Oleh Syeikh Abdul Wahhab As-Sya'rani (Tokoh Sufi Mesir)
Dalam kitab Zabur difirmankan;
Kitab
Al-Minah al-Saniyah
MENINGGALKAN
PERKARA MUBAH
Ali al-Murshifi menyatakan bahwa
seorang murid tidak akan boleh
mencapai maqam tinggi, hingga ia
mampu meninggalkan perkara mubah untuk
kemudian menggantinya dengan
perbuatan-perbuatan sunnah.
Perbuatan mubah, menurut Ali
Al-Khowash, pada dasarnya adalah
diciptakan hanya sebagai "selingan"
atau tempat istirahat bagi manusia, setelah
melakukan beban berat yang
diberikan Tuhan. Hal ini disebabkan, pada diri
manusia memang ada rasa bosan.
Bila tidak, Allah tidak akan memberikan hukum
mubah pada manusia; sebagaimana
malaikat yang tidak kenal bosan. Mereka
selalu bertasbih kepada Allah,
tanpa rasa bosan.
Karena itu, para ulama
menyatakan, orang yang menggunakan rukhshoh
(keringanan hukum yang
diperbolehkan; perkara mubah), tidak akan
mendapatkan apa-apa dalam jalan
thoriqot.
Dalam thoriqot, para guru
pembimbing biasanya menuntut para muridnya
untuk sedapat mungkin
meninggalkan perkara mubah. Minimal mengurangi,
untuk kemudian menggantinya
dengan perbuatan-perbuatan sunnah. Hal ini
dimaksudkan untuk meningkatkan
kedudukannya disisi Allah. Bila seseorang
tidak menemukan bentuk ketaatan
sebagai pengganti mubah, maka dalam
perbuatan mubah tersebut; seperti
makan dan minum, harus diniatkan untuk
sesuatu yang baik. Misalnya,
makan agar kuat ibadah dan bercakap-cakap untuk
menghilangkan kemasaman muka
terhadap teman.
Para guru juga menuntut para
murid, untuk tidak tidur kecuali setelah
sangat mengantuk, tidak makan
kecuali setelah sangat lapar, tidak berbicara kecuali
ada keperluan, dan lain-lain. Ini
dimaksudkan, agar murid mendapat pahala dari
semua perbuatannya.
Selain itu, para guru juga
menuntut para murid agar tidak sampai mimpi
basah --karena pikiran-pikiran
yang muncul sebelumnya--, tidak menselonjorkan
kaki, tidak istirahat kecuali
pada saat sangat letih dan tidak makan makanan yang
disenangi walau itu
diperbolehkan. Sebab, semua itu boleh menghalangi seseorang
untuk naik pada kedudukan yang
lebih tinggi.
Dalam kitab Zabur difirmankan;
"Hai
Daud. Peringatkan kaummu dari makan makanan yang mereka senangi.
Sesungguhnya,
hati yang dikendalikan kesenangan (syahwat) menghalangi hubungannya dengan
Aku".
Bila makan makanan yang disenangi dapa tmenolak seseorang dari Hadlirat
Ilahy, maka begitu pula dengan
menselonjorkan kedua kaki tanpa adakeperluan
yang sangat. Keduanya termasuk
suul-adab (tidak baik).
Ali Al-Khowash pernah menyatakan,
seorang murid tidak akan mencapai
maqom siddiq kecuali dengan
menambah pengagungannya dalam melaksanakan
perintah dan menjauhi larangan
Tuhan; melaksanakan sunnah seolah wajib,
meninggalkan makruh sebagaimana
haram dan meninggalkan perkara haram
sebagaimana kekufuran. Setelah
itu, meniatkan semua perbuatan mubahnya
untuk kebaikan, sehingga mendapat
pahala. Misalnya, tidur siang dengan niat agar
kuat sholat malam, makan makanan
yang enak untuuk mengobati keinginan nafsu
ketika sulit diajak ibadah,
menggunakan pakaian bagus demi memperlihatkan
nikmat Allah dan lain-lain. Jadi
bukan untuk bersombong-sombong.
Sejalan dengan itu, Abu Hasan
As-Syadzili pernah berkata kepada para
muridnya;
"Makan dan minumlah kalian
dari makanan dan minuman yang enak. Tidurlah diatas
kasur yang empuk. Dan
berpakaianlah dengan pakaian yang bagus. Bila saat memakai,
kalian mengucapkan "
Al-Hamdulillah", maka seakan ikut bersyukur pula seluruhanggota badan”.
Al-Hamdulillah", maka seakan ikut bersyukur pula seluruhanggota badan”.
Ini berbeza bila kalian makan
dari makanan roti kasar, minum air asin,
tidur pada tempat yang kotor dan
berpakaian dengan pakaian murahan. Saat
mengucapkan
"Al-Hamdulillah", hati masih ada rasa 'protes' dan mengerutu.
Padahal, kalau ia mengerti hakekatnya, memprotes dan mengerutu
adalah lebih
besar dosanya daripada bersenang-senang dengan kenikmatan dunia.
Sebab,
bersenang-senang berarti masih dalam batas melakukan sesuatu
yang
diperbolehkan, sedang menggerutu dan benci berarti melakukan
sesuatu yang
dilarang".
Tiada ulasan:
Catat Ulasan