Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf
Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari
AL-KALABADZI
Kemabukan itu jelas terlihat ketika seseorang
sementara dia tidak sepenuhnya tidak sadar akan hal-hal di sekelilingnya, tidak
bisa membedakan hal-hal itu; yaitu, dia tidak bisa membedakan apa yang dapat
diterima dan menyenangkan dengan kebalikannya, dikarenakan oleh hubungannya
dengan Tuhan.
Rasa keterkuasaan oleh wujud Tuhan
menghilangkan kemampuannya untuk membedakan apa yang menyakiti dirinya dan apa
yang mendatangkan kesenangan baginya. Ini terlukis dalam beberapa penuturan.
Misalnya, ada hadits mengenai Haritsyah, yang mengatakan : “Dalam pandanganku
sama saja antara batu dan lempung, emas dan perak.”
maka Abdullah ibn Mas’ud berkata : “Aku tidak
perduli, ke dalam keadaan mana di antara yang dua itu aku akan jatuh, Entah
kekayaan atau kemiskinan; sebab, bila jatuh ke dalam kemiskinan, aku akan
sabar, dan jika ke dalam kekayaan, aku akan bersyukur.” Dia tidak bisa
membedakan lagi mana yang lebih menyenangkan dan mana yan sebaliknya, sebab dia
dikuasai oleh suatu perasaan yang diperolehnya dari Tuhan, yaitu kesabaran dan
syukur.
Kewarasan, yang menggantikan kemabukan, adalah
suatu keadaan yang membuat seseorang bisa membedakan, dan mengetahi apa yang
menyakitkan dan apa yang menyenangkan, tapi dengan sengaja memilih yang
pertama, jika itu yang sesuai dengan kehendak Tuhan; maka dia tidak akan merasa
sakit, melainkan senang, dalam pengalaman yang sebenarnya menyakitkannya.
Dikatakan bahwa salah seornag tokoh Sufi
berseru : “Jika Engkau hendak menimpakan atasku kemalangan, aku hanya akan
merasakan cinta yang lebih besar terhadap-Mu.” Abu’l-Darda dituturkan sebagai
telah berkata : “Aku mencintai mati, sebab aku rindu kepada Tuhanku; Aku
mencintai sakit, sebab aku tunduk karena dosa-dosaku; aku mencintai melarat,
sebab aku tunduk pada Tuhanku.”
Salah seorang sahabt berkata : “Betapa
berharganya dua hal yang menjijikan itu, kematian dan kemelaratan!.” Keadaan
ini lebih sempurna dibanding (yang mendahuluinya), sebab orang yang mabuk itu
jatuh ke dalam suatu yang mendatangkan kebencian tanpa menyadarinya, sehingga
dia tidak memiliki kesadaran akan perasaan benci; sedangkan yang lain lebih
menyukai yang menyakitkan daripada yang menyenangkan, dan kemudian menemukan
kesenangan di dalam kesakitannya, sebab dia telah terpesona karena adanya Dia
yang menyebabkan adanya kesakitan itu.
Orang yang waras, yang sifatnya mengatasi
kemabukan, kadang-kadang akan lebih menyukai kesakitan daripada kesenangan
tanpa mempertimbangkan pahala atau mengharapkan balas jasa; orang yang semacam
itu merasakan sakit dalam kesakitan, dan senang dalam kesenangan; yang
dimilikinya adalah kesabaran dan rasa syukur. Salah seorang tokoh Sufi
menggubah syair ini :
Jika, dalam keadaan waras, aku
Tidak lagi melihat
Kecuali yang menjadi milik-Nya, kebenaran lebih
tinggi
Apa yang menunggu dalam kemabukan, yang
merupakan
Keadan yang lebih mulia?
Kini datang kewarasan
Atau biarkan aku dalam
Kemabukan; melaksanakan rencana-Mu;
Mabuk atau waras, selamanya aku milik-Mu.
Yang dimaksudkannya adalah, jika keadaan yang
bisa membedakan itu bisa membuatku hanya menyadari apa yang menjadi milik Tuhan
dan tidak menyadari apa yang menjadi milikku, akan seperti apakah keadaan mabuk
itu, keadaan yang didalamnya kemampuan memperbedakan melarut?
Tuhan-lah yang menguasai diriku dalam pelaksanaan
tugas-tugasku, yang mengawasi diriku dalam keadaanku. Kedua keadaan itu membawa
pengaruh bagi diriku, tapi keduanya sesungguhnya milik Tuhan, dan bukan milikku
sama sekali; dan selamanya aku akan ada dalam kedua keadaan ini.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan