Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf
Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari
AL-KALABADZI
Al-Hasan ibn Ali ibn Yazdaniyar ditanya :
“Kapankah ahli ma’rifat itu bersama Tuhan?” Dia menjawab : “Ketika kesaksian
itu muncul dan kesaksian-kesaksian itu hilang, indera-indera itu lenyap dan
ketulusan musnah.” Ketia dia mengatakan : “Kesaksian itu muncul. Maksudnya
adalah kesaksian Tuhan, yaitu apa yang dilakukan-Nya terhadap Sufi itu
sebelumnya, kebaikan-Nya dan pemberian-pemberian ma’rifat, pengesaan dan iman
kepada-Nya yang begitu banyak, pemikiran akan hal ini akan menyebabkan
tindakan-tindakan para Sufi itu sendiri, kesalehan dan kepatuhannya sendiri,
akan lenyap dari benaknya. Lalu dia akan melihat bahwa sebagian besar dirinya tertelan
dalam sebagian kecil dari Tuhan, meski yang demikian Tuhan itu banyak dan yang
dimilikinya sedikit. Keluruhan kesaksian adalh hilangnya pemikiran akan
orang-orang lain, apakah mereka akan merugikan atau menguntungkan, menyalahkan
ayau memuji, sementara lenyapnya indera-indera itu dicontohkan di dalam hadits
(Qudsi) ini : “Lewat aku dia berkata dan lewat aku dia melihat.”. Musnahnya
ketulusan berati bahwa ketika Sufi itu memikirkan sifatnya sendiri --- sebab
sifatnya tunduk kepada penyebab, seperti dirinya sendiri – dia tiak lagi
menganggap dirinya tulus, dan tidak lagi menganggap tindakan-tindakannya pernah
atau kan tulus.
Dzul Nun ditanya : “Bagaimanakah kesudahan ahli
Ma’rifat itu?” Dia menjawab : “Ketika dia tetap seperti dia sebelumnya di
tempat dia sebelumnya di hadapan sesuatu yang dihadapinya sebelumnya.” Dengan
ini, yang dimaksudkannya adalah bahwa dia merenungkan Tuhan dan
tindakan-tindakan-Nya, bukannya merenungkan dirinya sendiri dan
tindakan-tindakannya.
Yang lain berkata : “orang yang paling mengenal
Tuhan adalah orang yang paling bingung.” Dzu’l Nun ditanya : “Apakah langkah
pertama yang harus diambil oleh ahli ma’rifat?” Dia menjawab : “Kebingungan,
sesudah itu kebutuhan, sesudah itu penyatuan, sesudah itu kebingungan.”
Kebingungan yang pertama adalah pada tindakan-tindakan dan karunia-karunia
Tuhan terhadap dirinya; sebab, dia merasa bahwa rasa syukurnya kepada Tuhan
tidak sesuai dengan karunia Tuhan itu, dan dia tahu bahwa dia perlu bersyukur
lantaran karunia-karunia itu; bahkan, jika dia bersyukur, kesyukurannya
merupakan suatu karunia yang harus disyukurinya. Dia merasa bahwa
tindakan-tindakannya tidak cukup patut untuk membawanya bertemu Tuhan; sebab
dia mengecilkan arti tindakan-tindakan itu, menganggap tindakan-tindakan itu
sebagai kewajibannya, yang tidak akan terhapuskan dalam keadaan apapun.
Dikatakan bahwa Al-Syibli pada suatu
kesempatan berdiri untuk bersembahyang, dan menanti lama sekali, sesudha itu
bersembahyang; dan setelah dia selesai bersembahyang dia berkata : “Aduh! Jika
aku berdoa, aku menyangkal, dan jika aku tidak berdoa, aku tidak bersyukur.”
Yang dimaksudkannya : “ Aku menyangkal besarnya kebaikan dan sempurnanya
karunia (Tuhan), kalau aku bandingkan itu dengan tindakan bersyukurku yang
buruk itu. Lalu dia mulai bersyair :
Kini, terrpujilah Tuhan, bahwa aku bagaikan
seekor kodok
Yang makanan pokonya tersedia di air dalam
Dan membuka mulutnya, dan segera penuh;
Ia mempertahankan kedamaiannya, dan pasti mati
dalam kesedihan
Kebingungan yang kedua adalah di dalam keliaran
tanpa penyatuan yang tak berarah, yang di dalamnya pengertian ahli ma’rifat itu
lenyap dan akalnya menciut di hadapan kebesaran kekuasaan, pesona dan keagungan
Tuhan. Telah dikatakan : “Di sisi pengesaan ini terdapat keliaran yang di
dalamnya pikiran-pikiran itu lenyap.”
Abu’l-Sauda bertanya kepada salah seorang tokoh
besar Sufi : “Apakah ahli ma’rifat itu memiliki kesempatan (waqt)?” Dia
menjawab : “Tidak,” Yang lain bertanya : “Mengapa tidak?”
