Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf
Karya Ibn Abi Ishaq
Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI
Zikir yang sesungguhnya adalah melupakan
semuanya kecuali Yang Esa. Maka Tuhan berfirman : Dan ingatlah kepada Tuhanmu
jika engkau lupa.” Yaitu, jika engkau telah melupakan apa yang bukan Tuhan,
maka berarti engkau telah mengingat Tuhan.
Nabi berkata : “Orang yang sendiri itu lebih
utama.”
Mereka bertanya : “Siapakah orang yang sendiri
itu, wahai Rasul Allah?” Dia menjawab : “Laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat.”
Yang sendiri” adalah dia yang tidak bersama sia-siapa.
Salah seorang tokoh besar Sufi berkata :
“Ingatan itu membuang alpa; dan kalau kealpaan itu telah hilang, maka engkau
menajdi orang yang ingat, bahkan jika engkau diam saja.” Puisi yang berikut ini
dianggap merupakan gubahan al-Junaid :
Aku mengingat Engkau;
Tak akan kenanganku
Walau dalam sekejap mata pun
Lepas dari engkau
Aku mengingat engkau;
Tapi tak ada yang lebih mudah..
Dibanding kata yang gampang terucap..
Terlupa segera setelah terdengar..
Saya mendengar Abul Qasim al-Baghdadi
menuturkan, bahwa dia bertanya kepada salah seorang tokoh besar Sufi : “Apakah
yang membuat jiwa para “Ahli ma’rifat” itu sakit? Mereka membenci zikir, dan
senang akan perenungan, tapi, sebenarnya, perenungan itu tidak mendatangkan
penyelesaian, sedangkan zikir itu tidak membawa mereka jauh dari penderitaan.
Kebanggan mereka ada dalam kehormatan yang tersembunyi di balik perenungan, dan
yang membuat mereka lupa akan penderitaan dalam susah payah mereka.”
Dengan mengatakan, “Mereka menganggap enteng
buah dari zikir.” Dia mengisyaratkan bahwa buah-buah zikir ini merupakan
kesenangan jiwa (Nafsu), dan sudah tentu para ahli ma’rifat itu telah berpaling
dari jiwa dan kesenangan-kesenangannya.
Tapi, perenungan mereka adalah tentang
keagungan, kebesaran, pilihan dan kebaikan Tuhan; mereka merenungkan utang
mereka pada Tuhan, dan karena itu mereka menghormati-Nya, sementara mereka
berpaling dari pemikiran mengenai kebaikan apa saja yang mungkin mereka miliki
di hadapan Tuhan, karena menghargai Dia.
Sebab Nabi berkata, atas persetujuan Tuhan,
“Jika seseorang selalu mengingat Ku sehingga ia lupa berdoa kepada-Ku, Aku
anugerahkan baginya pahala yang lebih mulia daripada pahala yang Ku berikan
bagi mereka yang berdoa kepada-Ku.”
Firman ini bisa ditafsirkan begini : Jika
seseorang begitu terpusat perhatiannya dalam merenungkan keagungan-Ku sehingga
dia lupa mengingat Aku dengan lidahnya .... Sebab ingatan dengan lidah itu
berarti berdoa; lebih-lebih, perenungan mengenai keagungan-Nya itu
membingungkan dia, dan membuat dia tidak mengingat Tuhan lagi. Inilah arti
kata-kata Nabi : “Aku tidak bisa
membllang pujian yang menjadi milik-Mu.” Puisi Al-Nuri berikut dikutip dalam
hubungannya dengan hal ini :
Begitu menggebu cintaku, aku sungguh ingin,
Untuk menyimpan kenangan-Nya, selamanya dalam
hatiku;
Tapi wahai, gairah yang membakarku..
Menghanguskan pikiran ku, dan membutuhkan
ingatanku!.
Dan sungguh ajaib, gairah
Itu sendiri tersapu, menjauhd an mendekat
Kekasih berdiri, dan seluruh rasa
Kenanganku tersapu dalam harapan dan
ketakutan..
Al-Junaid berkata : “Jika seseorang mengatakan
“Tuhan” sedangkan dia belum pernah merenung, maka dia seorang pendusta.”
Kebenaran pernyataan ini disaksikan oleh firman
Tuhan : “Mereka mengatakan : “Kami mengakui, bahwa kamu benar-benar utysan
Allah.” ..... Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar
pendusta.” Tuhan menuduh mereka pendusta, meskipun pernyataan mereka itu benar
adanya, karena pernyatan itu tidak didasarkan atas perenungan. Yang lain berkata : “Hati adalah
untuk merenung, lidah adalah untuk mengutarakan perenungan itu; Jika seseorng
mengutarakan sesuatu tanpa merenungkannya, maka dia adalah saksi yang tidak
sah.” Salah seorang tokoh Sufi berkata :
Engkaulah pencipta kesusahanku, Tuhan, bukan
kenanganku,
Sebab Engkau akan menghapus segala kenanganku,
Kenangan adalah selubung, dan bersekutu dengan
pikiran..
Untuk membutakan hatiku, dan menyembunyikan
Engkau dari
Pandangan-ku
Inilah penafsirannya : Zikir adalah alat bagi
oang yang mengingt; oleh karena itu, jika saya tak merenung pada saat ssaya
mengingat, maka klalaian itu adalah pada diri saya, sebab , sifat-sifat orang
itu sendirilah yang mencegahnya dari merenungkan Tuhannya.
Sarri as-Saqati berkata : “Aku menemani seorang
berkulit hitam (negro) di padang pasir dan aku mengamati bahwa setiap kali dia
mengingat Tuhannya, warna kulitnya berubah putih.
Aku berkata : “Saudaraku, sungguh, jika engkau
mengingat Tuhan sebagaimana Dia mestinya diingat, kulitmu sendiri pun akan berubah,
dan bentukmu berganti.” Lalu dia mulai bernyanyi :
Kami-kmai mengingta ... namun kealpaan
Bukanlah kebiasaan kami, tapi cahaya bersinat..
Udara gaib terhirup, dan Tuhan dekat..
Lalu hilang lenyaplah kedirina, dan aku
Ada sendiri bersama Tuhan, yang dengan kabar
jelas
Bersaksi atas Dzat-Nya dan dengan itu dikenal,
Syair berikut dari Ibn Atha bisa juga dikutip :
Zikir adalah dari jenis yang lain, kulihat,
Yang pertama oleh cinta dan rindu bisa di
atasi;
Yang berikut, hubungan jiwa,
Dan dengannya bercampur, sebagai keseluruhan
tanpa kehidupan
Oleh ruh dipercepat pada nafa..
Yang berikut melepas ruh, dan berurusan dengan
kematian..
Yang kadang tersembunyi, kdang tampak, yang
akhir menjulang..
Tinggi atas mahkota kepala, dan segala kekuatan
Penglihatan dan pemikiran, ya, setiap fantasi..
Dari benak tiada sanggup menjangkau. Dengan
jelas
Mata hati kemudian melihat Dia, dan mencaci
Zikir, sebagai beban yang berat ditanggungnya.
Dia membagi zikir menjadi beberapa kelas. Yang
pertama adalah zikir hati, berarti bahwa Dia yang diingat dulunya terlupakan,
lalu teringat kembali; yang kedua adalah Zikir tentang sifat-sifat Dia yang
diingat; yang ketiga adalah perenungan mengenai Dia yang diingat.
Dan yang terakhir ini, maka berarti orang itu
telah melewai zikir; sebab sifat-sifat Dia yang diingat membuat engkau jauh
dari sifat-sifatmu sendiri, dan dengan begitu engkau jauh dari zikir.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan