Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf
Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari
AL-KALABADZI
Keluhuran adalah suatu keadaan yang di dalamnya
seluruh hasrat meluruh darinya, sehingga para Sufi itu tidak mengalami perasaan
apa-apa, dan kehilangan kemampuan membedakan; dia telah luruh dari segala
sesuatu, dan sepenuhnya terserap pada sesuatu yang menyebabkan dia luruh, maka
Amir ibn Abdillah berkata : “Aku tidak peduli apakah aku melihat seorang
perempuan atau sebuah tembok.” Lalu Tuhan sendiri mengawasinya, dan
mengawasinya sedemikian rupa sehingga dia melaksanakan tugas-tugasnya demi
Tuhan dan menuruti segala kehendak-Nya; dia sepenuhnya terjaga dalam memberikan
apa yang menjadi hak Tuhan, dan dia terjauh dari segala minat pribadi serta
penentangan terhadap Tuhan, sehingga dia sama sekali tidak bermaksud
menetang-Nya. Inilah yang dimaksudkan dengan perlindungan Tuhan (“ishmah) dan
pada hal inilah hadits yang termasyhur itu mengacu : “Aku menjadi telinga dan mata baginya.”
Kebakaan, yang mengikuti keluruhan, mengandung
arti bahwa para Sufi itu meluruh dari sesuatu yang menjadi miliknya sendiri,
dan tetap tinggal dikarenakan sesuatu yag menjadi milik Tuhan,.
Salah seorang tokoh Besar Sufi berkata :
“Kebakaan adalah keadaan para Nabi.” Mereka berpakaian secarik GOA (Sakinah)
dan apa –pun yang mendatangi mereka tidak akan mencegah mereka melaksanakan
tugas-tugas mereka terhadap Tuhan, dan untuk menerima karunia-karunia-Nya;
sebab, “Tangan Allah-lah yang selalu terbuka; Dia memberi karunia menurut cara
yang Dia kehendaki.” Kalau seseorang itu baka, maka, segala sesuatu baginya
menjadi hanya satu saja, dan semua yang diperbuatnya selaras, bukan sebaliknya,
sengan Tuhan; dia luruh dari yang tidak selaras dan tetap tinggal pada yang
selaras.
Nah, kenyataan bahwa “segala sesuatu baginya
menjadi hanya satu saja” tidak mengisyaratkan bahwa yang tidak selaras itu
menjadi selaras baginya, atau bahwa larangan menjadi sama dengan perintah
baginya, Hal itu semata-mata berarti bahwa apapun yang terjadi padanya, terjadi
sesuai dengan perintah dan keridhaan Tuhan, jadi tak ada sesuatu pun yang tidak
menyenangkan Tuhan. Apa yang dilakukannya, dilakukannya demi Tuhan, bukan demi
kesenangannya sendiri, baik di dunia kini maupun di dunia nanti.
Inilah
yang dimaksudkan oleh ungkapan Sufi “Dia luruh dari gelarnya sendiri dan
tinggal dalam gelar Tuhan,” sebab apa yang dilakukan oleh Tuhan, Dia lakukan
demi yang lain, bukan demi diri-Nya sendiri, tiak mencari keuntungan dari situ
ataupun menghindari bahaya. Tuhan jauh dari semua itu tapi semata-mata untuk
mendatangkan keuntungan atau kerugian bagi yang lain.
Sama halnya, para Sufi yang baka dikarenakan
Tuhan, dan luruh dari dirinya, melakukan apa yang dilakukannya bukan untuk
mendapatkan keuntungan pribadi atau untuk menghindari kerugian; Seluruh
perasaan pribadi dan hasrat untuk mendapatkan keuntungan pribadi telah hilang
dari dirinya.
Nah, ini hanya mengacu paa maksud dan tujuan;
jangan ditafsikan bahwa hal ini mengisyaratkan bahwa para Sufi itu tidak
mengalami kesenangan sama sekali dalam
melaksanakan tugasnya terhadap Tuhan, maka dia tidak mengharapkan adanya pahala
ataupun takut akana danya hukuman. Adalah benar bahwa dua perasaan ini,
pengharapan dan ketakutan, terus menerus ada dalam dirinya; tapi dia
mengharapkan pahala dari Tuhan hanya agar selaras dengan Tuhan, sebab Tuhan
menghendaki itu bagi dirinya, dan telah memerintahkannya untuk meminta itu
darinya, dan dengan demikian dia tidak bertindak demi kesenangan sendiri, sama
halnya, dia takut akan hukuman Tuhan karena dia menghormati Tuhan dan ingin
selaas dengan-Nya.
Dan Tuhan membuat makhluk-makhluk-Nya merasa
takut. Maka dalam segala perbuatannya dia bertindak demi kesenangan yang lain,
bukan demi kesenangannya sendiri. Dalam arti inilah pepata ini mestinya
dipahami; “Orang yang beriman itu makan untuk memenuhi selera keluarganya.”
Salah seorang tokoh Sufi menggubah
baris-baris syair berikut ini :
Dari ranti diri dan kedirian yang mencekik
Tuhan membebaskannya; dan kemudian
Memakaiakan lagi padanya lempung yang lember,
Sehingga rahasia-rahasia Tuhan bisa terlihat,
Maka bentuk dari bentuk harus ditarik.
Pada fajar mempesona dari wahyu.
Kehendak Tuhan yang gpasti dan Mahakuasa
Akan mengisi setiap hati dengan kegairahan
Arti yang menyeluruh dari keluruhan dan
kebakaan adalah bahwa para Sufi itu meluruh dari perasaan-perasaannya sendiri,
dan tinggal di dalam perasaan-perasaanmilik yang lain.
Juga ada jenis lain dari keluruhan, yang
merupakan keluruhan kesadaran akan ketidakselarasan (dengan Tuhan) dan dari
semua perbuatan yang secara sengaja ditujukan pada ketidak-selarasan, dan untuk
baka secara selaras dengan (Tuhan), dengan senagaja dan sungguh-sungguh
mengarahkan tujuannya pada keadaan itu dalam setiap perbuatannya. Dalam hal ini
ada juga keluruhan dari penghormatan terhadap sesuatu seain Tuhan dan baka untuk
menghormati Tuhan. Arti yang terakhir itu tampak dalam contoh yang diceritakan
mengenai Abu Hazim. Dia berkata : “Apakah dunia ini? Yang telah lewat adalah
impian, dan yang ada sekarang merupakan harapan yang sia-sia dan angan-angan.
Dan apakah setan itu, sehingga dia mesti
ditakuti? Jika dia dipatuhi, dia tidak mendatangkan keuntungan, Jika dia tidak
dipatuhi, dia tidak mendatangkan kerugian.” Dia berkata begitu seolah-olah
dunia dan setan itu tidak ada baginya.
Keluruhan perasaan-perasaan pribadi terlukis
dalam cerita Abdullah ibn Mas’ud, yang berkata : “Aku sebelumnya tidak tahu
bahwa ada di antara para sahabat Muhammad yang menghendaki dunia, hingga Tuhan
berkata, Di antaramu ada yang menghendaki kesenangan dunia dan ada pula yang
menginginkan kebahagiaan akhirat.”
Dia telah luruh meninggalkan segala hasrat
untuk dunia ini. Dalam hal ini termasuk juga kata-kata Haritsah : “Aku brpaling
dari dunia ini, dan seolah-olah aku melihat Singgasana Tuhan tampil.” Dia telah
luruh meninggalkan yang sementara menuju yang kekal, dan dari semuanya yang
lain menuju Yang Mahakuasa, Sama halnya dengan cerita Abdullah ibn Umar.
Seserang menyalaminya pada waktu dia sedang mengelilingi Ka’bah , dan dia tidak
menyahutsalam orang itu. Orang itu mengeluhkan hal itu pada beberapa temannya;
dan Abdullah berkata : “Kami melihat Tuhan di temept itu.”
Sama halnya juga dengan kata-kata Amir ibn ‘Abd
al-Qays “ Aku lebih suka ditembus pucuk lembing berkali-kali, daripada
mengalami peristiwa seperti yang baru saja kamu sebutkan.” Uaitu, pada saat dia
sedang beroda. Di ceritakan bahwa Al Hasan berkata : “Orang yang sama dengan
dia, tidak dipilih Tuhan di antara kita.” Adalagi suatu keluruhan yang lebih
jauh, yang berarti tidak sadar sama sekali akan hal-hal luaran sebagai yang
terjadi pada Musa, ketika Tuhan menurunkan Wahyu di bukit : “Musa pun
tersungkur pingsan.” Dan pada keadaan yang berikutnya, Dia yang membuatnya
tidak sadar, tidak juga memberi ketenangan kepadanya mengenai hal itu.
Abu Sa’id al-Kharraz berkata : “Tanda keluruhan
sang Sufi adalah keluruhannya dari hasratnya akan dunia ini dan dunia nanti,
kecuali hasratnya akan Tuhan. Maka akan turun untuknya sebuah wahyu dari
kekuatan Tuhan yang memperlihatkan kepadanya bahwa hasratnya akan Tuhan
meninggalkannya demi penghormatannya kepada Tuhan; lalu turun untuknya sebuah
wahyu dari Tuhan yang memperlihatkan kepadanya keluruhan hasratnya kepada
penglihatan akan Tuhan; dan yang tinggal adalah penglihatan akan sesuatu yang
menjadi milik Tuhan, Tuhan yang Esa dan Kekal hanya sendiri di dalam keesaanya;
dan dengan Tuhan tidak ada kefanaan atau kebakaan untuk yang lain selain
Tuhan.”
Kata-kata “Luruhnya dia meninggalkan hasratnya
akan dunia ini” mengandung arti pencarian akan benda-benda material, dan “dunia
nanti” berarti pencarian pahala. “Hasrat akan Tuhan”-nya baka, sebab itulah
keridhaan Tuhan dengannya dan kedekatannya dengan-Nya. Lalu datang kepadanya
penghormatan kepada Tuhan, bahwa Dia akan mendekat atau merasa senang dengan
yang seperti dia, maka dia memandang rendah dirinya sendiri dan menghormati
Tuhan.
Akhirnya datang kepadanya suatu keadaan yang di
dalamnya hak Tuhan sepenuhnya menelan dirinya, dan membuatnya tidak sadar akan
penglihatan akan sifatnya sendiri, yaitu penglihatan akan keluruhan hasartanya.
Kemudian tinggal-lah dalam dirinya suatu yang datang dari Tuhan untuk dirinya;
sedang apa yang datang dari dirinya untuk Tuhan , meninggalkan dirinya. Maka
jadilah dia seperti ketika ada dalam pengetahuan Tuhan, sebelum Tuhan
memunculkan dirinya dan ketika sesuatu yang datang kepadanya dari Tuhan, datang
tanpa adanya tindakan dari dirinya.
Keluruhan bisa juga diungkapkan dengan cara
yang lain; yakni menjauh dari sifat-sifat manusia dalam (menanggung) beban
menakutkan sifat-sifat Tuhan, sehingga sifat-sifat manusai, yaitu kebodohan dan
ketidak adilan, hilang, seperti firman Tuhan : “Lalu amanat itu diterima oleh
manusia, Dengan demikian, manusia itu sangat zalim dan bodoh.” Sifat-sifat itu
juga termasuk tiak tahu bersyukur, tidak kenal terimakasih dan setiap sifat
yang patutu disalahkan; dan semua ini hilang, dalam arti bahwa pengetahuan
Tuhan menang atas kebodohan manusia, keadilan Tuhan atas ketidakadilan manusia,
teima kasih Tuhan atas kekufuran manusia, dan seterusnya,
Abul Qasim Faris berkata : “Keluruhan adalah
keadaan seseorang yang tidak menyaksikan sifatnya sendiri, tapi menyaksikannya
sebagai disembunyikan oleh Dia yang membuat sifat itu lenyap,” Dia juga berkata
: “Keluruhan sifat manusia jangan ditafsirkan sebagai tidak ada, tapi tafsikan
baha sifat itu tertutup oleh suatu kesenangan yang menggantikan realisasi rasa
sakit,”
Kesenangan ini, yang muncul pada diri Sufi
dalam keadaan kejiwaannya, adalah seperti yang menimpa kerabat-kerabat wanita
Yusuf; “Mereka mengiris jarao-jari mereka sendiri.” Sebab sifat-sifat mereka
sendiri telah lenyap dikarenakan kesenangan yang memenuhi hati mereka ketika
melihat Yusuf, dan Yusuf membuat mereka tidak sadar akan rasa sakit yang mereka
derita dikarenakan jari-jari mereka yang teriris. Dalam masalah ini, salah
seorang dari tokoh-tokoh senagkatan kami menulis syair berikut ini :
Kala wanita-wanita Mesir itu mengiris tangan
mereka
Dikarenakan ketampanan rupa seseorang,
Mereka tahu mengenai pesona, yang menahan
Semua kejutan, dan tak merasa marah.
Pupuslah sudah sifat manusia mereka,
Kesenangan dan ketidaksenangan,
Hapuslah sudah semua kebiasaan
Mereka tidak mengacuhkan tapak tangan yang
berdarah
Tapi dia, sang istri pangeran
Tiada mengiris tangannya, tak membiarkannya
berdarah;
Sebab Yusuf adalah cinta dan kehidupannya,
Dan Yusuf tak ikut campur dalam perbuatan itu.
Syair berikut ini juga melukiskan keadaan
keluruhan :
Maka kami mengingat ---- nama kealpaan
Bukanlah kebiasaan kami, tapi cahaya bersinar,
Udara gaib terhirup, dan Tuhan dekat.
Lalu hilang lenyaplah kedirian, dan aku
Ada sendiri bersama Tuhan, yang dengan kabar
jelas
Bersaksi ata Dzat-Nya dan dengan itu di kenal
Beberapa tokoh Sufi menganggap keadaan-keadaan
ini sebagai suatu keadaan tunggal, lepas dari kenyataan bahwa berbaga istilah
diterapkan untuk keadaan-keadaan itu. Maka mereka menyetarakan keluruhan dengan
keberkesinambungan, pemusatan dan pemisahan, dan begitu juga kehadiran dengan
ketidakhadiran, kemabukan dengan kewarasan.
Sebab Sufi itu pergi meninggalkan apa yang
menjadi milik Tuhan; sementara, sebaliknya, dia bukan bersama apa yang menjadi
milik Tuhan, dan dengan demikian pergi meninggalkan apa yang menjadi miliknya.
Ketika dia pergi, dia juga terpusat, dia juga terpisah, sebab dia tidak
menyaksikan sendiri, Begitu pula kerabat-kerabatnya. Dia baka sebab Dia tinggal
bersama Tuhan, Yang memusatkannya pada Diri-Nya sendiri; dia pergi meninggalkan
sesuatu yang selain Tuhan, sebab dia terpisah dari sesuatu itu.
Dia tak hadir dan mabuk, sebab kemampuan
membedakan itu – yang telah kami jelaskan dalam hubungannya dengan kesenangan
dan kesakitan – hilang, dan dalam hal ini, segala sesuatu menjadi satu baginya.
Dia tidak menyaksikan gejala ketidakselarasan, sebab Tuhan hanya
memerintahkannya agar bertindak selaras dengan diri-Nya. Pembedaan hanya bisa
terjadi dalam hubungannya dengan dua hal; dan kalau segala hal telah menjadi
satu saja maka pembedaan itu habislah.
Kelompok yang lain menjelaskan keluruhan
sebagai berikut : “Para Sufi itu dijauhkan
dari setiap jejak pribadi (rasm) dan dari semua jejak semacam itu tanpa
dirinya (marsum), sehingga selama masa (waqt) gaibnya dia tinggal tanpa
kebakaan sepanjang yang bisa dipahaminya, tanpa pergi meninggalkan sepanjang
dia sadar, dan tanpa masa sepanjang dia memahami; tapi penciptanyalah yang tahu
mengenai ketetapan tinggalnya dan kepergiannya, dan Dia menjaganya dari setiap
tindakan yang patut di cela.
Mereka berselisih paham mengenai masalah apakah
para Sufi yang telah luruh, akan pernah kembali lagi pada sifat-sifatnya.
Sebagian mengatakan bahwa para Sufi itu pasti kembali dan bahwa keadaan
keluruhan itu tidak tetap; sebab, jika tidak begitu, maka anggota-anggota tubuh
pra Sufi itu akan kehilangan manfaatnya untuk melaksanakan tugas-tugas
keagamaan, dan jelas tidak akan mampu melakukan sesuatu pun dalam hubungannya
denga kehidupannya di dunia ini, begitu juga di dunia nanti.
Dalam hubungan ini, Abu’l Abbas ibn Atha telah
menulis sebuah buku yang berjudul “Kembalinya dan Asal Mula Sifat-sifat. Tapi
tokoh-tokoh besar Sufi, dan mereka yang memiliki pengalaman-pengalamana yang
bernar, di antaranya al-Junaid, al-Kharraz dan An-Nuri, tidak beranggapan bahwa
para Sufi itu tidak kembali kepada sifat-sifatnya sendiri setelah keluruhannya
itu.
Mereka mendebat dengan mengatakan bahwa
keluruhan itu merupakan suatu karunia dan pemberian Tuhan bagi Sufi itu, suatu
tanda kesukaan khusus, bukan suatu kondisi yang dicari, itu merupakan suatu
yang diberikan oleh Tuhan kepada orang-orang yang telah dipilih-Nya dan
ditunjuk-Nya sendiri. Oleh karena itu, jika Dia mengenbalikan Sufi itu pada
sifatnya sendiri, Dia akan mengambil lagi apa yang telah diberikan-Nya, dan
menjemput kembali apa yang telah diserahkan-Nya, dan ini tidak cocok dengan
sifat Tuhan; atau jika hal itu dianggap sebagai akibat dari suatu perubahan
pikiran, maka itu merupakan sifat oarng yang mencari pengetahuan lebih banyak,
dan ini disangkal dalam hubungannya dengan Tuhan; atau jika ini ditafsirkan
sebagai suatu tipuan atau kecohan, maka Tuhan tidak bisa dikatakan sebagai
tukang tipu, dan Dia tidak pernah mengecoh orang-prang beriman, Dia hanya
mengecoh orang-orang munafik dan orang-orang gkafir. Keluruhan bukan merupakan
suatu keadaan yang bisa dicapai dengan kebaikan pribadi, dan bahwa kebalikannya
harus juga dicari secara demikian.
Jika disangkal bahwa Sufi itu nantinya akan
berpaling dari iman, yang merupakan taraf tertinggi, sebab dengan itu semua
keadaan telah dapat dicapai, inilah jawaban kami. Iman yang dirinya seseorang
itu kebali adalah iman yang telah didapatkannya lewat pengakuan lidah dan
perbuatan anggota-anggota tubuhnya; iman yang semacam itu tidak bercampur dalam
hatinya yang sesungguhnya, baik sebagai suatu perwujudan yang langsung maupun
suatu kepercayaan yang benar. Dia hanya mengakui tanpa mengetahui kebenran apa
yang diakuinya; seperti yang dituturkan dalam hadits : “Malaikat (kematian)
akan datang kepada seseorang ketika dia telah berada dalam kubur, dan akan
bertanya : “Apakah yang kamu katakan mengenai orang ini? Dia akan menjawab :
“Aku mendengar orang ini mengatakan sesuatu dan karena itu aku mengatakannya.”Orang
yang semacam itu adalah seorang peragu, dan tidak memiliki kepastian. Atau,
kalau tidak, maka dia mengakui dengan lidahnya, tapi mengingkari dengan
diam-diam pengakuannya itu; maka orang munafik itu mengakui dengan lidahnya,
sedang hatinya mengingkari pengakuannya itu, dan diam-diamm menentangnya.
Atau mungkin dia mengakui dengan lidahnya, dan
tidak mengingkari pengakuan itu atau diam-diam menentangnya, di dalam hatinya,
tapi apa yang diakuinya itu tidak ada kebenarannya, baik lewat pemikiran maupun
lewat ilham; dia belum mendapatkan pembuktiannya lewat ilu sehingga dia memiliki bukti-bukti
kebernarnnya, dan dia belum merasakan di dalam hatinya suatu keadaan kejiwaa
yang akan bisa menghilangkan keraguannya. Seperti apa pun masalahnya, kedukaan
merupakan bagian yang ditakdirkan oleh Tuhan untuk dirinya; keraguan timbul
dalam dirinya, yang dikarenakan entah oleh pikirannya sendiri ataupun oleh
pendebatan-pendebatan orang lain; dia tergoda, dan berpaling dari iman kepada
kebalikannya.
Sedangkan mengenai orang yang yang diberi
bagian yang lebih baik dari Tuhan, tidak ada keraguan dalam dirinya, dan semua
sangkalan meninggalkannya; sebagai akibat dari apa yang telah didapatkannya
dari pengetahuan di dalam kitab dan Sunnah, dengan bukti-bukti yang masuk akal,
yang menghapuskan pikiran-pikiran jelek serta serta menolak segala keraguan
akibat pendebatan itu, sebab tidaklah mungkin sesuatu yang benar itu ditentang
dengan bukti-bukti yang juga benar, dan dengan begitu maka tidak ada keraguan
pada dirinya sama sekali. Juga, karena dia telah mendapatkan iman yang benar,
dan Tuhan sendiri, lewat perlindungan-Nya, menolakkan bagi dirinya segala
pikiran jelek dan dengan demikian juga menolakkan dari dirinya para pendebat
yang mendatangkan keraguan-keraguan dengan karunia-Nya yang istimewa, sehingga
dia tidak lagi harus menemui para pendebat itu, maka kebenaran imannya akan
aman, meskipun dia mungkin tidak memiliki kemampuan membeberkan yang dibutuhkan
untuk bedebat dengan pendebat itu, atau untuk menghalau pikirannya sendiri;
atau kalau tidak, karena kebenaran dari pengakuannya telah ditegaskan dengan
penglihatan atau ilham, sebagaimana halnya dengan Haritsah, yang mengatakan
kepada kita bahwa dia benar-benar melihat apa yang dipercayainya; sehingga
sesuatu yang (secara normal) tidak ada, menggantikan apa yang ada, sebab dia
berkata bahwa dia berpaling dari dunia yang terlihat ini, dan yang tidak
terlihat menjadi terlihat baginya, dan yang terlihat tak terlihat maka Al-Darani berkata : “Mata hati mereka
terbuka dan mata kepala mereka tertutup.”
Kalau pengakuan seseorang itu dibenarkan dengan
jalan ini maka dia tak akan kembali dari akhirat ke dunia kini, atau
meninggalkan sesuatu yang lebih baik untuk sesuatu yang lebih buruk. Ini semua
merupakan sarana-sarana yang digunakan oleh Tuhan untuk melindungi, dan itu
merupakan suatu bukti janji-Nya : “Tuhan memberi jawaban yang pasti kepada yang
beriman, baik dalam kehidupan di dunia kini maupun di dunia nanti.” Oleh karena
itu, ditegaskanlah bahwa orang yang sungguh-sungguh beriman itu tidak dapat
digoyahkan dari imannya, sebab iman itu merupakan karunia, pemberian dan tana
kesukaan yang istimewa dari Tuhan untuk dia; jauh sekali Tuhan dari perbuatan
mengambil kembali apa yang telah Dia berikan, atau menjemput kembali apa yang telah
Dia anugerahkan.
Nah, iman yang sesungguhnya itu, dan iman yang
semata-mata merupakan formalitas saja, masing-masing memiliki ketrampilan yang
sama, tapi sifat-sifat keduanya yang sebenarnya berbeda, sebaliknya keluruhan
itu, dan semua keadaan istimewa lainnya, secara lahiriah tampak berbeda, tapi
sifat-sifat yang sebenarnya sama. Keadaan-keadaan itu bukan merupakan akibat
kebaikan pribadi, melainkan sebagai tanda keridhaan (Tuhan).
Oleh karena itu, tidak masuk akal-lah kalau
orang mempertahankan pendapat bahwa Sufi itu, yang telah pergi, kembali lagi
kepada sifat-sifatnya sendiri. Jika seseorang penganut pendapat ini, sedangka
dia telah menegaskan bahwa Tuhan memilih dan menunjuk sendiri Sufi itu, dan
sesudah itu mengembalikannya lagi pada keadaannya yang semula, maka berarti dia
menyatakn bahwa Tuhan memilih apa yang sesungguhnya tidak
Dia pilih, dan menunjuk apa yang sesungguhnya
tidak Dia tunjuk. Hal ini, jelas tidak masuk akal; sama tidak masuk akalnya
kalau dikatakan bahwa hal itu mungkin saja, dengan maksud untuk meltih Sufi itu
dan menjaganya dari godaan, sebab Tuhan tidak menjaga apa yang telah
diberikan-Nya kepada hamba-Nya dengan maksud untuk mengambilnya lagi, atau
mengembalikan orang itu dari keadaan yang lebih tinggi ke keadaan yang lebih rendah.
Ini terlukais dalam kisah para nabi; sebab pendapat yang semacam itu, seperti
yang sebelumnya, akan mengisyarakatkan bahwa mustahil bagi Tuhan menjaga para
Nabi agar tidak terkena godaan, maka diturunkannya taraf para Nabi tersebut ke
taraf para wali atau bahkan ke taraf yang lebih rendah lagi, dan itu tidakm
masuk akal. Kebaikan Tuhan dalam menjaga para Nabi-nya dari berbuat dosa, dan
menjaga orang-orang suci-Nya dari godaan, terlalu banyak untuk di hitung atau
diingat-ingat, dan kekuasaan-Nya terlalu besar untuk dibatasi menjadi satu atau
dua tindakan saja.
Jika suatu sangkalan, yang menyatakan bahwa
kasus orang yang kepadanya telah dibawakan tanda-tanda Tuhan, “dan kemudian
berpantang mempercayainya.” Dipakai menyangkal pendapat ini, maka sangkalan itu
tidak sah.
Orang yang “berpantang mempercayainya” itu sama
sekali tidak pernah merasakan keadaan kejiwaan atau mengalami keadaan itu, dan
dia tidak pernah terpilih atau ditunjuk (oleh Tuhan); sebaliknya, dia dibawa
pelan-pelan menuju kehancuran, sebab dia kena tipu dan kena kecoh. Secara
lahiriah dia mendapatkan tanda-tanda orang terpilih, tapi dalam
kenyataannya dia adalah orang yang
ditolak’ secara lahiriah dia terhiasi dengan kesibukan-kesibukan yang berharga
dan rangkaian doa-doa suci, tapi hatinya buta dan kesadarannya terselubungi.
Dia tidak pernah mengetahui nikmatna pilihan itu, atau merasakan senangnya
iman, dan dia tidak pernah mengenal Tuhan dengan cara merasakan ehadiran Dia (Syuhud); begitulah yang
dimaksud oleh Tuhan ketika
Dia berfirman : “Dan dialah salah seorang dari
yang terperdaya.” Demikian juga berfirman semnegani iblis : “Dan dia termasuk
yang kafir.” AL-Junaid berkata : “Iblis tidak pernah bisa merenung kalau dia
masih ingkar.”
Abu
Sulaiman berrkata : “Seseorang itu tidak akan kembali, kecuali dia yang
dalam perjalanan; jika mereka telah tiba di tujuan, mereka tidak akan pernah
kembali.”
Sufi yang telah luruh dijaga dalam melaksanakan
tugas-tugasnya kepada Tuhan, sebagai yang dilukiskan dalam kisah berikut ini.