Tokoh Sufi itu menjawab : “Sebab, kesempatan
adalah suatu jarak waktu untuk penyegaran setelah kemarahan, dan ma’rifat itu
(bagaikan) ombak yang menarik (ahli ma’rifat), terkadang mengangkatnya,
terkadang membantingnya, dan kesemepatannya itu hitam dan gelap.” Lalu dia
berkata :
Ma’rifat membuat satu tuntutan, dan hanya satu;
Bahwa, segala sesuatu darimu harus dihapuskan.
Maka, ketika penyelidikan panjang itu dimulai
pertama kali,
Yang mencari, belajar menjaga kemurnian
pandangannya
Faris berkata : “Ahli ma’rifat adalah seseornag
yang pengetahuannya merupakan suatu keadaan kejiwaan, dan yang geraknnya
berlimpah-limpah.”
Junaid, ketika ditanya mengenai ahli ma’rifat
berkata : “Warna air itu adalah warna wadahnya.” Yang dimaksudkannya adalah
bawa dalam setiap keadaan dia mengikuti apa yang lebih patut; nah, keadaan-keadaannya
itu berbeda-beda, maka dia disebut :Putera sang waktu>”
Dzu’l Nun berkata, utnuk menjawab pertanyaan
yang sama : “Dia ada di sisi dan kemudian pergi,” yang berarti bahwa ahli
ma’rifat itu tak pernah terlihat pada dua kesempatan dalam keadaan yang sama,
sebab dia diawasi oleh Yang lain. Puisi berikut ini dianggap sebagai gubahan
Ibn Atha :
Andaikan waktu punya lidah ‘tuk berbicara, maka
‘kan bertutur..
Bahwa dalam selubung hasrat aku senang;
Tapi, waktu tak tau tingkatku yang sejati lagi
tinggi,
Karena kuselalu bergerak ke suatu ketinggian..
Sahl ibn Abdillah berkata : “Keadaan pertama
dalam ma’rifat adalah ketika sang Sufi mendapatkan suatu kepastian di dalam
hatinya, yang dengan itu anggota-anggota tubuhnya menjadi tenang, dan suatu
sifat kebenaran di dalam anggota-anggota tubuhnya yang dengannya dia merasa
aman di dunia ini, serta suatu kehidupan di dalam jiwanya yang dengannya dia
mencapai kemenangan di dalam keadaannya yang mendatang.”
Oleh karena itu, ahli ma’rifat telah berusaha
keras untuk melaksanakan tugasnya terhadap Tuhan, dan ma’rifatnya merupakan
suatu perwujudan apa yang telah diberikan oleh Tuhan kepadanya, oleh karena itu
dia sungguh-sungguh berpaling dari segala sesuatu dami Tuhan. Tuhan berfirman : “Engkau melihat air mata mereka bercucuran,
disebabkan apa yang mereka ketahui sebagai kebenaran.” Barangkali, yang mereka
maksud dengan “mereka diketahui sebagai kebenaran” adalah yang telah mereka
ketahui sebagai kebaikan Tuhan dan pencarian-Nya akan diri mereka, berpalingnya
Dia kepada mereka serta terpilihnya mereka di antara kerabat-kerabat mereka.
Begitulah halnya dengan Ubai ibn Ka’ab. Nabi
berkata kepadanya : “Sesungguhnya, Tuhan telah memerintahkan aku untuk menyitir
(ayat-ayat suci) di hadapanmu.” Ubai berkata : “Wahai Rasul Allah! Adakah aku
disebutkan di situ?” Nabi berkata : “Ya”.
Maka Ubai lalu meratap, sebab dia tidak melihat
ada keadaan yang di dalamnya dia bisa menghadap Tuhan, tak ada syukur yang bisa
menyamai karunia Tuhan, tak cukup ingatannya akan Dia; oleh karena itu dia
bungkam sja, lalu meratap. Nabi juga berkata kepada haritsah : “Kau telah tahu,
maka berpeganglah erat-erat (padanya).” Beliau menuturkan kepadanya ma’rifat
itu, dan menyuruhnya berpegang erat-erat padanya, tanpa memberi tanda kepadanya
dengan tindakan apa pun.
Ketika ditanya mengenai ahli ma’rifat, Dzu’l
Nun berkata : “Dia adalah orang yang meskipun menyatu dengan ma’rifat itu,
terpisah darinya.” Sahl berkata : “Mereka yang memiliki ma’rifat Tuhan adalah
sebagai oarng-orang dari A’raf, yang mengenal satu sama lain dengan
tanda-tanda; Tuhan telah menempatkan mereka pada keadaan mereka, dan mengangkat
mereka tinggi-tinggi melebihi kedua tempat itu, memberi mereka pengetahuan
mengenai dua kerajaan itu.” Salah seorang tokoh Sufi menulis baris-baris puisi
ini :
Sayang nian, mereka yang telah menjalani
Kehdipan dunia ini, dan pergi di jalan mereka
sendiri!
Bertahun-tahun sudah ku berlomba dengan mereka;
Bagian yang mereka mainkan tak bisa kumainkan;
Kehdupan mereka penuh rahasia dan terpencil.
Di tengah suasana kesombongan atau keningratan,
Manusia-manusia berseru, yang melihat mereka
dilucuti
Mereka tak terbentuk, tak bernyawa!
Tiada ulasan:
Catat Ulasan