Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali
Apabila ditanyakan: “Apakah hukum ‘uzlah dan
mengasingkan diri menjauh dari manusia? Jelaskan kepada kami keadaan tingkatan
manusia dalam ber-‘uzlah dan mengasingkan diri, serta sejauh mana ruang lingkup
yang menjadi keniscayaan.”
Ketahuilah – semoga Allah merahmati kita semua – bahwa
manusia dalam masalah ‘uzlah ini terbagi menjadi dua golongan, yaitu:
Pertama: Orang yang tidak dibutuhkan oleh manusia
lain, baik dalam hal ilmu mau pun penjelasan hukum. Bagi orang semacam ini,
yang lebih utama adalah mengasingkan diri dari masyarakat, kecuali pada waktu
mengerjakan shalat Jum‘at, shalat jamā‘ah, shalat ‘Īd, ibadah haji, majelis ilmu sunah, atau kebutuhan
yang berkaitan dengan penghidupan yang harus diusahakan. Jika tidak mau
mengasingkan diri, maka hendaklah ia menutup diri dan tinggal di rumah, tidak
perlu mengenal dan tidak pula dikenal masyarakat.
Adapun apabila orang itu senang putus hubungan dengan
manusia, maka janganlah sama sekali mencampuri salah satu urusan mereka. Baik
urusan agama mau pun urusan keduniaan, urusan jama‘ah atau Jum‘ah, dan
sebagainya. Karena dengan begitu terlihat jelas baginya kemaslahatan dan
kesempatan beribadah. Namun pemutusan hubungan dengan manusia itu, tidak
mungkin dapat ia lakukan, kecuali adanya salah satu dari dua faktor, yaitu:
1. Jika ia berada di suatu tempat yang menjadikan ia
tidak berkewajiban mengerjakan kefardhuan-kefardhuan (seperti shalat Jum‘ah dan
jama‘ah), misalnya di puncak gunung, di dalam lembah dan yang semisalnya.
Mungkin jalan yang ditempuh dengan mengasingkan diri di tempat seperti itu,
merupakan salah satu cara untuk mendorong seseorang untuk dapat melakukan
ibadah yang sebanyak-banyaknya.
2. Apabila ia benar-benar merasa yakin bahwa madharat
bergaul dengan masyarakat jauh lebih besar daripada meninggalkan
kefardhuan-kefardhuan tersebut. Jika demikian, hal itu merupakan alasan untuk
meninggalkan kefardhuan, seperti meninggalkan shalat Jum‘ah dan berjamā‘ah.
Di Makkah, aku pernah melihat seorang Syaikh
menyendiri tidak hadir ke Masjidil Haram untuk berjamā‘ah, pada hal tempatnya dekat
dan keadaannya sehat. Maka pada saat aku bertanya kepadanya mengenai
ketidakhadirannya di masjid. Lalu ia menjelaskan ‘udzurnya seperti apa yang
kuterangkan di atas, yakni pahala yang diperolehnya tidak seimbang dengan
dosa-dosa, sebagai akibat yang menyertainya selama ia keluar ke masjid dan
bertemu dengan banyak orang.
Sebagai kesimpulannya, kiranya dapatlah aku katakan
bahwa orang yang mempunyai ‘udzur tidaklah patut dicela. Allah yang lebih
mengetahui akan ‘udzur seseorang, Dia lebih mengetahui segala yang hal yang
tersimpan di dalam hati seseorang.
Tetapi, jalan yang paling tepat adalah jalan pertama,
di mana ia tetap bergaul bersama-sama dengan manusia dalam hal mengerjakan
shalat Jum‘ah, berjamā‘ah
dan beberapa kebaikan lainnya, serta menyendiri dari hal-hal yang selain itu,
yang diyakini akan menimbulkan dampak negatif.
Apabila seseorang menginginkan jalan yang kedua,
yaitu sama sekali tidak hendak bergaul dengan sesama manusia, maka hendaklah ia
pergi ke tempat-tempat yang sekiranya dapat menggugurkan hal-hal yang
difardhukan, seperti shalat Jum‘at dan berjamā‘ah.
