Beberapa
waktu yang silam, ada seorang ikhwah yang mempunyai seorang anak lelaki bernama
Wazir. Wazir membesar menjadi seorang yang lalai menunaikan seruan agama.
Meskipun telah banyak berbuih ajakan dan nasihat, seruan dan perintah dari
ayahnya agar Mat bersembahyang, puasa, zakat dan lain-lain, dia tetap
meninggalkannya. Sebaliknya amal kejahatan pula yang menjadi rutinitasnya.
Suatu hari
seorang ikhwah tersebut memanggil anaknya dan berkata, "Wazir, kau ini sangat lalai dan
terlalu banyak berbuat kemungkaran. Mulai hari ini aku akan tancapkan satu paku
ke tiang di tengah halaman rumah kita. Setiap kali kau berbuat satu kejahatan,
maka aku akan tancapkan satu paku ke tiang ini. Dan setiap kali kau berbuat
satu kebajikan, sebatang paku akan kucabut keluar dari tiang ini".
Ayahnya
berbuat seperti mana yang dia janjikan, setiap hari dia akan memukul beberapa
batang paku ke tiang tersebut. Kadang-kadang sampai berpuluh paku dalam satu
hari. Jarang-jarang benar dia mencabut keluar paku dari tiang.
Hari silih
berganti, beberapa purnama berlalu, dari musim hujan berganti kemarau panjang.
Tahun demi tahun beredar. Tiang yang berdiri megah di halaman kini telah hampir
dipenuhi dengan tusukan paku-paku dari bawah sampai ke atas. Hampir setiap
permukaan tiang itu dipenuhi dengan paku-paku. Ada yang berkarat karena hujan
dan panas. Setelah melihat keadaan tiang yang bersusukan dengan paku-paku yang
menjijikkan tersebut, timbullah rasa malu. Maka dia pun beniat untuk memperbaiki
dirinya. Mulai detik itu, Wazir mulai sembahyang. Hari itu saja lima butir paku
dicabut ayahnya dari tiang. Besoknya sembahyang lagi ditambah dengan
sunnah-sunnahnya. Lebih banyak lagi paku tercabut. Hari berikutnya Wazir
tinggalkan sisa-sisa maksiat yang melekat. Maka semakin banyaklah tercabut
paku-paku tadi. Hari demi hari, semakin banyak kebaikan yang Wazir lakukan dan
semakin banyak maksiat yang ia tinggalkan, hingga akhirnya hanya tinggal
sebatang paku yang tinggal melekat di tiang.
Maka ayahnya
pun memanggil anaknya dan berkata, "Lihatlah anakku, ini paku terakhir, dan aku akan
mencabutnya sekarang. Tidakkah kamu gembira?"
Wazir
merenung pada tiang tersebut, dia mulai menangis tersedak-sedak. "Kenapa anakku?" tanya
ayahnya, "Aku menyangka kau gembira
karena semua paku-paku tadi telah tiada". Dalam nada yang sayu Wazir
mengeluh, "Wahai
ayahku, sungguh benar katamu, paku-paku itu telah tiada, tapi aku bersedih
lubang-lubang dari paku itu tetap ada ditiang, bersama dengan karatnya".
Sesuatu yang
dimuliakan, dengan dosa-dosa dan kemungkaran yang seringkali diulangi hingga
akan menjadi suatu kebiasaan, dan kita mungkin dapat mengatasinya atau secara
berangsur-angsur kita dapat menghapuskannya, tetapi ingatlah bahwa bekas yang
ia tinggalkanya tidak akan hilang.
Dari situ,
bilamana kita merenungi untuk melakukan suatu kemungkaran, ataupun sedang
berniat melakukan kemungkaran, maka berhentilah. Karena setiap kali kita
bergelimang dalam kemungkaran, maka kita telah membenamkan sebilah paku lagi
yang akan meninggalkan bekas lubang pada jiwa kita, meskipun paku itu kita
cabut kemudiannya. Apa lagi kalau kita biarkan sampai berkarat dalam diri ini
sebelum dicabut. Lebih-lebih lagilah kalau dibiarkan berkarat dan tak dicabut.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan