Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf
Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari
AL-KALABADZI
Seseorang berkata kepada Al-Nuri : “Kapan
seseorang itu boleh mengajar sesamanya?”
Dia menjawab : “Ketika dia telah memahami
masalah ke-Tuhanan, pada waktu itu barulah dia boleh mengajari hamba-hamba
Tuhan; tapi kalau dia tidak memahami masalah ke-Tuhan-an, maka penderitaan
dirinya itu diderita pula oleh seluruh negeri, dan ditanggung oleh semua
orang.” Sirri al-Saqathi berkata : “Aku ingat ketika orang-orang datang
kepadaku, dan aku berkata, “Wahai Tuhan!” Berilah mereka pengetahuan yang akan
menjauhan mereka dariku, sebab aku tidak suka mereka datang kepadaku.”
Sahl berkata : “Selama tiga puluh tahun aku
berbicara dengan Tuhan, dan orang-orang itu mengira aku berbicara dengan
mereka.” Al-Junaid berkata kepada Al-Syibli : “Kami mempelajari ilju ini
sedalam-dalamnya, dan kemudian menyembunyikannya dalam ruangan-ruangan di bawah
tanah; tapi engkau telah datang dan memamerkannya di atas kepala orang-orang
itu.” Al-Syibli menyahut : “Aku berbicara, dan aku mendengarkan; adakah sesuatu
di dunia ini selain diriku?
Salah seorang tokoh besar Sufi berkata kepada
Al-Junaid, ketika dia sedang berbicara dengan orang-orang itu : “Wahai Abu’l
Qasim! Tuhan tidak senang kepada orang yang memiliki satu pengetahuan tertentu
sampai Dia melihat dia hidup dalam pengetahuan itu, tetaplah tinggal di situ,
tapi jika tidak, turunlah.” Maka
Al-Junaid bangkit, dan tidak berbicara dengan orang-orang selama dua bulan.
Sesudah itu dia muncul lagi dan berkata :
“Kalau bukan karena aku telah mendengar Nabi berkata : “ Pada hari akhir
pemimpin orang-orang itu akan menjadi yang paling hina di antara mereka, maka
aku tidak akan muncul di hadapanmu.”
Al-Junaid juga berkata : “Aku tidak pernah
berbiicara dengan orang-orang itu, sampai tiga puluh orang yang paling
terpandang itu menunjukku, berkata : “Engkau pantas memanggil (orang-orang
lain) mendekati Tuhan.” “Seseorang bertanya kepada salah seorang Sufi itu :
“”Mengapa engkau tidak mengajar?” Dia menjawab : “Inilah suatu dunia yang telah
berbalik dan pergi; dan orang yang mengikuti dia yang telah berbalik itu lebih
terbelakang dari yang lain.”
Abu Mansur al-Panjakhini berkata kepada Abu’l
Qasim al-Hakim : “Dengan tujuan apa aku mesti berbicara dengan orang-orang
itu.” Dia menjawab : “Aku tidak mengenal tujuan yang berkaitan dengan
keingkaran, kecuali meninggalkannya,” Abu Usman Sa’id ibn Isma’il al-Razi minta
izin kepada Abu Hafsh al-Haddad, yang waktu itu menjadi gurunya, untuk mengajar
orang-orang. Abu Hafs bertanya kepadanya : “Dan apa yang mendorongmu untuk berbuar
itu?”
Dia menjawab : “Aku kasihan terhadap mereka,
dan akan menasehati mereka.” Yang lain bertanya : “Apakah ukuran dari rasa
kasihanmu terhadap mereka?” Dia menjawab : “Jika aku ahu bahwa Tuhan akan
menghukum diriku sebagai ganti semua orang yang beriman kepada-Nya, dan akan
membawwa mereka ke surga, aku akan merasa senang.” Maka Abu Hafs memberikan
izin. Nah, diapu menghadapi ujian-ujian; dan ketika Abu Usman telah
menyelesaikan pelajarannya, seseorang berdiri untuk mengemis.
Abu
Usman mencegah orang itu dengan memberikan baju yang dipakainya. Lalu
Abu Hafs berkata : “Engkau menipu, waspadalah dalam mengajar orang-orang ini,
selama hal itu masih ada dalam dirimu.” Abu Usman bertanya : “Hal apa itu,
tuan?” Dia menjawab : “Bukankah engkau begitu ingin untuk menasehati mereka.
Dan bukankah engkau ingin begitu ingin mengasihani mereka, sehingga engkau
lebih suka kalau mereka mendapatkan pahala lebih dahulu daripada engkau, dan
engkau mengikuti mereka?”
Saya mendengar penuturan yang berikut ini dari
Faris, yang mendaptkannya dari Abu Amr al-Anmati dan menyalaminya.” Al-Junaid
menyahut : “Dan damai untukmmu, wahai Panglima Hati. Berbicaralah!” Al-Nuri
berkata : “Wahai Abu’l Qasim! Engkau telah menipu mereka, dan mereka
menempatkan engkau di atas mimbar; aku telah menasehati mereka dan mereka telah
membuangku ke tumpukan sampah.”
Al-Junaid berkata : “Aku tidak pernah merasakan
kesedihan melebihi kesedihan waktu itu.” Pada hari Jum’at berikutnya dia datang
pada kami dan berkata : “Kalau engkau melihat seorang Sufi mengejar orang-orang
itu, ketahuilah bahwa dia kosong.” Ibn Atha berkata : “Firman Tuhan, “Dan
katakanlah kepada mereka ucapan-ucapan yang bisa merasuk ke dalam jiwa mereka.”
Yang berarti, (katakanlah kepada mereka) menurut kemampuan pemahaman mereka dan
batas akal mereka.” Yang lain berkata : “Firman Tuhan” Andaikata dia
membaut-buat sebagian perkataan atas nama Kami, niscaya Kami ikat
persendiannya.”
Berarti
jika dia telah menatakan mengenai hal-hal ekstasis (spiritual) dari orang
–orang materialis,” Penafsiran ini dibenarkan dalam firman lain : “katakan
kepada mereka apa yang telah diturunkan kepadamu oleh Tuhanmu.” Tuhan tidak
berfirman, “Katakan kepada mereka sesuatu yang dengannya Kami membuat diri Kami
kamu kenal.” Al-Husain al-Maghazili melihat Ruwaim ibn Muhammad sedang mengajar
orang-orang mengenai masalah kemelaratan; dia berhenti, dan berkata padanya :
Mengapa engkau kenakan pisau yang berkilau itu,
Yang dengan itu tak seorang pun pernah
dikuliti?
Congkak nian engkau dengan senjata terhunus.
Pergi, ambillah gelang kaki yang tersepuh emas!
Dia bermaksud memerikan suatu keadaan yang
belum pernah dialaminya. Salah seorang tokoh besar Sufi berkata : “Jika
seseorng mengajar tanpa mengetahui arti yang di bicarakannya, dia mirip seekor
keledai dalam kepura-puraannya itu. Tuhan berfirman : “Bagai keledai yang
membawa kitab-kitan tebal.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan