Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf
Karya Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari
AL-KALABADZI
Salah seorang tokoh besar Sufi berkata :
“Ibadah yang sesungguhnya adalah melaksanakan apa yang telah dibebankan oleh
Tuhan sebagai suatu tugas, asal itu diartikan sebagai suatu kewajiban; yaitu,
bahwa tugas tersebut harus dilaksanakan tanpa mengharapkan balasan, meskipun
engkau tahu bahwa itu merupakan suatu karunia (Tuhan); tugasmu kepada Tuhan itu
sudah cukup, ketika engkau melaksanakan tindakan itu, untuk membuang segala
pengharapan akan karunia dan balas-jasa.
Sebab
Tuhan berfirman : “Sesungguhnya Allh
telah membeli jiwa dan harta orang mukmin,” yaitu bahwa mereka boleh
membaktikan diri mereka sebagai hamba, bukan dengan jiwa yang loba.”
Seseorang berkata kepada Abu Bakr al-Wasithi :
“Dengan cara bagaimana sang Sufi
melaksanakan perbuatannya?” Dia menjawab : “Dengan cara meluruh dari
tindakan-tindakannya, yang menjadi ada didkarenakan sesuatu yang selain dia.”
Abu Abdillah al-Nibaji mengatakan : “Kesenangan dalam kepatuhan itu merupakan
buah permisahan dari Tuhan. Seseorang itu tidak disatukan dengan Tuhan dikarenakan
hal itu, atau dijauhakan (Dari Tuhan, dikarenakan tiadk adanya hal itu); dia
tidak mempercayainya sebagai sesuatu yang patut diandalkan, dia pun tidak
meninggalkannya karena dorongan semangat
penentangan. Dia melaksanakan tugas-tugasnya semata-mata demi Tuhan,
sebagai seorang budak dan hamba, bersandar pada apa (yang ditakdirkan oleh
Tuhan) di dalam masa pra-kekekalan.” Yang dimaksudkannya dengan “Kesenangan
dalam kepatuhan” adalah menganggap hal itu mendahului dirinya, tanapa menyadari
karunia Tuhan dalam membantu orang itu (untuk patuh).
Firman Tuhan : “Sesungguhnya seruan dari
Tuhanitu lebih baik.” Ditafsirkan bahwa itu lebih baik daripada di dalam
akalmu, atau yang dapat diutarakan oleh lidahmu. Zikir yang sesungguhnya
berarti meluakan yang selain Tuhan, sebab, Tuhan berfirman : “Dan ingatlah
kepada Tuhanmu jika engkau lupa.”
Maka Firman Tuhan : “Makan minumlah sesenang
hatimu, berkat perbuatan kebajikan yang telah kamu lakukan pada masa silam.”
Ditafsirkan bahwa pada masa silam itu mereka tidak mengingat Tuhan, sehingga
kamu harus tahu bahwa apa yang kamu peroleh itu dikarenakan kebaikan Tuhan;
bukan didkarenakan tindakan-tindakan sendiri.
Abu Bakr al-Qahtabi berkata : “Jiwa orang yang
percaya kepada, pada keesaan Tuhan itu muak dengan segala gelar sifat-sifat
mereka yang teelah ternyatakan, dan segala sesuatu yang muncul dari sifat-sifat
itu mereka anggap menjijikan. Mereka terrpisah dari kesaksian-kesaksian mereka,
perolehan-perolehan mereka, dan keuntungan-keuntungan mereka, dan mereka tidak
mampu menyatakan tuntutan apa pun di hadapan-Nya, sebab mereka telah
mendengarkan-Nya berfirman : “Dan jangan mempersekutukan seorang pun dengan
Tuhan dalam peribadatan.” Dengan “kesaksian” yang dimaksudkannya adalah
kemanusiaan, dengan “keuntungan” adalah balas jasa, dengan
“perolehan-perolehan” adalah benda-benda material.
Abu Bakr al-Wasithi berkata : “Arti perkataan
Tuhan Maha Besar” pada saat berdoa adalah “Engkau terlalu besar untuk bisa
digabungkan dengan doa, atau untuk dipisahkan dengan jalan menghapuskan doa.”
Sebab, pemisahan dan penyatuan itu bukan merupakan tindakan-tindakan (pribadi),
melainkan menuruti suatu ketetapan yang ditakdirkan di dalam kekekalan.”
Al-Junaid berkata : “Janganlah hendaknya
tujuanmu dalam berdoa, melaksanakannya tanpa ikut bersenang dan berrgembira di
dalam kesatuan dengan Dia yang tak bisa didekati dengan alat apa pun kecuali
lewat Dia sendiri.”
Ibn Atha berkata : “Janganlah hendaknya
tujuanmu dalam berdoa, melaksanakannya tanpa rasa takjub dan hormat kepada Dia
yang telah melihat engkau melaksanakannya.” Yang lain berkata : “akna doa
adalah pelepasan dari segala rintangan, dan pemissahan dengan hakikat-hkikat.”
Rintangan-rintangan itu adalah segala sesuatu yang selain Tuhan,
hakikat-hakikat adalah segala sesuatu yang dipersembahkan kepada Tuhan dan dari
Tuhan. Yang lain berkata : “Berdoa adalah menyatu.”
Saya mendengar Faris berkata : “Makna puasa
adalah mangkir dari penglihatan manusia di dalam penglihatan Tuhan. Sebab Tuhan
berfirman di dalam kisah Maryam : “Sesungguhnya aku telah berjanji kepada Tuhan
Yang Mahapengasih untuk berdiam diri, maka aku tiak akan berbicara dengan siap
pun pada hari ini.” Yaiitu karena aku mangkir dari mereka di dalam penglihatan
Tuhan, dan karenanya aku tidak akan dapat, dalam keadaanku itu. Menggubris
sesuatu yang bisa membingungkan diriku atau melepaskanku dari Dia.”
Hal ini terbukti dalam perkataan Nabi : “Puasa
itu suat penjagaan.” Yaitu suatu selubung yang menutupi segala sesuatu kecuali
Tuhan.
Tuhan pun berfirman : “Puasa itu bagian-Ku, dan
Aku akan memberi pahala untu itu.” Salah seorang tokoh Sufi berekata : “Itu
berarti, Aku yang menjadi pahala untuk itu.”
Abu’l Hasan ibn Abi Dzarr berkata : “Itu
mengandung arti, ma’rifat-Ku menjadi pahala bagi orang yang berpuasa.” Sudah
tentu itu merupakan pahala yang cukup, sebab tidak ada sesuatupun yang dapat
memperoleh ma’rifat Tuhan, atau bahkan mendekatinya saja.”
Saya mendengar Abu’l Hasan al-Hasani
al-Hamadani mengatakan : “Arti firman Tuhan “Puasa itu bagian-Ku” adalah bahwa
hasrat-hasrat itu meninggalkannya; yaitu pertama hasrat dari setan, kalau-kalau
dia akan merusak-kannya, sebab setan itu tidak berhasrat akan sesuatu yang
menjadi milik Tuhan; yangg berikutnya adalah hasrat dari jiwa, kalau-kalau jiwa
itu menyombongkan diri, sebab jiwa itu hanya menyombongkan apa yang menjadi
miliknya; yang berikutnya lagi, hasrat dari musuh-musuh di dunia mendatang,
sebab mereka hanya mengambil apa yang menjadi milik manusia, bukan yang menjadi
milik Tuhan.” Inilah arti firman Tuhan itu, sepanjang yang saya pahami.
Seorang tokoh Sufi berkata : “Kesulitan
penderitaan adalah keinginan akan kesenangan dan pengharapan yang ditempatkan
pada setiap tindakan pribadi, jika seseorang percaya kepada kesenangan dan
pengharapan itu, maka akibatnya adalah kesedihan; dan kesedihan yang
diperolehnya itu merupakan kesengan bagi musuh-musuhnya.”
Al-Nuri menulis :
“Hari ini aku hampir mencapai tujuanku!” aku
berseru;
Sayang,.. tujuan yang hampir tercapai itu masih
ssangat jauh.
Aku tak berjuang, tapi jatuh; tapi, untuk nerusaha
Dan kalah dalam perang, itu pun suatu
pertempuran
Kini, segala harapan pupus, tapi kasih-Mu..
Akan selalu memberi ampun, sifat pemurah-Mu
menyetujui;
Kalau tidak, maka surga kan kering; aku mesti
terbuang.
Yang lain menulis :
Sungguh, bahwa aku memuja dan mengingat
Engkau..
Dalam pengharapan akan pencapaian;
Begitu rindu anak-anak ketakmanatapan itu
Akan kesenangan yang sia-sia
Tuhan, bagaiman Wahyu-Mu yang cemerlang
Akan kutanggung,
Dan meninggalkan dunia ini, nan penuh selubung
dan godaan
Dengan cara tak biasa?
Dia berkata : “Jika dalam tindakan dan usahaku
aku mencari pahala – dan inilah yang dicari oleh orang-orang yang berusaha dan
bersusah payah mencari (mutu) ketuhanan itu
bagaimana aku akan memikirkan wahyu yang membawaku dari ketakutan akan kabr-kabar
mengenai keadaan-keadaan dan saat-saatku yang berubah, dan dari anggapan akan
perbuatan-perbuatan serta usaha-usahaku sendiri, yang merupakan hal-hal yang
menyelubungi diriku dari-Mu?
Tiada ulasan:
Catat Ulasan