Seseorang berkata kepada Al-Junaid : “Abu’l
Husain al-Nuri terlah berdiri selama beberapa hari di masjid Syunizi, tanpa
makan, minum, atau tidur, dan setiap saat dia berkata. “Tuhan, Tuhan.” Dan dia
bersembahyang pada waktu-waktu yang tepat.” Lalu seseorang yang berdiri di
sampingnya berkata : “Dia waras.”
Al-Juanid berkata : “Tidak! Orang yang
mengalami ekstase itu dijaga oleh Tuhan dalam ekstase mereka.”
Nah, jika Sufi yang telah luruh itu tidak
kembali kepada sifata-sifat yag manapun, maka dia tidak akan kembali kepada
sifat-sifatnya sendiri, melainkan ditempatkan dalam keadaan yang di sana dia
tetap tinggal bersama siffat-sifat Tuhan. Orang yang luruh itu tidak hilang
akal, atau gila; tidak pula sifat-sifat kemanusiaannya lenyap, sehingga dia
akan menjadi malaikat atau hantu; dia hanya luruh dari perasaan-perasaannya
sendiri, sebagai yang telah kami jelaskan sebelumnya.
Orang yang luruh itu bisa jadi seperti salah
satu dari dua jenis yang ada. Dia mungkin seperti orang yang tidak bisa
dianggap sebagi seorang pemimpin atau teladan; keluruhannya bisa jadi berarti
mangkir dari sifat-sifatnya sendiri,
sehingga dia tampak benar-benar gila dan hilang akal, sebab dia tidak bisa lagi
membedakan apa yang bisa mendatangkan keuntungan baginya, dan tidak lagi
mencari kesenangannya sendiri; dan juga karena dia dijaga hanya untuk
melaksanakan tugas-tugasnya kepada Tuhan.
Di antara orang-orang yang semacam itu, banyak
yang termasuk umat (Muhammad), yaitu Hilal si orang Habsyi, budak Al-Mughirah ibn
Syu’bah yang hidup pada masa Nabi, dan yang disebut-sebut oleh Nabi secara
istimewa; Uwais al-Qarni, yang hidup
pada masa Umar ibn al-Khattab, dan yang di sebut-sebut oleh Nabi (sebelumnya)
di hadapan Umar dan Ali; dan banyak yang lain-lainnya lagi.
Sebaliknya, orang yang luruh itu bisa jadi
seorang pemimpin yang patut diikuti; mengatur mereka yang mendekatkan diri
kepadanya; orang semacam itu ditunjuk untuk mengatur dan memberi pelajaran bagi
kerabat-kerabatnya. Dia dipindahkan ke dalam keadaan-keadaan, dan dia mengatur
urusan-urusannya lewat sifat-sifat Tuhan, bukan oleh sifat-sifatnya sendiri,
dengan cara-cara yang telah kami jelaskan sebelumnya.
Seseorang bertanya kepada Al-Junaid : “Apakah
firasat (firasah) itu?” Dia menjawab : “Firasat adalah hilangnya kecermatan.”
Yang lain berkata : “Apakah orang yang memiliki firasat mendapatkan sifat itu
pada saat hinggapnya kecermatan itu saja, atau dia memilikinya selamanya?
Dia menjawab : “Selamanya. Itu merupakan suatu
pemberian (Tuhan) dan karenanya ada bersama dia terus menerus.” Dengan begitu
Al-Junaid mengisyaratkan bahwa pemberian (Tuhan) itu ada terus menerus.
Jika seseorang mengikuti dengan sekssama
kitab-kitab Sufi, dan mengerti acuan-acuannya, dia akan tahu bahwa doktrin
mereka adalah seperti ayng kami tuturkan. Sesungguhnya, doktrin ini dan
masalah-masalah serupa ini oleh orang-orang sufi tidak didokumentasikan atau
dituliskan; tapi doktrin itu mereka kenal dari pemahaman mereka yang benar
mengenai teka-teki doktrin itu dan dari tanggapan yang benar berkenaan dengan
isyarat-isyarat doktrin itu. Tuhanlah yang paling tahu.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan