Oleh Syeikh Abdul
Wahhab As-Sya'rani (Tokoh Sufi Mesir)
BERTAUBAT SECARA BENAR
Taubat, secara etimologis, adalah
meninggalkan, yakni meninggalkan
perbuatan-perbuatan yang
terlarang untuk kemudian menggantinya dengan
perbuatan yang terpuji, menurut
syariat. Taubat mempunyai tahapan-tahapan.
Tahap pertama, seseorang harus
bertaubat dari --melakukan-- dosa-dosa besar,
kemudian bertaubat dari dosa
kecil, perkara makruh, dan perbuatan yang kurang
baik. Selanjutnya, secara
berurutan, bertaubat dari anggapan-anggapan bahwa
dirinya adalah orang baik,
bertaubat dari anggapan bahwa dirinya termasuk
kekasih Tuhan, bertaubat dari
anggapan bahwa dirinya telah benar dalam
melakukan taubat, dan bertaubat
dari segala kehendak hati yang tidak di ridlai
Allah. Puncaknya, seseorang
bertaubat dari lupa bermusyahadah (mengingat)
kepada Allah, walau sekejap.
Cara taubat, pada dasarnya, cukup
dengan menyesali dan mengakui dosadosa
yang dilakukan. Ini seperti yang
terjadi dengan taubat nabi Adam ketika ia
terlanjur melakukan perbuatan
yang dilarang.i Adapun sebagian ulama ada yang
menyatakan bahwa taubat harus
disertai dengan niat yang kuat untuk tidak
mengulangi lagi, penyataan itu
adalah hasil ijtihad.ii Sebab, orang yang benarbenar
menyesal tentu tidak akan
mengulangi kesalahannya lagi.
Dengan taubat yang
sungguh-sungguh, segala kesalahan dan dosa yang
berhubungan dengan Tuhan akan
diampuni. Begitu pula tindakan dzalim
terhadap diri sendiri, kecuali
syirik dan segala yang berhubungan dengan sesama
manusia. Untuk yang disebut
terakhir, Allah tidak akan mengampuni selama
orang yang bersangkutan belum
meminta maaf kepada orang yang disalahi.
Al-Matbuli meletakkan masalah
taubat ini dalam bahasan pertama, karena
taubat adalah sesuatu yang sangat
penting. Taubat adalah pondasi dari segala
perbuatan manusia untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan. Tanpa dilandasi
taubat yang baik dan benar,
seseorang yang ingin menggapai Tuhan adalah seperti
orang yang membangun rumah megah
diatas tanah labil dan goyah. Akan mudah
hancur. Sebaliknya, siapa yang
benar taubatnya berarti kuat pondasinya. Karena
itu, sebagian ulama menyatakan,
“Siapa yang memperkuat taubatnya, Allah akan menjaganya dari
segala yang
merusak --kesucian—amalnya”.
Demikianlah, taubat mempunyai
kedudukan dan pengaruh yang sangat
besar bagi amal-amal manusia
selanjutnya. Ia sebanding dengan zuhud yang akan
menjaga manusia dari segala
sesuatu yang bisa menghalangi kedekatannya kepada
Allah. Karena itu, bila seseorang
tidak benar cara taubatnya, maka hal itu justru
akan menjatuhkan dan
menghancurkan maqam (kedudukannya disisi Allah) yang
lain. Apa yang telah dilakukannya
menjadi ringkih seperti bangunan rumah
dengan hanya susunan bata tanpa
perekat semen.
Muhammad ibn Inan menyatakan,
siapa yang benar cara taubatnya maka
itu akan bisa meningkatkan
kedudukannya disisi Tuhan. Sebaliknya, siapa yang
tidak benar cara taubatnya, maka
semuanya hanya omong kosong). Ia tidak akan
mampu menjaga keinginan-keinginan
nafsunya, bahkan ia tidak akan mampu
menjaga pikiran-pikiran kotornya,
walau saat melakukan shalat. Allah swt sendiri
memerintahkan kepada Rasul dan
umatnya untuk bertaubat dengan benar dan
lurus. Firman-Nya.
“Tetaplah kamu pada jalan yang benar --dalam bertaubat--
sebagaimana yang
diperintahkan, dan orang-orang yang bertaubat bersamamu” (QS.
Hud, 112).
Ali al-Khawash juga menyatakan,
siapa yang benar dan sungguh-sungguh
melakukan taubat dan zuhud, akan
tergapai semua kedudukan (maqam) dan
perbuatannya menjadi baik. Karena
itu, seseorang yang ingin menggapai
kedudukan tinggi disisi Tuhan,
hendaknya selalu meneliti dirinya; apakah ia telah
melakukan hukum-hukum Tuhan?
Apakah anggota badannya; mata, kaki, tangan
dan lisannya telah melaksanakan
sesuatu yang diperintahkan Allah? Bila
mendapati dirinya telah
melakukannya dengan benar, maka bersyukurlah tetapi
jangan merasa telah baik.
Sebaliknya, bila mendapati dirinya masih berlumuran
dosa dan kesalahan, segeralah
istighfar dan menyesalinya kemudian bersyukur
kepada Allah bahwa ia belum
terlanjur dalam perbuatan yang lebih parah dan
Allah belum memberikan adzab atau
penyakit. Sebab, badan yang melakukan
maksiat berhak menerima siksaaan.
Selain itu, untuk mencapai Allah,
seseorang juga harus meninggalkan
pengaruh dunia. Allah swt sendiri
tidak pernah memperhatikan dunia sejak
penciptaannya, karena
ketidaksukaannya. Rasulullah pernah menyatakan,
“Cinta harta dan
kedudukan mudah menimbulkan sifat munafiq, sebagaimana
air mudah
menumbuhkan sayur-sayuran”.
Imam al-Tsaury menyatakan,
seandainya seseorang beribadah dengan
menjalankan semua perintah-Nya
tetapi dalam hatinya masih terbetik rasa cinta
pada dunia, maka di akherat kelak
akan di umumkan, “Inilah fulan yang sewaktu
di dunia mencintai sesuatu yang
tidak disenangi Allah”. Mendengar pengumuman
itu, wajahnya seakan terkelupas
saking malunya.
Yang dimaksud cinta dunia disini
adalah menggunakan sarana harta dunia
secara berlebihan; melebihi
ketentuan syareat. Abu Hasan Ali ibn Muzayyin
pernah menyatakan, seandainya
kalian “mensucikan” seseorang sehingga
menjadikannya sebagai al-shiddiq,
tetapi dalam hati orang tersebut masih terbetik
cinta dunia, maka Allah tidak
akan memperdulikannya. Ia tidak punya kedudukan
disisi Tuhan.
Bagaimana jika harta yang ada
tersebut dipersiapkan untuk memberi
nafkah pada keluarga dan
familinya? “Sama saja”, jawab Abu Hasan. Kebanyakan
ahli tarikat rusak adalah karena
dalam hatinya ada rasa senang terhadap
kemewahan dan kenikmatan dunia.
Melimpahnya harta untuk memberi nafkah
terhadap keluarga dan famili,
sebenarnya, tidak salah. Akan tetapi, hati yang telah
kerasukan cinta dunia akan bisa menghalangi
bahkan memutuskan hubungan dia
dengan Tuhan.
Sejalan dengan hal itu, Abu Hasan
As-Syadzili menyatakan, seorang murid
(orang yang menempuh jalan Tuhan)
tidak akan bisa naik derajatnya manakala
belum benar-benar mencintai
Tuhan, dan Tuhan tidak akan menerima cintanya
selama ia belum bisa meninggalkan
pengaruh dunia dan bayangan kenikmatan
surga. Cinta Tuhan kepadanya
tergantung seberapa besar seseorang
mengosongkan hatinya dari
pengaruh dunia, untuk mencintai-Nya.
Karena itu, untuk menuju
kepada-Nya, pertama kali, seseorang harus
meninggalkan dan mengosongkan
hatinya dari pengaruh dunia. Ketika masuk
tarikat, yaitu ketika berbaiat
kepada guru pembimbing (mursyid), seseorang harus
benar-benar telah mengosongkan
hatinya dari pengaruh dunia. Jika tidak, yaitu
jika dalam hatinya masih
bersemayam nafsu-nafsu duniawi, ia akan terlempar.
Karena itu, dalam tarikat,
pertama kali yang diajarkan dan ditanamkan pada
murid haruslah sikap zuhud.
Sebab, orang yang tidak zuhud tidak akan bisa
membangun sesuatu di akherat.
Abdul Qadir al-Jailani pernah berkata, “Siapa
yang menghendaki akherat, ia
harus zuhud dunia. Siapa yang menghendaki Allah,
ia harus zuhud akherat. Siapa
yang dalam hatinya masih ada cinta dunia;
kedudukan, perkawinan, pakaian,
makanan dan sebagainya, ia bukanlah pecinta
akherat. Ia masih mengikuti
nafsunya”.
Sejalan dengan itu, Abu Abdullah
al-Maghribi menyatakan, orang fakir
yang tidak banyak melakukan amal
masih lebih baik daripada ahli ibadah tetapi
bergelimang harta. Amal yang
sedikit dari orang fakir --yang tidak tersibukkan
dunia— bahkan lebih baik daripada
amal yang menggunung dari seseorang yang
hatinya sibuk memikirkan dunia.
Abu al-Mawahib al-Syadzili juga menyatakan,
ibadah yang disertai cinta dunia
hanya melelahkan hati dan badan. Ia kelihatan
banyak padahal sedikit. Ia hanya
tampak banyak menurut orang yang
melakukannya. Ibadah yang seperti
itu bagai raga tanpa nyawa, kosong tanpa isi.
Karena itu, banyak kita saksikan
orang yang berpuasa, shalat malam dan haji,
tetapi tidak pernah merasakan
manisnya beribadah karena tidak ada cahaya zuhud
dalam hatinya.
Apa yang dimaksud zuhud? Zuhud
adalah mengosongkan hati dan pikiran
dari pengaruh dunia. Namun, hal
ini bukan berarti seseorang harus mengosongkan
tangannya dari menguasai harta.
Sebab, Allah dan Rasul-Nya) tidak pernah
melarang umatnya melakukan
transaksi dan berbisnis. Tidak pernah seorangpun
dilarang untuk melakukan hal
tersebut.
Akan tetapi, sebagian sahabat dan
tabiin memang banyak yang
meninggalkan sama sekali dan
menampakkan ketidaksukaannya terhadap urusan
dan kemewahan dunia. Hal itu
dimaksudkan agar orang kebanyakan (awam) mau
dan bisa mengikuti mereka. Mereka
khawatir, dengan kehidupan yang mewah dan
bergelimang harta, orang awam
yang tidak mengerti akan terjebak dalam masalah
dunia ini; menjadi lupa terhadap
Tuhan, ketika mengikuti laku para shahabat.
Sesungguhnya, orang yang sempurna
(insân al-kâmil) tidak akan tersibukkan oleh
apapun kecuali Allah, walau
bergelimang harta. Berbeda dengan orang awam.
Karena itu, hati-hatilah bila
melihat orang besar yang menjadi panutan
hidup dalam kemewahan dan
kenikmatan. Jika khawatir bahwa hal itu akan
dianut masyarakat tanpa tahu
maksud yang sebenarnya, maka ia harus
diperingatkan. Tentu saja,
kemewahan dan kekayaan orang besar tersebut dari
harta halal. Bila dari harta
haram, maka ia harus “disingkirkan”.
Dengan demikian, zuhud adalah
melepaskan hati dari pengaruh dunia.
Maksudnya, ia tidak bersikap
kikir terhadap peminta dan tidak tersibukkan oleh
kegiatan-kegiatan duniawi
sehingga lupa pada Tuhan
Tiada ulasan:
Catat Ulasan