Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf
Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari
AL-KALABADZI
Al-Harits al-Muhasibi mendapat warisan dari
bapaknya lebih dari 30.000 dinar, tapi tidak mau menyentuhnya sepeser pun, dan
mengatakan : “Dia seorang Qadariah.”
Abu Usman berkata : “Aku sedang di rumah Abu
Bakr ibn Abi Hanifah bersama Abu Hafs. Kebetulan kami memperkatakan tentang
seorang teman yang tidak hadir, dan Abu Hafs berkata : “Jika aku memiliki
secarik kertas, akan ku tulis kepadanya.” Aku berkata, “Inilah, ada secarik.”
Saat itu Abu Bakr sedang pergi ke pasar. Abu
Hafs menyahut, “Barangkali Abu Bakr telah meninggal dunia, tanpa kita ketahui,
dan kertas itu telah menjadi milik pewarisnya. Oleh karena itu dia tidak jadi
menulis.”
Abu Usman juga berkata : “Aku sedang bersama
Abu Hafs, ketika dia menyimpan sejumlah kismis. Aku mengambil kismis itu dan
memasukannya ke dalam mulutku. Dia tiba-tiba menyambar leherku dan berkata,
“Engkau penipu, engkau makan kismisku.” Aku menjawab. “Aku yakin akan
ketidakhadiranmudalam masalah-masalah dunia ini, sebab aku tahu bahwa engkau
tidak memetingkan dirimu sendiri, dan karena itulah aku mengambil kismis itu.”
Dia menjawab : “Wahai orang tolo! Engkau
mempercayai hati yang tidak dikuasai oleh tuannya!” Saya mendengar banyak dari
syekh itu berkata : “Syekh itu akan menghindar dari behubungan dengan orang
yang melarat dikarenakan salah satu dari ketiga alasan ini: Jika ddia
melaksanakan perjalanan haji setelah menerima uang dari orang lain: Jika dia
pergi ke Khurasan; Dan jika dia memasuki Yaman.
Mereka mengatakan : “Jika dia pergi ke
Khurasan, dia melakukan hal itu hanya untuk memperoleh kemudahan, dan di
Khurasan tidak ada apa pun yang halal atau baik untuk dimakan; dan mengenai
Yaman, ada banyak jalan di sana menuju kerusakan,” Abu’l Mughith tidak pernah
beristirahat atau tidur dengan berbaring, tapi sepanjang malam dia berdiri
mendoa; dan setiap kali matanya terasa letih, dia akan duduk dan meletakkan
keningnya di atas lututnya, dan tidur sebentar. Seseorang bertanya kepadanya :
“Berbaik hatilah terhadap dirimu sendiri.”
Dia menyahut : “Tuhan yang Baik belum berbuat
baik kepadaku sehingga aku belum juga mendapatkan kemudahan. Apakah engkau
belum mendengar bahwa Tuhan Para Utusan itu berkata, Orang yang paling susah adalah para Nabi, kemudian
orang-orang yang benar-benar percaya, dan sesudah itu yang semacamnya dan yang
semacamnya.”
Dikatakan bahwa Abu Amr al-Zajjaji tinggal di
Mekkah selam bertahun-tahun, dan tidak pernah melaksanakan kebutuhan alamiahnya
di daerah Haram, tapi selalu pergi keluar untuk melakukan hal itu dan kemudian
kembali dalam keadaan suci untuk beribadah.
Saya mendengar Faris menuturkan anekdot berikut
ini : “Abu Abdillah yang dikenal sebagai Syikthal, tidak mau berbicara dengan
orang-orang , tapi memencilkan diri di padang pasir di daerah Kufah, tanpa
makan apa-apa kecuali makanan yang dihalalkan.
Aku bertemu dengannya pada suatu hari, dan
dengan mendekatinya aku berkata : “Aku mohon kepadamu demi nama Tuhan, maukah
engkau mengatakan padaku apa yang mencegah dirimu dari megajar orang? Dia
menyahut : “Wahai manusia! Kemaujudan ini bukan lain daripada suatu khayalsan
di tengah hakikat, dan adalah tidak sah bagi kita untuk berbicara mengenai
sesuatu yang tidak mengandung hakikat. Dan mengenai Yang Nyata itu, kata-kata
tak mampu memerikannya; lalu apa gunanya mengajar?
Kemudian meninggalkanku dn belalu.” Faris juga
mengatakan kepadaku bahwa dia mendengar Al-Husain al-Maghazili berkata : “Aku
melihat Abdullah al-Qasysya’ suatu malam berdiri di tepi sungai Tigris dan
berkata, “Tuhanku, aku haus; Tuhanku, aku haus.” Begitulah dia terus menerus
sampai pagi; lalu dia berkata ‘Aduh! Engkau membuat sesuatu menjadi halal bagiku tapi mencegahku untuk
mengambilnya; dan Engkau membuat sesuatu haram bagiku tapi memberiku kebebasan
untuk mendapatkannya; lalu apa yang mesti kulakukan?” Maka dia kembali, dan
tidak minum.”
Saya mendengar juga orang yang sama menuturkan
bahwa dia mendengar seorang laki-laki melarat berkata : “Pada tahun sulit, aku
berada bersama beberpa orang; aku meninggalkan mereka, dan kemudian kembali dan
memerinksa orang-orang yang luka. Aku melihat Abu Muhammad al-Jurairi, yang
waktu itu usianya lebih dari seratus tahun, dan berkata kepadanya : “Tuan,
mengapa engkau tidak berdoa, agar (kesedihan) yang engkau lihat ini bisa
dihilangkan?” Dia menyahut : “Aku telah melakukan itu.”
Dan kemudian ia menambah kan : “Sesungguhnya,
aku melakukan apapun yang hendak kulakukan. Aku mengulangi permohonanku
kepadanya dan dia berkata : “Saudaraku, ini bukan waktunya berdoa, kini adalah
waktu untuk patuh dan pasrah.” Aku berkata kepadanya : “Apakah engkau
membutuhakn sesuatu?” Dia menjawab : “Aku haus’.
Maka aku bawakan dia air, dan dia mengambilnya
serta ingin meminumnya, lalu dia melihat kepadaku dan berkata : “Orang-orang
ini haus, dan aku minum. Tidak, itu keserakahan.” Maka dia kembalikan air itu
kepadaku dan segera sesudah itu dia mati.” Faris juga menuturkan bahwa dia
mendenegar salah seorang sahabat Al-Jurairi berkata : “Selama dua puluh tahun
aku tidak pernah memikirkan tentang makanan sampai pemikiran akan hal itu
dibawa ke dalam hatiku; dan selama dua puluh tahun aku melakukan sembahyang
fajar pada saat aku baru saja menyelesaikan sembahyang malamku, yang kedua; dan
selama dua puluh tahun aku tidak pernah memendekkan doa-doa-ku kepada Tuhan,
karena takut jangan-jangan Dia nanti akan membuktikan kesalahanku lewat mulutku
sendiri.
Selama dua puluh tahun, lidahku hanya
mendengarkan hatiku; Lalu keadaanku berubah, dan selama dua puluh tahun hatiku
hanya mendengarkan lidahku.” Arti perkataannya, “Lidahku hanya mendengarkan
hatiku” adalah :Aku hanya berbicara atas dasar hakikat yang aku miliki.”
Dan “hatiku hanya mendengarkan lidahku” adalah
“Tuhan menjadikan lidahku, seperti yang dituliskan dalam hadis (Qudsi): “Lewat
Aku dia mendengar, lewat Aku dia melihat dan lewat Aku dia berbicara.” Salah
seorang Syekh kami mengatakan kepada saya bahwa dia mendengar Muhammad ibn
Sa’dan berkata : “Selama dua puluh tahunaku membaktikan diri kepada Abu’l
Maghith dan tak sekali pun aku melihatnya menyesali apa pun miliknya yang
ketinggalan.”
Dikatakan bahwa Abu’l Sauda melaksanakan
perjalanan haji kecil enam puluh kali, dan Ja’far ibn Muhammad alj-Khuldi lima
puluh kali. Salah seorang syekh kami – saya cenderung beranggapan bahwa
dia adalah Abu Hamzah al-Khurasani ---
melaksanakan perjalanan suci sepuluh kali demi Nabi, sepuluh kali demi para
sahabat Nabi. Dan satu kali perjalanan suci demi dirinya sendiri; dan dia
berharap perjalanan-perjalanan sucinya yang lain bisa membuat perjalanan
sucinya sendiri diterima oleh Tuhan.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan