu. Sungguh, beliau lebih mengetahui hal-hal yang
lebih baik dan menguntungkan bagi kita daripada diri kita sendiri.
Oleh sebab itu, jika anda menjumpai masa sebagaimana
diterangkan di atas, hendaklah anda mematuhi perintah Rasūlullāh s.a.w., dan menerima nasihat-nasihat beliau dengan sepenuh
hati. Janganlah anda ragu-ragu bahwa Nabi Muḥammad s.a.w. adalah lebih mengetahui mana yang lebih baik
dan maslahah bagi anda pada zaman itu. Jangan sekali-kali anda membuat alasan
yang tidak benar, jangan menipu dan membohongi diri sendiri. Jika anda tidak
mematuhi nasihat Nabi itu, niscaya anda akan binasa, untuk itu tidak ada alasan
bagi anda tidak mematuhinya.
Penjelasan yang telah kami kemukakan di atas, mengenai
‘uzlah itu, tersebut dalam hadis masyhur yang diriwayatkan dari ‘Abdullāh ‘Amr
bin al-‘Ash r.a., ia berkata:
“Ketika kami sedang duduk di sekeliling Rasūlullāh s.a.w., beliau menjelaskan terjadinya fitnah, seraya
bersabda:
“Apabila anda telah melihat manusia telah kehilangan
kesanggupan untuk memenuhi janji-janji mereka dan sedikit amanatnya, serta
sudah demikian keadaan mereka… Rasūlullāh
mengilustrasikan keruwetan kondisi itu dengan jari-jari tangan beliau. Aku
bertanya kepada beliau: “Jika keadaannya sudah demikian, apa yang harus aku
perbuat, semoga Allah menjadikan diriku sebagai tebusan untuk baginda Nabi?”
Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Tetaplah anda tinggal di rumah, kendalikan lidah, ambillah
apa yang anda ketahui baik, dan tinggalkan apa yang anda ketahui perkara
mungkar. Perbaikilah urusan diri anda, serta tinggalkan urusan umum.”
Dalam hadits lain
disebutkan, bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
“Itulah
zaman pertikaian (ayyām-ul-harji).” Ditanyakan kepada beliau: “Apakah yang dimaksud dengan zaman pertikaian itu
(ayyām-ul-harji) itu?” Rasūlullāh
menjawab: “Yaitu,
ketika seseorang tidak bisa merasa aman dengan teman duduknya.”
Ibnu Mas‘ūd
menuturkan hadits lain yang diriwayatkan oleh Ḥārits bin Umairah, bahwa Rasūlullāh
s.a.w. pernah bersabda kepadanya:
“Jika anda dikaruniai umur panjang, akan tahu bahwa akan datang suatu zaman di mana banyak juru khutbah tetapi sedikit ulama yang alim, banyak peminta, namun sedikit pemberi, dan pada zaman itu hawa nafsu sebagai pemimpin ilmu.”
Ḥārits
bertanya: “Kapan
zaman ini akan terjadi?”
Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Yaitu, shalat dimatikan, uang suap diterima
(membudaya), agama dijual dengan harga murah dari harta dunia. Nanti jika sudah
demikian, maka carilah keselamatan! Carilah keselamatan! Bisa-bisa anda celaka!
Carilah keselamatan!”
Semua yang telah disebutkan dalam hadits tersebut, akan anda
saksikan dengan mata kepala anda, di mana anda dan anak zaman itu berada.
Karena itu, pikirkanlah apa yang berguna bagi diri anda.
Para ulama salaf yang saleh telah sepakat untuk
memperingatkan kaum muslimin dan ahli zaman itu terhadap zaman yang penuh
dengan fitnah itu. Mereka lebih mengutamakan uzlah dan memerintahkan agar
beruzlah, saling berwasiat dengan kebenaran. Tidak diragukan lagi, bahwa
mereka lebih waspada dan banyak melakukan tindakan penyelamatan. Ketahuilah
bahwa zaman setelah mereka, tidak akan lebih baik daripada zaman yang sudah
ada, bahkan akan jauh lebih buruk dan menyedihkan.
Hal tersebut, sebagaimana yang dijelaskan dari Yūsuf bin Asbāth, bahwa ia menyatakan sesungguhnya
aku pernah mendengar Imām
Sufyān ats-Tsaurī berkata: “Demi Allah, tiada tuhan selain Dia. Di zaman ini, ‘uzlah menjadi sebuah keniscayaan.” Sungguh, jika pada zaman Sufyān ats-Tsaurī
saja ‘uzlah menjadi alternatif terbaik yang perlu dilakukan, maka
di zaman kita ini – zaman Imām
al-Ghazālī –
tentu ‘uzlah menjadi sebuah kewajiban dan kefardhuan.
Diriwayatkan pula dari Sufyān ats-Tsaurī,
bahwa beliau berkirim surat kepada ‘Abbād al-Khawwāsh:
“Amma ba‘du, sesungguhnya anda telah berada
pada zaman, di mana para sahabat Rasūlullāh
s.a.w. dulu memohon perlindungan kepada Allah agar tidak menjumpai zaman
sebagaimana yang kita alami sekarang. Padahal mereka memiliki ilmu yang kita
semua tidak memilikinya. Bagaimana halnya dengan kita ketika menjumpai zaman
itu, sementara kita hanya memiliki sedikit ilmu dan kesabaran, sedikit orang
yang memberikan bantuan dan pertolongan pada kebaikan. Dunia menjadi keruh dan
moral manusia menjadi rusak.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan