Bisikan Allah, Bisikan Malaikat, Bisikan Nafsu,
Bisikan Syetan
Tulisan Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali dari kitab
Roudlotut Tholibin wa-‘Umdatus Salikin, ini kami turunkan karena banyaknya
minat dari pembaca soal cara membezakan bisikan-bisikan dari dalam hati, apakah
dari Allah, nafsu atau syetan)
Bisikan-bisikan hati (khawathir) dengan segala
bentuknya, upaya memerangi, mengalahkan dan unggul dalam menghalau perbuatan
syetan yang jahat. Juga tentang berlindung kepada Allah dari syetan dengan tiga
cara:
Pertama, harus mengetahui godaan, rekayasa dan
tipuan syetan.
Kedua, hendaknya tidak menanggapi ajakannya,
sehingga qalbu anda tidak bergantung dengan ajakan itu.
Ketiga, dzikrullah dalam qalbu dan lisan.
Sebab dzikrullah bagi syetan seperti penyakit yang
menyerang manusia.
Untuk mengetahui rekayasa godaan syetan, akan tampak
pada bisikan-bisikan (khawathir) dan berbagai macam caranya. Mengenai
pengetahuan tentang berbagai macam bisikan hati, patut diketahui, bahwa
bisikan-bisikan itu adalah pengaruh yang muncul di dalam qalbu hamba yang
menjadi pendorong untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, proses yang
sepenuhnya terjadi di dalam qalbu ini berasal dari Allah - yang menjadi
Pencipta segala sesuatu.
Dalam kaitan ini, bisikan hati ada empat macam:
Suatu bisikan yang datang dari Allah swt. dalam qalbu
hamba adalah sebagai bisikan awal, sehingga Dia disebut dengan Nama al-Khathir
(Sang Pembisik).
Bisikan yang relevan dengan watak alam manusia, yang
disebutan-nafs (jiwa).
Bisikan yang terdorong oleh ajakan syetan, yang
disebut waswas (perasaan ragu-ragu).
Bisikan yang juga datang dari Allah yang disebut
al-Ilham.
Al-Khathir adalah bisikan yang datang dari Allah
swt. sebagai bisikan awal, terkadang berdimensi kebaikan, kemuliaan dan
pemantapan dalam berhujjah. Kadang-kadang berdimensi negatif dan sebagai ujian.
Al-Khathir yang datang dari pemberi Ilham tidak akan
terjadi, kecuali mengandung kebajikan, karena Dia adalah Yang Memberi nasihat
dan bimbingan. Sedangkan al-Khathir yang datang dari syetan, tidak datang
kecuali mengandung elemen kejahatan.
Bisikan ini terkadang sepintas mengandung kebajikan,
tetapi dibalik itu ada makar dan istidraj (covernya nikmat, dalamnya siksa
bencana).
Sementara bisikan yang tumbuh dari hawa nafsu tidak
luput dari elemen kejahatannya. Terkadang juga ada elemen baik tidak sekadar
untuk pencapaian kenikmatan saja.
Ada tiga persoalan yang harus ketahui di sini:
Pertama-tama, beberapa ulama berkata bahwa jika
ingin mengenal dan mengetahui perbedaan antara bisikan kebaikan dan bisikan
kejahatan, maka pertimbangkan dengan tiga ukuran nilai (mawazin), yang dapat
mendeteksinya:
Apabila bisikan itu relevan dengan syariat, berarti
baik. Jika sebaliknya - baik karena rukhshah atau syubhat, maka tergolong
bisikan jahat.
Manakala dengan mizan(ukuran nilai) itu tidak
diperoleh kejelasan perbedaan masing-masing, sebaiknya konfirmasikan dengan
teladan orang-orang saleh. Jika sesuai dengan teladan mereka, maka ikutilah,
jika tidak ada kebaikan, berarti hanya suatu keburukan.
Apabila dengan ukuran nilai (miizan) demikian masih
belum menemukan kejelasan, konfrontasikan dengan motivasi yang terdapat pada
nafs (ego) dan hawa (kesenangan). Jika ukuran nilainya merujuk sekadar pada
kecenderungan nafs (ego) yakni kecenderungan naluriah dan bukan untuk mencari
harapan (raja’) dari Allah, tentu saja termasuk keburukan.
Kedua, apabila ingin membedakan antara bisikan
kejahatan yang bermula dari sisi syetan, atau dari sisi nafs (ego) ataukah
bisikan itu dari sisi Allah swt., perlu anda perhatikan tiga hal ini:
Jika anda menemui bisikan yang kokoh, permanen,
sekaligus konsisten pada satu hal, maka bisikan itu datang dari Allah swt.,
atau dari nafs (jika menjauhkan diri dari Allah). Namun jika bisikan itu
menciptakan keraguan dan mengganjal dalam hati , maka itu muncul dari syetan.
Apabila bisikan itu jumpai setelah melakukan dosa,
berarti itu datang dari Allah sebagai bentuk sanksi dari-Nya kepada anda. Jika
bukan muncul dari akibat dosa, bisikan itu datang dari diri anda, yang berarti
dari syetan.
Jika anda temui bisikan itu tidak melemahkan atau
tidak mengurangi dari dzikir kepada Allah swt., tetapi bisikan itu tidak pernah
berhenti, berarti dari hawa nafsu. Sebaliknya, jika melemahkan dzikir berarti
dari syetan.
Ketiga, apabila ingin membedakan apakah bisikan
kebaikan itu datang dari Allah swt. atau dari malaikat, maka perlu diperhatikan
tiga hal pula:
Manakala melintas sekejap saja, maka datang dari
Allah swt. Namun jika berulang-ulang, berarti datang dari malaikat, karena
kedudukannya sebagai penasihat manusia.
Manakala bisikan itu muncul setelah usaha yang
sungguh-sungguh dan ibadah yang lakukan, berarti datang dari Allah swt. Jika
bukan demikian,bisikan itu datang dari malaikat.
Apabila bisikan itu berkenaan dengan masalah dasar
dan amal batin, bisikan itu datang dari Allah swt. Tetapi jika berkaitan dengan
masalah furu` dan amal-amal lahiriah, sebagian besarnya dari malaikat. Sebab,
menurut mayoritas ahli tasawuf malaikat tidak memiliki kemampuan untuk mengenal
batin hamba Allah.
Sementara itu, bisikan untuk suatu kebaikan yang
datang dari syetan, merupakan istidraj menuju amal kejahatan yang lantas
menjadi berlipat-lipat, maka perlu memperhatikan dengan cermat:
Lihatlah, apabila dalam diri anda, pada salah satu
perbuatan jika berasal dari bisikan di dalam hati dengan penuh kegairahan tanpa
disertai rasa takut, dengan ketergesa-gesaan bukan dengan waspada dengan tanpa
perasaan aman, ketakutan pada Allah, dengan bersikap buta terhadap dampak
akhirnya, bukan dengan mata batin, ketahuilah bahwa bisikan itu berasal dari
syetan. Maka jauhilah, Bisikan seperti itu, harus jauhi.
Sebaliknya jika bisikan itu muncul bukan seperti
bisikan-bisikan di atas, berarti : datang dari Allah swt., atau dari malaikat.
Saya katakan, bahwa semangat yang membara dapat
mendorong manusia untuk segera melakukan aktivitas, tanpa adanya pertimbangan
dari mata hatinya, tanpa mengingat pahala bisa menjadi faktor yang
membangkitkan kondisi itu semua.
Sedangkan cara hati-hati adalah cara-cara yang
terpuji dalam beberapa segi.
Khauf, lebih cenderung seseorang untuk berusaha
menyempurnakan dan mempraktekkan suatu perbuatan yang benar dan bisa diterima
Allah atas amal perbuatan itu.
Adapun perspektif hasil akhir suatu amal,
hendaknya membuka mata hati dengan cermat dalam diri ada keyakinan bahwa amal
tersebut adalah amalan yang lurus dan baik, atau adanya pandangan mengharapkan
pahala di akhirat kelak. Ketiga kategori di atas harus ketahui dan sekaligus
anda jaga. Sebab, semuanya mengandung ilmu-ilmu yang rumit sehingga sulit
didapatkan dan rahasia-rahasia yang mulia.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan