Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf
Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari
AL-KALABADZI
Sahl berkata : “Wahyu itu ada dalam tiga
keadaan : wahyu berupa suatu esensi, yang tidak terselubung; wahyu berupa
sifat-sifat esensi yang merupakan penerangan; dan wahyu berupa kondisi esensi,
yang merupakan kehidupan di dunia mendatang.
Kata-kata “wahyu berupa suatu esesi” berarti
pewahyuan keterkuasaan yang terjadi di dunia ini, sebagaimana yang dilukiskan
dalam perkataan Abdullah ibn Umar : “Kami meliaht Tuhan di tempat itu,” yaitu
pada saat perjalanan menuju Ka’bah (maka Nabi berkata : “Sembahlah Tuhan seakan
engkau melihatnya)- dan wahyu visual (yang dapat dilihat) yang akan terjadi di
dunia mendatang. Yang dimaksudkannya dengan “wahyu berupa sifat esensi yang
merupakan penerangan” adalah bahwa kekuasaan Tuhan atas dirinya diwahyukan
kepadanya, Hingga dia tak takut kepada sesuatu pun kecuali Tuhan, bersamaan
dengan pemberian Tuhan untuk mencukupi kepbutuhannya, sehingga dia tak
mengharap sesuatu pun kecuali Tuhan; suatu kondisi yang ditunjukan sebagai yang
sesuai untuk semua sifat esensi lewat perkataan Haritssah, “Seolah-olah aku
melihat Singgasana Tuhan ku tampil; seakakn-akan firman Tuhan terwahyukan
kepadanya pada saat Dia berhubungan dengannya, sehingga hubungan itu bagi
Haritsah menjadi seakan-akan suatu penglihatan yang langusng. Sedangkan wahyu
berupa kondisi, akan datang di dunia nanti, “Sebagian manusia masuk surga dan
sebagian lagi masuk neraka.”
Salah seorang Tokoh besar Sufi berkata : “Tanda
dari wahyu Tuhanke dalam hati adalah bahwa hati itu tidak bersaksi akan sesuatu
yang dapat dikuassai oleh ungkapan atau terkandung dalam pengertian; Jika
seseorang mengungkapkan atau mengerti tentang sesuatu, maka hal itu adalah
pemikiran akan isyarata, bukan suatu masalah pemujaan. Yang diamksudkannya
(dengan wahyu) adalah bahwa dia bersaksi akan sesuatu yang tidak dapat
diutarakan, sebab kesaksiannya ada dalam jiwa pemujaan dan pesona, dan ini
tidak memungkinkan dia menguraikan kesaksiannya.
Salah
seorang tokoh Sufi menggubah syair berikut ini :
Kala cahaya kebenaran tampak,
Aku tenggeelam dalam ketakziman,
Dan aku sebagi orang yanng tak pernah melancong
kemudian
Pergi ke kehidupan di bawah
Kala aku menjauh
Dari dalam Dia, dan mencapai Dia,
Pencapaian pun kemudian menjadi diri yang
terbukti sia-sia
Dan diri itu mati
Dalam penyatuan suci
Dengan Dia, hanya Dia saja yang kulihat;
Aku tinggal sendiri, dan kebahagiaan besar itu
Tiada menjadi milik ku lagi
Penyatuan yang
gaib
Dari diri inni telah memisahkan diriku;
Kini menyaksikan rahasia pemusatan
Yang dua menjadi satu
Artinya : Kalau kebenaran muncul, ketakziman
menguasai diriku, sehingga aku tidak mampu mengutarakan (pengalamanku) karena
ketakziman itu, senhingga aku menjadi
menjadi orang yang yang tidak pernah dijumpai Tuhan. Kalau aku menjauh
dari diriku sendiri, maka kemaujudankan menjadi milik-Nya, dan kalau aku tidak
ada , maka kemaujudan (pribadi)ku hilang. Kondisi kestuan itu, yaitu
kepergianku meninggalkan diri, membuatku tidak dapat menyaksikan apa pun
kecuali Dia; sedangkan kondisi pelepasan dan tekanan dalam diriku sendiri,
membuatku tak menyaksikan Dia.
Oleh karena itu, seakan-akan pemusatanku lewat
Dia memisahkanku dari diriku sendiri. Kondisi penyatuan berati bahwa Tuhan-lah
yang mengawasiku, bukan aku sendiri, dalam tindakan-tindakanku; sebab Tuhan itu
ada, aku tidak.
Maka Tuhan berfirman kepada Nabi-nya : “Dan
waktu kamu melempar itu, bukan kamu yang melakukannya, melainkan Allah jualah.”
Inilah ungkapan Sufi itu; Ilmu Agama mengajarkan bahwa Tuhan itu pengawasku,
dan aku, lewat Dia, mengawasi diriku sendiri, sehingga kemudian ada hamba dan
Yang Diperhambai sekaligus.
Salah seorang tokoh Sufi berkata : “Wahyu
adalah pembukaan dalam esensi Tuhan; tabir itu berarti bahwa keadaan dirimu
sebagai makhluk mencegahmu untuk melihat apa yang tak terlihat.” Dengan
“pembukaan tabir kemakhlukan” yang dimaksudkannya dalah bahwa Tuhan menopangmu
selama adanya pemindahan wahyu dari yang tak terlihat, sebab makhluk itu tidak
dapat menahan keadaan-keadaan yang dimiliki oleh yang tak terlihat.
Tabir yang muncul aetelah adanya wahyu itu
merupakan keadaan yang di dalamnya segala sesuatu ditutup darimu, sehingga kamu
tidak dapat menyaksikannya, ini dilukiskan dalam cerita Abdullah ibn Umar.
Dia sedang mengelilingi ka’bah ketika seseorang
menyalaminya. Dia tidak membalas salam orang itu; dan ketika orang itu
mengeluhkan ni, dia berkata : “Kami melihat Tuhan di tempat itu.” Mengenai
wahyu Tuhan kepadanya, dia memberi bukti dengan mengatakan, “Kami melihat
Tuhan,” sedangkan mengenai tabir yang menutupnya, dia memberi bukti dengan
ketidaksadarannya ketika ada orang yang menyalaminya. Seperti yang dikatakan
oleh salah seorang tokoh besar Sufi :
Rahasia Tuhan begi mereka yang terselubungi
tidak dibukakan;
Jangan berusaha menyiarkan apa yang telah
disembunyikan-Nya.
Darimu; dengan apa yag tidak engkau pahami,
Sendiri, janganlah berpura-pura.
Tidakkah sepatutnya bahwa Hakikat,
Yang terejawantah, akan menyembunyikan dirinya
dalam dirimu
Tiada ulasan:
Catat Ulasan