Selanjutnya, ada pun jalan ketiga adalah berdiam di
tempat ramai dan tidak mengerjakan shalat Jum‘ah dan berjamā‘ah bersama orang lain
dengan alasan ‘udzur,
seperti dapat menimbulkan dosa dan akibat buruk yang ditimbulkannya, maka hal
ini harus diteliti secara mendalam dan memerlukan banyak pertimbangan, sehingga
benar-benar bisa bebas dari kewajiban-kewajiban tersebut. Jalan yang ketiga
ini, sangat mengkhawatirkan, bisa-bisa terjebak dalam kesalahan. Jadi, jalan
pertama dan kedua adalah lebih selamat dan terpelihara.
Kedua: Orang yang menjadi panutan, dan ilmunya
dibutuhkan masyarakat dalam urusan agama mereka, untuk menjelaskan perkara yang
benar dan menolak pembuat bid‘ah agama, atau untuk mengajak kepada kebaikan
dengan perbuatan, ucapan dan sebagainya.
Maka, golongan ini tidak dibenarkan mengasingkan diri
dari masyarakat. Mereka harus menempatkan diri di tengah-tengah masyarakat
untuk memberikan nasihat kepada para hamba Allah, menjaga dan memelihara agama
Allah, dan menerangkan hukum-hukum Allah.
Diriwayatkan dari Rasūlullāh
s.a.w., sesungguhnya beliau bersabda:
“Ketika bid‘ah-bid‘ah telah bermunculan, sementara
orang yang alim mengasingkan diri (yakni mendiamkan diri), maka laknat Allah
akan menimpa padanya.”
Hal ini terjadi, jika orang alim tersebut berada di
tengah-tengah mereka. Apabila orang alim itu keluar dari kalangan mereka, maka
tindakan mengasingkan diri dari mereka itu juga tidak tepat dan tidak
diperbolehkan.
Diceritakan, pernah pada suatu ketika ustad Abū
Bakar bin Faurak bermaksud menyendiri guna beribadah kepada Allah. Sesampainya
di sebuah gunung, ia tiba-tiba mendengar suara yang memanggil: “Hai Abū
Bakar, anda seorang pembela agama Allah di tengah-tengah masyarakat dan kini
anda tinggalkan mereka.”
Begitu mendengar ucapan itu, ia segera kembali pulang. Peristiwa inilah yang
menyebabkan ia bergaul dengan masyarakat.
Ma’mūn bin Aḥmad
menceritakan kepadaku bahwa Ustādz Abū
Isḥāq berkata kepada ahli ibadah di sebuah gunung
Libanon: “Wahai
orang yang makan rumput di sini, anda tinggalkan umat Muḥammad
berada di tangan-tangan ahli bid‘ah, sementara anda sibuk beribadah dan makan
rumput di sini.” Mereka berkata kepadanya: “Kami sudah tidak kuat lagi bergaul
dengan masyarakat. Berbeda dengan anda yang diberi kekuatan oleh Allah s.w.t.
untuk menegakkan perjuangan di tengah-tengah umat, maka anda berkewajiban
melakukan itu.”
Kemudian, Abū Isḥāq
menyusun sebuah kitab yang berjudul Al-Jāmi‘ lil-Jalīly
wal-Khafiy. Ketahuilah bahwa keadaan para ahli ibadah yang berada di gunung
Libanon itu, selain mempunyai banyak ilmu, juga banyak beramal serta mempunyai
penglihatan yang tajam dalam menempuh jalan akhirat.
Ketahuilah bahwa orang semacam ini, yakni orang yang
dibutuhkan masyarakat dalam urusan agama, maka dalam pergaulan di tengah-tengah
mereka diperlukan dua perkara yang cukup berat, yaitu:
1. Memiliki kesabaran dan kesantunan yang agung, berpandangan
lemah lembut dan senantiasa memohon pertolongan Allah s.w.t.
2. Meski pun secara lahiriah bergaul dengan
masyarakat, tetapi hendaklah hatinya menyendiri. Jika mereka perlu bicara maka
layanilah dengan perkataan yang baik, jika mereka berkunjung, hormatilah
menurut derajatnya dan syukuri. Jika mereka diam dan berpaling, ambillah
manfaat dari sikap diam mereka. Jika mereka mengerjakan kebenaran dan kebaikan,
maka bantulah. Jika mereka mengerjakan kesia-siaan dan kejahatan, berpalinglah
dan jauhilah mereka. Atau bahkan cegah dan laranglah, jika sekiranya bisa
diharapkan mereka mau menerima.
Kemudian penuhilah hak-hak masyarakat seperti ziarah,
menengok orang sakit dan sebagainya. Hendaklah tidak menuntut imbalan dan tidak
pula mengharapkannya dari mereka, serta tidak menampakkan rasa kecewa karena
tidak ada imbalan. Jika mampu, berilah mereka dan terimalah seandainya diberi.
Hendaklah bisa menahan diri bila dikecewakan oleh mereka, tampakkan muka manis
dan baguskan penampilan kepada mereka. Sembunyikan kebutuhan terhadap mereka,
hendaknya ditanggung dan diusahakan sendiri.
Lakukanlah evaluasi dan introspeksi diri secara
khusus, jadikanlah hal itu sebagai bagian dari aktivitas peribadatan yang
khusus. Sebagaimana dikatakan oleh ‘Umar bin Khaththāb
r.a.: “Jika aku tidur malam,
tentu aku menyia-nyiakan diriku. Dan jika aku tidur siang, niscaya aku
menyia-nyiakan rakyatku. Lalu bagaimana aku mesti tidur di antara dua
kepentingan itu.”
Semakna dengan hal tersebut aku gubah bait-bait syair
berikut:
Jika
kamu menyukai petunjuk para imam,
kuatkanlah
dirimu, untuk sanggup menerima berbagai cobaan
dengan
hati sabar di kala menghadapi setiap kegetiran
tangkal
segala kegetiran itu dengan hati yang penuh kesabaran
jagalah
lisanmu, pejamkan mata
sembunyikan
rahasia
kunci
pintu rumah
sunggingkan
senyuman di bibirmu
meski
perut lapar dan hati terluka
keutamaan
terpendam dan cacat tersebar
setiap
hari masa mendera kamu
teman-teman
menaburkan aroma kegetiran
tetapi
hati tetap taat kepada Allah.
Siang
hari kamu sibuk berbuat kebaikan buat manusia,
tanpa
kau sebut-sebut
sedangkan
malam hari kau tumpahkan rindu
menghadap
Tuhan
tanpa
ada yang tahu
ambillah
kesempatan malam
jadikan
ia jalan lapang buat hari esok
raih
kemuliaan
pada
saat yang lain
kesulitan
mencari jalan.
Ya, secara lahiriah diri bergaul bersama orang
banyak, tetapi hatinya jauh dari mereka. Demikian itu, bagi kehidupanku
merupakan perkara yang sangat berat dan cara hidup yang amat sulit.
Dalam hal ini, guruku berkata dalam wasiatnya: “Wahai
anakku hiduplah bersama anak-anak zaman semasa dengan anda, tetapi janganlah
mengikuti mereka.” Kemudian beliau berkata: “Alangkah sulitnya hidup semacam
ini, hidup bersama orang-orang yang masih hidup, tetapi mengikuti orang-orang
agung yang telah mati.”
Diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd:
“Bergaullah anda dengan
orang banyak, tetapi tinggalkanlah mereka – karena hati anda memusat menghadap kepada Allah – dan jangan cemari agama
anda, inilah titik kulminasi kehidupan jiwa yang terpuaskan.”
Kemudian, aku katakan, apabila fitnah telah menyebar,
sebagian menimpa atas sebagian yang lainnya, seakan keadaan penuh dengan
fitnah, sementara urusan agama semakin mundur, orang-orang Islam sudah
berpaling dari agama. Mereka tidak lagi membutuhkan orang alim dan tidak
memperhatikan orang yang mengurusi persoalan keagamaan yang sangat berguna dan
tidak pula menaruh perhatian sedikit pun dalam urusan agama mereka. Anda
menyaksikan fitnah menyebar merata di mana-mana, tidak terkecuali telah
menghinggapi orang-orang yang dipandang istimewa.
Dalam keadaan demikian inilah orang alim mempunyai
alasan untuk melakukan ‘uzlah, mengasingkan diri dari masyarakat dan berhenti
menyebarkan ilmu. Aku takut, jangan-jangan apa yang aku sebutkan itu telah
menjadi realitas pada zaman sekarang ini, sebuah zaman yang meletihkan dan
menyulitkan. Kepada Allah jualah kita memohon pertolongan, dan berserah diri.
Inilah hukum ‘uzlah dan menyendiri, mengasingkan diri
dari masyarakat. Pahamilah keterangan ini baik-baik, sebab kekeliruan dalam
masalah ini menjadi persoalan besar dan banyak bahayanya. Semoga Allah s.w.t.
memberikan petunjuk kepada kita semua.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan