Namanya Abu Ali Syaqiq bin Ibrahim
Al-balkhi, wafat pada tahun 149 H / 810 msehi dan termasuk guru besar sufi
khurasan. Beliau adalah guru Hatim Al-Asham.
Diceritakan bahwa Syaqiq Al-Balkhi adalah
putera seorang yang kaya raya. Ia pernah pergi berdagang ke Turki ketika masih
muda, lalu masuk ke sebuah tempat penyembahan berhala.
Ia melihat seorang pelayan beribadah dengan
kepala gundul dan dicukur jenggotnya serta memakai pakaian berwarna hijau.
Syaqiq heran, tidak bisa tinggal diam maka mendekatlah ia kepada orang itu dan
berkata, “Wahai pelayan, sesungguhnya kamu memiliki Tuhan Yang Maha
Menciptakan, Yang Hidup, Maha Tahu dan Maha Kuasa maka sembahla Dia dan jangan
menyembah berhala-berhala yang tidak bisa mencelakakan dan menguntungkan”.
Pelayan itu menjawab, “Jika memang apa yang
kamu ucapkan itu benar bahwa Tuhanmu Maha Kuasa untuk mtmberikan rizki kamu di
negerimu, mengapa kamu bersusah-susah datang kemari untuk berdagang ?”
Hati Syaqiq terpukul, kata-kata itu menusuk
hatinya. Dia sadar bahwa selama ini dirinya terlalu sibuk dengan dunia. Diapun
membuang kehidupannya dan lebih berhati-hati. Sejak saat itu ia memilih jalan
zuhud.
Diceritakan bahwa sebab kezuhudan Syaqiq
adalah karena ia telah melihat seorang budak yang beriman sedang bermain dan
bersenang-senang di musim paceklik (kekurangan pangan). Orang-orang pun senang
menontonnya.
“Kegiatan apakah yang kamu lakukan, tidakkah
kamu melihat keadaan manusia di musim paceklik seperti ini ?”.
Budak itu menjawab, “Saya tidak perlu
merasa susah dengan musim paceklik ini karena tuan saya mempunya desa / ladang
yang bebas untuk kami ambil apa saja yang kami butuhkan”.
Jawaban itu mampu menggores hhati Syaqiq.
Dia lebih berhati-hati dan tidak gegabah dalam mengambil tindakan. Dia
bergumam, “Jika tuannya hanya memiliki ladang, maka tuannya adalah juga
termasuk miskin juga, dan budak itu tidak perlu pusing dengan rizkinya. Maka
bagaimana seorang muslim merasa pusing dengan rizkinya sedangkan Tuhannya
adalah Tuhan Yang Maha Kaya”.
Hatim AL-Asham berkata, Syaqiq adalah
seorang yang kaya. Dia suka bergaul dengan anak-anak muda. Ketika itu yang
menjadi penguasa daerah Balkh adalah Ali bin Isa bin Mahan. Dia adalah seorang
Amir yang suka memelihara anjing-anjing pemburu. Suatu saat ia kehilangan
seekor anjingnya. Dia mengira bahwa anjingnya berada di rumah salah seorang
tetangga Syaqiq. Merasa dicurigai, tetangga itu kemudian lari dan meminta perlindungan
di rumah Syaqiq. Dia sangat takut, akhirnya Syaqiqpun pergi menemui Amir dan
berkata, “Biarkan dia lari, anjing itu ada padaku. Saya akan mengembalikannya
kepadamu dalam waktu tiga hari”. Lalu Syaqiq pulang ke rumahnya. Pada hari
ketiga datanglah teman Syaqiq yang telah lama pergi dari Balkh. Ia menemukan
seekor anjing di jalan dengan memakai kalung. Anjing itu diambilnya seraya
berkata, “Akan saya hadihakan anjing ini kepada Syaqiq. Dai adalah orang yang
suka berbuat seperti anak muda”. Anjing itu kemudian dibawanya kepada Syaqiq,
sementara Syaqiq tahu bahwa itu adalah anjing milik Amir. Maka gembiralah
Syaqiq, dan ia segera membawa anjing itu kepada amir. Terbebaslah Syaqiq dari
jaminannya sehingga ia lebih waspada dan bertobat dari semua yang telah
dilakukannya, dan memilih jalan zuhud.
Hatim Al-Asham berkata, kami pernah bersama
Syaqiq di salah satu medan pertempuran untuk menyerbu Turki. Saat tiada yang
terlihat selain kepala-kepala orang mati, tombak-tombak yang patah dan
pedang-pedang yang putus, Syaqiq berkata kepadaku, “Apakah kamu merasa khawatir
pada hari ini ?, apakah kamu bisa tidur seperti malam-malam ditemani isterimu
?”. Jawabku “Tidak sungguh tidak “. Syaqiq berkata, “Demi Allah, hari ini saya
merasa tenteram seperti melam itu”. Kemudian Ia tidur diantara dua barisan,
sementara saya berada di bawah kepalanya sehingga saya bisa mendengar suara
dengkurannya”.
Diantara mutiara hikmahnya :
1.
Jika kamu ingin mengetahui kejujuran seseorang, lihatlah janji Allah dan
apa yang dijanjikan manusia. Apakah hatinya lebih mantap kepada janji Allah
atau janji manusia.
2. Ketaqwaan seseorang
dapat dilihat dari tiga hal : Dalam kesukaannya menerima pemberian,
keikhlasannya dan pembicaraannya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan