Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf
Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari
AL-KALABADZI
Keterkuasaan adalah suatu keadan yang dialami
oleh para Sufi, yang di dalamnya dia tidak mampu melihat penyebabnya atau
menjaga sikapnya, dan sama sekali tidak mampu membedakan apa-apa mengenai
keadaan yang menimpanya; bahkan dia mungkin melakukan sesuatu yang akan
menyebabkan dia tidak diterima dengan baik oleh mereka yang tidak mengerti
keadaan dirinya. Tapi kalau keterkuasaan itu telah lewat, maka dia akan kembali kepada keadaan dirinya
yang normal. Kekuatan-kekutan ini mungkin merupakan rasa takut, rasa terpesona,
rasa hormat, rasa malu atau yang semacam itu.
Suatu pelukisan diberikan dalam cerita Abu
Lubabah ibn Mundzir. Banu Quaraizhah bermaksud berunding dengannya, ketika Nabi
menghendaki mereka tunduk kepada wewenang Sa’id ibn Mu’adz; dan Sa’id menunjuk
lehernya dengan tangan, mengisyaratkan hukum bunuh. Lalu dia bertobat atas apa
yag telah dilakukannya, karena amenyadari bahwa dia telah bersikap tidak setia
kepada Tuhan dan Rasul-Nya; maka dia pun pergi dengan kebingungan dan akhirnya
mengikat dirinya sendiri pada salah satu ting masjid, sambil berkata : “Aku
tidak akan meninggalkan tempatku ini sampai Tuhan mengapuni apa yang telah ku
lakukan.”
Dia bertindak bagitu karena takut kepda Tuhan
yang menguasainya, dan mencegahnya pergi kepada Nabi seperti yang seharusnya
dia lakukan, menurut perintah Tuhan : “Kalau mereka, telah menganiaya dirinya
sendiri, lalu datang kepadamu sambil memohon ampunan kepda Allah, sedang Rasul
pun ikut pula memohonkan ampunan.....” Sebab tidak ada tertulis di dalam Hukum
bahwa seseorang mesti diikat pada tembok atau tiang. Ketika Nabi berkata
bertapa lama orang itu dalam perjalanan untuk menemui beliau, beliau berucap :
“Kalau saja dia telah datang kepadaku, aku pasti telah memohonkan ampun
untuknya; tapi karena dia telah melakukan apa yang kini telah dilakukannya,
maka bukanlah aku yang harus membebaskannya dari tempat ini, sampai Tuhan
mengampuninya.”
Ketika Tuha melihat bahwa dia memang tulus, dan
apa yang terjadi merupakan akibat rasa takut yang menguasinya, maka Dia pu
mengampuninya. Lalu Tuhan mewahyukan ampunan-Nya, dan Nabi membebaskannya. Nah,
ketika rasa takut ini menguasai Abu Lubabah, dia tidak mampu mengamati
penyebabnya dan tidak tahu bahwa Rasul harus mohon ampun, sebab Tuhan berfirman
: “Kalau mereka telah menganiaya dirinya sendiri....”
Dia juga tidak mampu menjaga seikapnya, yaitu
meminta maaf kepada orang yang didosainya, sehingga dia menentang Nabi ketika
beliau hendak mengdakan gencatan senjata dengan orang-orang kafir pada tahun
Hudaibiyah; Umar melompat bangun dan datang kepada Abu Bakr, berkata : “Wahai
Abu Bakr! Tidakkah Beliau itu Rasul Allah?” Dia berkata : “Ya.” Umar berkata :
“Tidakkah kita ini orang-orang Muslim?” Dia berkata : “Y.” Umar berkata :
“Tidakkah mereka itu orang-orang kafir?” Dia berkata : “Y.” Umar berkata :
“Lalu, mengapa kita membawa pertimbangan-pertimbangan duniawi ke dalam agama
kita?” Abu Bakr berkata : “Wahai Umar! Berpeganglah engkau pada sanggurdi
beliau.”(Menuruti perintahnya), sebab, aku bersaksi bahwa Beliau Utusan Allah.”
Umar berkata : “Dan aku pun bersaksi bahwa
Beliau Utusan Allah.” Lalu dia dikuasai oleh perasaannya, dan dia datang kepada
Nabi dan berkata kepada beliau seperti yang dikatakannya kepada Abu Bakr; dan
Nabi menjawab seperti Abu Bakr dan menyudahinya dengan kata-kata : “Aku adalah
hamba Tuha dan Rasul-Nya; aku tak akan menetang
perintah-Nya, dan Dia tak akan meninggalkanku.”
Sesudah itu Umar sering berkata : “Aku tak
henti-hentinya berbpausa, memberi sedekah, membebaskan para tawanan serta
berdoa, untuk menebus kelakuanku pada hari itu, sebab aku takut akan kata-kata
yang telah kuucapkan; sampai akhirnya aku berharap agar segala sesuatunya
berjalan baik.” Sama halnya ketika dia menentang Nabi, ketika beliau berdoa
untuk Abdullah ibn Ubay.
Umar berkata : “Beberapa perubahan datang pada
diriku, dan aku berdiri di hadapannya serta berkata : “Wahai Utusan Allah;
maukah nekgua berdoa untuk orang ini, mengingat bahwa dia telah berkata begini
dan begini pada hari ini dan ini?”
Begitulah dia menyebutkan harinya satu demi
satu, sampai Nabi berkata kepadanya : “Biarkan aku; aku telah diberi pilihan,
dan aku telah memilih.Abu Taibah, yang menoreh kulit Nabi lalu meminum darah
beliau, sesuatu yang terlarang dalam Hukum: ini dilakukannya dalam keadaan dia
dikuasai. Tapi Nabi memaafkannya, dan berkata : “Engkau telah memagari dirimu
sendiri dengan pagar neraka.”
Ceita-cerita semacam itu dan banyak lagi lainnya membuktikan bahwa
keterkuasaan itu merupakan keadaan murni dari jiwa yang pada saat itu orang
diizinkan berbuat hal-hal yag dilarang, dalam keadaan tidak sadar Tapi, jika
orang itu ada dalam keadaan tenang, seperti halnya Abu Bakr, dikarenakan
kondisi yang agak lebih tinggi, maka dia akan menjadi lebih mantap, dan
keadaannya lebih sempurna.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan